BPJS Naik, Ditinjau dari Perspektif Efisiensi dan Pemerataan

Oleh: Ade Randa

Kesehatan merupakan barang merit yang dibutuhkan oleh semua orang baik bagi yang memiliki kemampuan membeli maupun yang tidak mempunyai kemampuan membeli. Oleh karena barang merit ini, maka dibutuhkan tanggung jawab negara dalam penyediaannya, jelas ditegaskan dalam konstitusi negara bahwa kesehatan menjadi pelayanan dasar serta hak setiap warga negara.

Salah satu bentuk tanggung jawab pemerintah adalah menyediakan fasilitas kesehatan yang memadai dan memberikan jaminan kesehatan yang layak. Berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Pasal 3 dijelaskan bahwa tujuan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS Kesehatan) adalah dalam rangka mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan kesehatan yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya sebagai pemenuhan kebutuhan dasar hidup penduduk Indonesia.

Kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang dibebankan kepada masyarakat juga telah menjadi polemik tersendiri. Terhitung mulai awal tahun 2020 iuran peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) baik untuk masyarakat pekerja penerima upah dan peserta pekerja bukan penerima upah mengalami kenaikan.

Kebijakan Pemerintah menaikkan iuran ini didasari atas pertimbangan. 3 hal utama yaitu kemampuan peserta dalam membayar iuran (ability to pay), upaya memperbaiki keseluruhan sistem JKN sehingga terjadi efisiensi, serta gotong royong antar peserta pada segmen lain (Kemenkeu, 2019). Ketika BPJS Kesehatan melakukan efisiensi dengan menaikan iuran peserta artinya Pemerintah berusaha menutup kerugian yang ada demi keberlanjutan BPJS tetapi disisi lain iuran tersebut akan membebani masyarakat.

Dikatakan bahwa pelaku ekonomi, baik konsumen (masyarakat) maupun produsen (BPJS Kesehatan) selalu bertindak rasional dalam pengambilan keputusan. Sebagai konsumen yang rasional dengan dana yang terbatas, konsumen akan berusaha mendapatkan barang dan jasa dengan biaya yang paling rendah (Retnandari, 2015). Dalam konsep efisiensi dikenal dengan konsep pareto efficiency. Konsep ini untuk melihat bahwa antara pihak produsen dan konsumen tidak ada yang yang dirugikan (Retnandari, 2015).

Jika melihat anggaran BPJS Kesehatan setiap tahunnya defisit maka BPJS Kesehatan tidak pada keadaan optimal (pareto).  Sementara jika beban iuran naik maka masyarakat selaku konsumen tidak akan pada keadaan optimal (pareto). Berdasarkan konsep tersebut  maka antara produsen (BPJS Kesehatan) dan konsumen (Masyarakat) artinya sama-sama berusaha meningkatkan efisiensi semaksimal mungkin dengan menjalankan rasionalitasnya dalam menjalankan transaksi. Dalam kebijakan publik dikatakan Retnandari (2015) bahwa sulit untuk menggunakan pareto efisiensi,  lebih tepat jika kebijakan publik menggunakan pareto improvement.

Konsep ini menjelaskan bahwa adanya transaksi yang membuat sebagian masyarakat menjadi lebih baik, walaupun kebijakan itu menjadi pro kontra Pemerintah harus memperhitungkan dan menganalisis bahwa dalam jangka waktu tertentu kebijakan tersebut akan berdampak baik.

Selain itu dalam kebijakan kenaikan iuran ini pemerintah harus melihat rangka kebijakan yang dibuat secara menyeluruh yang terjadi selama ini, terutama pada aspek pelayanan yang selama ini terkesan berbelit-belit, kurang maksimalnya pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit maupun verifikator BPJS Kesehatan dalam melayani para pasiennya, selain itu terkesan bahwa BPJS Kesehatan kurang melakukan sosialisasi terutama pada masyarakat miskin, dimana masyarakat miskin sulit untuk mengakses informasi. Hal ini menunjukan perlu perbaikan sistem layanan kesehatan baik dari sisi penyediaan fasilitas Kesehatan (supply), maupun dari sisi permintaan akan layanan kesehatan (demand).

