eQuator.co.id – Jakarta-RK. Demonstrasi di Ibu Kota RI, kemarin (30/9), kembali dihadiri ribuan mahasiswa dan pelajar. Mereka berdatangan sejak pukul 14.00 WIB.
Tidak seperti demonstrasi pada 23–24 September lalu yang massanya menumpuk di depan gedung DPR, kemarin titik massa terpencar. Sebab, area di depan gerbang DPR diblokade polisi sejak pagi.
Konsentrasi massa tampak di beberapa titik. Antara lain, Jalan Gatot Subroto, sisi utara dan selatan gedung DPR, depan Manggala Wanabakti atau depan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta Stasiun Palmerah di belakang gedung DPR. Ada juga massa yang berkumpul di sepanjang Jalan Gerbang Pemuda atau depan kantor TVRI.
Tuntutan demonstran tidak berubah. Yaitu, mendesak DPR dan pemerintah untuk membatalkan revisi UU KPK, menolak RUU KUHP, RUU Pertanahan, RUU Minerba, dan sejumlah RUU kontroversial lain. ”Kami juga minta aparat jangan represif menghadapi kami,” kata Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Sultan Rivandi.
Pantauan Jawa Pos, aksi mahasiswa mulai memanas sekitar pukul 15.30. Itu terjadi di Jalan Gatot Subroto sisi selatan gedung DPR. Massa melempari aparat dengan batu. Batu-batu berhamburan, mengenai tameng yang dipakai polisi. Aparat membalas dengan menembakkan gas air mata. Massa pun semburat.
Namun, tak lama kemudian, massa kembali berdatangan. Bahkan, sekitar pukul 19.00 massa menyerang kendaraan taktis (rantis) Barracuda milik Korps Brimob di Jalan Gatot Subroto. Hingga tadi malam pukul 19.40, Jalan Gatot Subroto lumpuh total. Arus lalu lintas di jalan arteri maupun tol dalam kota ditutup. Baik dari arah Semanggi ke Slipi maupun sebaliknya.
Aksi massa juga pecah di area Stasiun Palmerah. Kawasan yang berada persis di belakang gedung DPR-MPR tersebut dipenuhi massa dari arah rel kereta api di Jalan Tentara Pelajar. Mulai pukul 17.00 massa melempari aparat dengan batu, pecahan kaca, dan benda-benda lain.
Massa sempat menutup Jalan Tentara Pelajar. Arus lalu lintas lumpuh. Banyak pengendara yang akhirnya balik arah karena khawatir terkena amuk massa.
”Mohon Adik-Adik jangan menutupi jalan. Kasihan pengguna jalan. Di sana ada tukang ojek online yang mencari nafkah, ada angkot, ada orang sakit yang butuh pertolongan,” teriak polisi melalui pengeras suara. Pukul 17.30 massa membuka blokade.
Selepas magrib, massa semakin banyak. Mereka terus melempari aparat dengan batu. Polisi membalas dengan menyemprotkan air melalui water cannon. Gas air mata juga kembali diletupkan ke arah demonstran. Massa pun lari kocar-kacir lagi. Namun, tak berselang lama, massa kembali mendekat dan melempari petugas. Hingga pukul 21.30, massa masih bertahan di beberapa lokasi. Di sisi barat Stasiun Palmerah, misalnya, mayoritas yang berkumpul adalah pelajar SMK. Mereka tetap melemparkan batu ke arah aparat.
Sementara itu, penangkapan mahasiswa dan aktivis terus mengundang protes. Menurut aktivis yang tergabung dalam Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), DPR periode baru bisa mengajukan hak interpelasi untuk meminta Polri menjelaskan penangkapan para aktivis dan kasus lain.
”Melalui penggunaan hak itu, DPR dapat meminta keterangan kepada pemerintah, khususnya dalam hal ini Polri, mengenai rentetan kejadian pelanggaran HAM tersebut,” ungkap Direktur Advokasi dan Jaringan PSHK Fajri Nursyamsi.
Hak interpelasi diatur dalam pasal 20 ayat (2) UUD 1945. Lebih detail, pada pasal 194 dan 195 UU 17/2014 tentang MD3, hak interpelasi bisa digunakan dengan usulan dari minimal 25 anggota DPR yang berasal lebih dari satu fraksi. Usulan tersebut disampaikan kepada pimpinan DPR dan menjadi hak interpelasi setelah disetujui dalam rapat paripurna. Artinya, itu bakal menjadi salah satu pekerjaan rumah juga bagi DPR periode baru.
Pergantian masa jabatan seharusnya tidak menghalangi DPR untuk melaksanakan mekanisme tersebut. Menurut dia, komposisi fraksi DPR yang ada saat ini tidak berbeda dengan periode sebelumnya. Pemilu 2019 hanya mengeliminasi satu fraksi saja dari Senayan. Sedangkan sembilan fraksi lain masih eksis.
Fajri menambahkan, setelah hak interpelasi dilaksanakan, tidak tertutup kemungkinan DPR bisa mengambil langkah lanjutan yang berupa hak angket. Penggunaan hak angket dilakukan apabila ditemukan potensi pelanggaran UU akibat tindak kekerasan aparat. ”Seluruh proses harus berjalan secara transparan dan akuntabel supaya publik semakin yakin bahwa Indonesia adalah negara hukum,” katanya.
Di tempat berbeda, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) Mohamad Nasir bertemu dengan para rektor dan perwakilan dari 120 perguruan tinggi se-Indonesia. Dalam pertemuan di kantor Kemenristekdikti itu, Nasir mengajak para rektor berdialog tentang tujuh tuntutan mahasiswa. Yakni, revisi UU KPK, RUU KUHP, ketenagakerjaan, pertanahan, penghapusan kekerasan seksual, kriminalisasi aktivis, dan isu lingkungan.
’’Harapannya, bisa membuat situasi kondusif. Situasi yang bisa membuat kita dalam suasana teduh menjelang pelantikan anggota DPR maupun presiden,’’ ujarnya setelah pertemuan.
Berdasar pertemuan tersebut, lanjut Nasir, tidak ada rektor yang mengerahkan mahasiswa untuk turun ke jalan. Meski begitu, kemauan mahasiswa memang sulit dibendung. Nasir hanya berharap demo itu tidak anarkistis.
’’Intinya, saya harap mereka tidak melakukan demo lah, kembali ke kampus. Mengenai mahasiswa yang ditahan polisi, nanti kami bicarakan dengan aparat apa masalahnya. Mahasiswa itu harus di dalam kampus. Kalau di luar kampus, kami tidak bisa melindungi,’’ urai menteri 59 tahun tersebut. (Jawa Pos/JPG)