Presiden Seperti Sedang Makan Buah Simalakama. Takut yang Mana, Dibenci Rakyat yang Turun ke Jalan atau Ancaman DPR?

Jokowi

eQuator.co.id – JAKARTA-RK. Puluhan tokoh bangsa yang bertemu Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu kembali berkumpul kemarin (4/10). Mereka mendorong Jokowi memberi kejelasan terkait nasib Perppu UU KPK. Para tokoh bangsa juga mengecam pihak-pihak yang seolah mengancam bahwa Jokowi bakal turun jika mengeluarkan Perppu.

Secara tertulis, para tokoh tersebut menyatakan tiga sikap. Pertama, mendorong Presiden menerbitkan Perppu sebagai bentuk komitmen pemberantasan korupsi. Kedua, mengingatkan elit politik agar tidak mengeluarkan statement yang justru menyesatkan publik. Dan ketiga, mengecam pihak-pihak yang dengan jelas melemahkan KPK melalui revisi UU tersebut.

Mantan Ketua KPK, Taufiequrrahman Ruki, mempertanyakan pernyataan elit politik tentang impeachment. Bahwa Jokowi akan dimakzulkan jika mengeluarkan Perppu tersebut.

“Konstitusi mana yang mau dipakai (untuk impeachment)? Itu kan hak presiden dalam kapasitasnya sebagai kepala negara,” tegas Ruki. DPR dalam hal ini pun hanya punya dua pilihan, yakni menerima atau menolak Perppu.

Ruki menegaskan bahwa tidak ada konsekuensi hukum bagi Presiden jika menerbitkan Perppu. Baik itu hukum pidana maupun hukum tata usaha negara. Dia mengingatkan bahwa sistem yang berlaku di Indonesia saat ini adalah presidensial. Bukan parlementer. Di mana mandat terbesar dari rakyat diberikan kepada Presiden.

Pada pertemuan dengan Presiden 26 September lalu, Ruki telah menjelaskan hasil pengamatan terhadap revisi UU tersebut. Terbukti banyak hal-hal yang menunjukkan minimnya pertimbangan teori hukum.

Diantaranya, soal umur minimal pimpinan KPK. Ruki menganggap hal tersebut adalah kecerobohan fatal yang juga bisa berpengaruh pada periode yang akan datang. Salah satu pimpinan terpilih berusia 45 tahun, otomatis dia akan gugur jika UU ini mulai berlaku.

Secara teknis, ahli hukum tata negara Bivitri Susanti menjelaskan bahwa Perppu tetap bisa dikeluarkan jika Presiden menghendaki. Meskipun saat ini sudah ada pengajuan judicial review ke MK. Namun, dia menegaskan bahwa pengajuan itu belum bisa diproses selama UU belum ditandatangani Presiden atau berlaku setelah 30 hari pengesahan.

Karena itu, menurut Bivitri, sebenarnya ada pilihan bagi Presiden untuk menerbitkan Perppu. Ditandatangani sekarang lalu mengeluarkan Perppu-nya, atau menunggu tanggal 17 Oktober 2019. Menunggu hingga 30 hari juga bisa dianggap sebagai sinyal yang baik karena ada cukup banyak waktu untuk menyusun Perppu. Namun, Bivitri menegaskan bahwa rakyat butuh kepastian.

“Nyatakan saja dulu, ‘Ya, saya akan keluarkan Perppu’,” ujarnya kemarin.

Di sisi lain, mantan Peneliti LIPI Mochtar Pabotinggi menilai bahwa desakan parpol seharusnya tidak mengintimidasi Jokowi. Rakyat juga diminta untuk tidak termakan narasi-narasi impeachment yang disampaikan elite partai. Mochtar memperkirakan, bahkan jika saat ini Presiden langsung mengeluarkan Perppu pun, partai bisa berbalik posisi dan kembali mengekor Jokowi.

Menanggapi desakan yang datang dari para tokoh nasional dan mahasiswa untuk mengeluarkan Perppu, Kepala Staf Kepresidenan Jenderal Purnawirawan Moeldoko mengatakan presiden sudah mendengarnya. “Sekali lagi presiden mendengarkan semuanya,” ujarnya di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, kemarin.

Namun apakah tuntutan tersebut akan dipenuhi, Moeldoko menyebut tidak bisa terburu-buru. Sebab, di sisi lain, ada juga suara dari partai politik ataupun masyarakat lainnya yang berbeda. Oleh karenanya, atas berbagai masukan ini, presiden perlu menimbang-nimbang.

“Ya semua nanti kan, akan dikalkulasi,” imbuhnya.

Diakuinya, persoalan Perppu KPK ini tidak mudah bagi Presiden. Sebab, posisinya dilematis. Di satu sisi, banyak masyarakat menginginkan perppu dilakukan. Namun partai politik dan sebagian masyarakat lainnya pro dengan UU KPK.

“Seperti simalakama, gak dimakan bawa mati, dimakan ikut mati, kan begitu,” tuturnya. Apapun pilihan yang diambil nantinya, Moeldoko memastikan tidak akan bisa memuaskan semua pihak.

