Bukan Mane

Oleh: Dahlan Iskan

AL RAHMAN. Suasana Masjid Al Rahman, masjid terbesar di Liverpool, Inggris, jumat pekan lalu. DISWAY PHOTO

eQuator.co.id – Saya sudah tiba di Liverpool Jumat siang. Siapa tahu Sadio Mane khotbah Jumat. Di masjid terbesar Liverpool —Al Rahman.

Tapi saya tiba di masjid agak telat. Langsung dari Irlandia Utara. Mendarat di Bandara John Lennon. Musikus itu memang kelahiran Liverpool. Di kota ini pula ia membangun grup The Beatles.

Tiba di masjid, lantai 1 sudah penuh. Naik ke lantai 2. Penuh. Ke lantai 3. Penuh juga.

Khotbah Jumat sudah dimulai. Bukan suara Sadio Mane. Saya kembali ke halaman. Sudah banyak yang menggelar karpet di halaman samping.

Matahari bersinar terik. Tapi udara sejuk. Di bawah sinar terik pun masih harus pakai jaket.

Kebetulan saya baru membeli jaket Liverpool. Dengan jaket itu saya ikut berpanas di halaman. Halaman ini akhirnya penuh juga.

Khotbahnya terdengar dari halaman. Ada pengeras suara. Yang dipasang di luar masjid. Baru sekali ini saya melihat —di dunia Barat. Masjid boleh pasang pengeras suara di luar. Yang suara khotbah dan azan ya terdengar nyaring di perumahan sebelah.

Saya ikut duduk bersila di atas karpet di halaman itu. Saya tidak berani ganggu kanan-kiri saya —bisa mengganggu keseriusan mereka mendengarkan khotbah. Yang hari itu topiknya mengenai LGBT.

Padahal saya ingin sekali bertanya: apakah Sadio Mane sudah datang? Apakah M. Salah juga salat Jumat di masjid ini?

Mungkin Mane sudah di dalam. Di lantai 1. Di barisan depan. Saya kembali melongok ke dalam masjid. Siapa tahu bisa melihat kepala Mane. Yang rambutnya khas itu —diwarnai kuning membentuk garis.

Saya memotret sesapuan. Tidak ada kepala Mane di foto itu. Lalu saya balik bersama ‘jamaah telat’ di halaman.

Saya pun tidak kecewa. Ini kan salat Jumat. Bukan temu fans sepak bola Inggris.

Masjid inilah yang bikin heboh tahun lalu. Ketika tersiar video Mane. Yang lagi bersih-bersih toilet masjid. Juga ngepel. Tepatnya, ngepel tempat berwudu.

Hari itu pertandingan sepak bola baru selesai. Liverpool lawan ups, saya lupa. Usai bertanding penyerang produktif Liverpool itu ke masjid. Ngepel toilet.

Mane memang muslim. Ayahnya imam masjid. Di Senegal sana.

Mane juga mengaku rajin salat lima waktu. Menyisihkan sebagian gajinya untuk membangun masjid di negaranya. Berikut madrasah di sampingnya.

Selesai salat saya tidak bergegas pergi. Saya perhatikan jemaah yang keluar masjid. Satu persatu. Tidak ada Mane.

Ternyata banyak sekali masjid di Liverpool. Mungkin Mane di tempat lain. Atau entah di mana.

“Saya tidak bisa membayangkan. Kalau saja Mane —atau Salah— ke masjid ini,” ujar anak muda ini. “Semua bisa minta foto. Sangat terganggu,” tambahnya.

Anak muda ini selalu Jumatan di masjid ini. Asalnya Yaman. Baru selesai kuliah di Liverpool. Ambil jurusan transportasi dan logistik. Ia tunjukkan foto wisudanya di layar HP-nya.

Saya akan ke masjid lain. Besoknya. Atau lusanya. Saya masih tiga hari lagi di Liverpool. Yang sehari khusus untuk nonton sepak bola —Liverpool lawan Newcastle.

Besoknya, jam 8 pagi, saya sudah siap ke stadion. Terlalu pagi sebenarnya. Pertandingan baru mulai jam 12.30.

Tapi saya sudah siap. Sudah pakai jersey Liverpool.

Begitu tiba di lobi hotel ternyata sudah ada juga yang pakai seragam Liverpool. Sudah lebih dulu siap berangkat. Ia dari Texas, Amerika.

Ia naik taksi. Taksinya sudah siap di depan lobi. Berarti jam 9 sudah akan tiba di stadion.

Saya akan naik bus kota saja. Murah. Sekali jalan Rp 60 ribu.

Begitu taksi itu berangkat, saya pun ke terminal bus kota. Saya da da orang Texas itu. Saya jalan kaki ke terminal. Kira-kira akan setengah jam. Menurut Google.

Tapi jalanannya asyik. Melewati dermaga kapal pesiar. Kapalnya delapan tingkat.

Saya terus menyusuri Teluk Liverpool. Menuju pusat kota. Terminalnya di dekat Liverpool One —pusat perbelanjaan dan jalan-jalan.

Saya sudah tahu tempat bus jurusan stadion itu: Gate no 4. Sudah sembilan orang di gate itu. Empat orang dari Hongkong. Ada yang dari Jepang. Sisanya orang setempat.

Kali ini saya tidak akan gagal lagi. Saya sudah punya tiket masuk.

Waktu di London saya cari-cari di online. Tapi ada pertanyaan yang saya tidak bisa jawab: tinggal di mana? Alamatnya apa?

Saya lagi nomaden. Hampir tiap hari pindah kota.

Akhirnya saya minta tolong petugas hotel. Langsung dapat tiket itu. Tinggal satu. Harganya Rp 6 juta.

Ya sudah. Nasib.(DIS)