Bendera Oranye

Oleh Dahlan Iskan

Singapura menaikkan bendera oranye. Kemarin. Pertanda wabah virus Wuhan sudah mengancam negara tetangga itu dengan serius.

Di Tiongkok sendiri kemarin mencatat rekor: yang bisa disembuhkan mencapai 389 orang. Dalam sehari.

Sudah delapan hari berturut-turut jumlah yang sembuh lebih banyak dari yang meninggal.

Sampai tanggal 30 Januari, yang meninggal terus lebih banyak dari yang sembuh. Hari itu saja yang meninggal 38 orang. Yang sembuh hanya 21 orang.

Apalagi tanggal-tanggal sebelumnya.

Namun, sejak 31 Januari yang sembuh sudah melebihi yang meninggal. Meski hari itu selisihnya hanya 4 orang.

Tapi hari-hari setelah itu yang sembuh kian jauh lebih banyak. Secara konsisten pula. Dari hari ke hari. Yang mencapai rekornya tanggal 7 Februari kemarin.

Saya pun menanti perkembangan angka hari ini dengan penuh harap.

Secara total, sampai kemarin, jumlah yang meninggal mencapai 637 orang. Sudah melebihi korban wabah SARS 18 tahun lalu. Tapi yang berhasil disembuhkan sudah 1.542 orang.

Di antara tambahan yang meninggal itu terdapat seorang dokter. Hebohnya bukan main. Media sosial seperti kompak: menghujat polisi Wuhan.

Dokter itulah yang memberi peringatan awal datangnya wabah itu. Sebenarnya ia tidak mengada-ada.

Tapi postingan di media sosial yang dilakukan dokter itu dianggap meresahkan. Ia dipanggil polisi. Diperiksa. Lalu diberi surat peringatan: kalau terus memposting soal virus seperti itu akan dikenakan hukuman.

Dokter itu sendiri punya bukti: ia sendirilah yang terkena virus itu. Ia kemudian dirawat. Dan kemarin dulu meninggal.

Media sosial kompak menjadikan dokter itu sebagai pahlawan yang mati sia-sia.

Tapi seorang ilmuwan lainnya justru jadi korban media sosial. Ia seorang peneliti virus. Namanya: Shi Zhengli.

Sepuluh tahun lamanya peneliti itu keluar masuk gua gelap nan berbau.

Zhengli melakukan penelitian terhadap gua-gua kelelawar. Yang dulu dianggap sumber wabah SARS.

Setiap kali masuk gua dia mengenakan pakaian anti virus secara lengkap. Sambil terus menahan bau busuk di dalam gua itu.

Yang dia kerjakan di dalam gua itu adalah mengumpulkan kotoran (tahi) kelelawar. Untuk dibawa pulang. Sebagai bahan penelitian.

Semua gua di 28 provinsi di Tiongkok sudah dia masuki. Dialah kolektor tahi kelelawar paling lengkap di dunia. Dia punya semua tahi kelelawar dari jenis apa pun yang ada di seluruh Tiongkok.

Peneliti ini bekerja di laboratorium Biosafety National Tiongkok. Lokasi laboratoriumnya di Kota Wuhan.

Begitulah ceritanya mengapa ada isu yang sempat viral. Bahwa virus ini datang dari laboratorium yang bocor.

Peneliti itu pun jadi bulan-bulanan media sosial. Dianggap sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas matinya begitu banyak manusia.

Hujatan itu dilancarkan berhari-hari. Kian lama kian kejam. Sampai ada yang menyebut peneliti itu sebagai ”induk segala setan”.

Baru belakangan hoax itu reda sendiri. Terutama setelah diumumkan bahwa asal virus Wuhan dari pasar ikan yang juga menjual kelelawar dan ular.

Ada kemungkinan darah dari kelelawar dan ular itu muncrat ke mana-mana. Termasuk ke tangan orang yang memotong-motong binatang itu. Atau juga liur binatang itu ikut muncrat ke manusia.

Sebagai bukti korban terbanyak virus Wuhan awalnya adalah mereka yang memiliki kios di pasar itu. Bukan para pegawai laboratorium.

Untung saja laboratorium tahi kelelawar itu tidak sampai jadi sasaran kemarahan dan kekerasan.

Kisah merebaknya virus Wuhan ini mengingatkan saya ke Carlos Ghosn.

Mantan CEO Renault-Nissan-Mitsubishi itu berhasil lari dari Jepang dengan memanfaatkan kelengahan orang Jepang. Yakni ketika mereka sibuk dengan liburan akhir tahun 2019. Yang di Jepang dirayakan dengan berbagai acara televisi yang paling menghebohkan.

Virus Wuhan tidak kalah hebat dari Ghosn.

Kehadiran virus ini sebenarnya sudah disadari tanggal 22 Januari. Setelah banyak jatuh korban.

Tapi tindakan yang dilakukan saat itu sebatas hanya menutup pasar itu. Sama sekali tidak dilakukan tindakan isolasi segera.

Kenapa?

Semua orang sibuk menghadapi liburan tahun baru Imlek. Perhatian semua orang kepada perayaan tahun baru itu. Terutama bagaimana siap-siap mudik dengan seru.

Maka ketika virus itu mulai mewabah, yang terjadi justru mobilitas besar-besaran manusia di sana. Jumlah orang yang mudik mencapai 200 juta orang.

Orang Wuhan sendiri juga sibuk harus pergi merayakan Imlek. Ada 5 juta orang Wuhan dan sekitarnya yang meninggalkan kota di hari-hari Imlek tanggal 25 Januari itu.

Kelengahan tahun baru Masehi membuat Carlos Ghosn lolos.

Kelengahan tahun baru Imlek ganti virus Wuhan yang lolos. (dahlan iskan)