Kurangnya perhatian pemerintah ini menyebabkan ketidakmerataan distribusi layanan kesehatan bagi masyarakat pada umumnya. Pemerataan dari aspek penyediaan layanan Kesehatan (Supply) baik oleh pemerintah maupun non pemerintah yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan masih jauh dari harapan. Hal ini menyebabkan masalah ketimpangan akses pada layanan kesehatan yang berkualitas di seluruh Indonesia.

Selain itu, penyediaan layanan Kesehatan non pemerintah sesungguhnya menggunakan logika profit, dalam arti untuk memperoleh kentungan yang sebesar-besarnya. Logika ini dipakai dan cenderung mengabaikan kualitas pelayanan yang baik bagi masyarakat. BPJS selaku lembaga asuransi Kesehatan Pemerintah harus memperhatikan ini, boleh ada pengambilan keuntungan, tetapi keuntungan tersebut dipergunakan kembali untuk pelayanan dan fasilitas kesehatan kepada masyarakat.

Permintaan akan layanan Kesehatan (demand) bagi masyarakat yang tidak memiliki kemampuan membayar diintervensi oleh pemerintah melalui asuransi Kesehatan (BPJS Kesehatan). Permintaan yang semakin tinggi terhadap layanan Kesehatan ini sebenarnya perlu pembenahan ditengah krisis yang melanda BPJS Kesehatan. Ketidakmerataan informasi (asimetri informasi) menyebabkan terjadinya Moral hazard dan adverse selection (Goldman dkk, 2014).

Moral hazard disini berarti bahwa konsumen yang merasa resiko kesehatannya sudah ditanggung oleh BPJS Kesehatan bebas kapan saja bisa mengunjungi layanan kesehatan bahkan untuk keadaan sakit ringan sekali pun. Selain Moral hazard ada juga praktek adverse selection yaitu kecenderungan meningkatnya peserta asuransi yang memilih membeli asuransi setelah memiliki catatan kesehatan yang buruk atau sebaliknya berkurangnya jumlah peserta asuransi yang memiliki catatan kesehatan yang baik.

Manajemen BPJS Kesehatan yang tidak hati-hati selain memicu terjadinya praktek Moral hazard dan praktek adverse selection, juga menghasilkan fenomena free riders (penunggang gratis). Kebanyakan dari mereka hanya akan memanfaatkan BPJS Kesehatan untuk memenuhi tuntutan biaya kesehatan mereka dan bukan sebagai kebutuhan di masa depan.

Pembenahan dalam sistem manajemen BPJS Kesehatan akibat asimetri informasi ini perlu dilakukan sehingga prinsip gotong royong yang menjadi prinsip pertama BPJS Kesehatan dapat tercapai. Prinsip gotong royang menjadi cerminan terhadap pemerataan dengan asumsi bahwa yang sehat menolong yang sakit, dan yang kaya menolong yang miskin. Akan tetapi dalam prakteknya pemerataan ini tidak mudah untuk direalisasikan. Orang kaya berusaha mendapatkan pelayanan maksimal sekalipun harus membayar lebih dari ketentuan yang dijamin dalam BPJS Kesehatan.

Dengan perilaku seperti ini tidak mengherankan jika BPJS kesehatan mengalami defisit besar-besaran. Oleh karena itu, setelah pemerintah menerapkan kebijakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan yaitu pada Januari 2020 nanti, diharapkan penataan dalam manajemen serta pelayanan yang baik dari BPJS Kesehatan baik dari sisi supply maupun demand. Apabila pembenahan ini sudah berjalan baik , maka fungsi utama dari kehadiran BPJS Kesehatan dapat terdistribusi secara merata kepada setiap pengguna layanan.

 

*Mahasiswa Pascasarjana Magister Administrasi Publik UGM 2019,
email: [email protected]