Lantas, bagaimana dengan tenggat waktu 14 Oktober yang disampaikan mahasiswa? Mantan Panglima TNI itu menegaskan pemerintah masih mempertimbangkan semua masukan. Namun Moeldoko berharap semua kalangan bisa berfikir lebih jernih.

“Jangan pakai bahasa pokoknya lah, kita itu memikirkan negara itu persoalannya besar, semua harus dipikirkan, semua harus didengarkan,” pungkasnya.

Sementara itu, anggota Fraksi PKS DPR RI Nasir Djamil mengatakan, Jokowi seharusnya komitmen dengan apa yang sudah disampaikan. Presiden sudah membahas UU KPK dan sudah menyetujuinya.

“Kalau tiba-tiba Jokowi keluarkan perppu, tentu Jokowi dianggap melanggar komitmen oleh teman-teman di DPR,” ucap dia kepada Jawa Pos kemarin.

Dia melihat Jokowi dalam posisi dilematis. Seperti sedang memakan buah simalakama. Jika dia menerbitkan perppu, maka mantan Gubernur DKI Jakarta itu akan berhadapan dengan partai politik (Parpol) di DPR. Sebaliknya, kalau dia tidak mengeluarkan perppu, Jokowi akan berhadapan dengan para tokoh-tokoh yang selama ini mendorong penerbitan perppu.

Lebih baik, kata Nasir, Jokowi mempersilahkan para tokoh untuk menempuh judicial review (JR) ke MK. Jokowi bisa mengundang perguruan tinggi, para mahasiwa, dan tokoh untuk mengajukan uji materi ke MK.

“Itu lebih ksatria, lebih bermartabat,” terang politikus asal Aceh.

Menurut dia, JR ke MK merupakan cara yang konstitusional. Dengan JR ke MK, maka menyelamatkan wajah semua pihak. Baik wajah presiden, DPR, dan masyarakat.  Apa pun yang akan diputuskan ada risikonya. Namun, Jokowi bisa memilih risiko yang paling kecil, yaitu meminta para tokoh dan pihak yang tidak sepakat dengan UU KPK untuk menempuh jalur hukum di MK.

Jika Jokowi tetap memaksakan diri mengeluarkan perppu, maka apa yang disampaikan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh bisa saja terjadi. Yaitu, ancaman impeachment, pemakzulan. DPR mempunyai hak untuk itu.

“DPR juga punya hak angket, dan hak lainnya. Artinya, apa yang disampaikan Pak Surya Paloh bisa saja terjadi,” tegas dia.

Nasir mengatakan, UU KPK sudah disahkan. Biarlah para hakim MK yang menilai. JR merupakan cara yang lebih konstitusional, daripada mendorong Jokowi menerbitkan perppu.

Selepas aksi penolakan UU KPK, sejumlah lembaga bantuan hukum membuka pos pengaduan. Tim advokasi untuk demokrasi kemarin memaparkan laporan pengaduan masyarakat terkait tindak kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam aksi reformasi dikorupsi di Jakarta dan sejumlah daerah. Hingga Kamis (3/10), total pengaduan yang diterima sebanyak 390. Mayoritas melaporkan kasus yang dialami mahasiswa (201 aduan).

Anggota tim advokasi Rivanlee menyebut pengaduan paling banyak adalah tindakan penganiayaan dan penangkapan yang diduga dilakukan aparat saat aksi tanggal 24 hingga 30 September di Jakarta dan di beberapa daerah, seperti Makassar. Tindakan represif tersebut tentu menyalahi aturan tentang pedoman pengendalian massa.

Ari Pramoeditya, anggota tim advokasi untuk demokrasi lainnya menambahkan tindakan eksesif yang dilakukan aparat dalam pengendalian massa tersebut bertentangan dengan Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 7/2012. Dalam aturan itu, aparatur pemerintah dalam hal ini Polri tidak diperbolehkan melakukan upaya kontraproduktif saat mengawal pelaksanaan aksi penyampaian aspirasi masyarakat.

Misal, mengejar pelaku, membalas melempar batu, menangkap dengan kasar (menganiaya atau memukul). Dalam aturan itu juga menegaskan aparat tidak boleh menghalangi, sweeping, penggembosan, dan penangkapan sebelum aksi terjadi.

“Yang terjadi di lapangan justru aparat melakukan tindakan eksesif,” tegas aktivis Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) itu.

Tim advokasi pun meminta pemerintah segera mencabut RUU kontroversi yang menjadi biang keresahan masyarakat dan pemantik terjadinya aksi massa besar-besaran di sejumlah daerah. Mereka juga meminta lembaga negara, seperti Komnas HAM, Ombudsman RI, LPSK, Komnas Perempuan, KPAI dan Kompolnas lebih proaktif berperan dan menjalankan tanggungjawabnya terhadap peristiwa kelam itu.

Tim yang terdiri dari sejumlah lembaga non pemerintah itu juga meminta Polri melakukan evaluasi dan audit atas perilaku anggotanya di lapangan yang terbukti melakukan pelanggaran. “Mereka (Polri) harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara etik maupun pidana atas penanganan aksi massa,” tutur Afif, anggota tim advokasi yang lain. (Jawa Pos/JPG)