eQuator.co.id – Saya ke kota Palu lagi. Setelah meninggalkan Ibukota provinsi Sulawesi Tengah itu selama 20 tahun. Saya pernah tinggal di bibir Teluk Palu itu selama 6 tahun (1993 – 1999).
Banyak yang sudah berubah selama 20 tahun terakhir. Kotanya tambah padat. Penduduknya sudah lebih dari 250 ribu jiwa. Kawasan pemukiman warga kota juga semakin lebar. Hingga menyeberangi perbatasan dengan Kabupaten Sigi Biromaru dan Kabupaten Donggala.
Hanya dua hari saya berada di kota Palu. Tiba hari Sabtu. Kembali ke Jakarta hari Minggu.
Memang tidak banyak agenda saya di kota itu. Hanya mengunjungi lokasi pembangunan rumah sakit milik Muhammadiyah: RS PKU Siti Fadillah Supari.
Rumah sakit ini awalnya hanya klinik dokter biasa. Gara-gara bencana gempa dan tsunami, klinik akhirnya dilengkapi dengan kamar-kamar perawatan. Untuk melayani korban bencana Yang harus opname.
Kegiatan pertolongan medis Itu rupanya menarik perhatian berbagai lembaga donor. Masuklah sejumlah bantuan untuk klinik itu. Maka status sebagai klinik pratama meningkat menjadi klinik utama. Meningkat lagi menjadi RS tipe D. Dengan 50 ruang perawatan.
Tapi bukan itu yang ingin saya bahas. Saya justru ingin mengulas tentang icon bisnis kota Palu. Icon itu adalah bawang goreng.
Saya sebut bawang goreng sebagai icon bisnis kota Palu karena semua kawan saya di Palu menjawab itu. Berarti bawang goreng identik dengan kota Palu.
Perjalanan bawang goreng menjadi icon bisnis kota Palu ternyata cukup panjang. Dimulai 15 tahun lalu.
Adalah perusahaan perkebunan Hasfarm yang memulai penanaman bawang merah di dataran tinggi wilayah Sigi Biromaru. Program pertama hanya 10 hektar.
Bibit bawang merah didatangkan dari Sumenep, Madura. Bawang merah Sumenep terkenal sebagai bahan baku bawang goreng di restoran-restoran besar di Pulau Jawa karena rasany yang khas: manis dan gurih dengan tekstur getas. Kalau dikunyah menimbulkan bunyi kriuk-kriuk.
Lima bekas tahun lalu, belum ada restoran di Palu yang mau membeli bawang goreng itu. Semua restoran membuat bawang goreng sendiri. Menggunakan bawang merah yang dibeli di pasar sayur.
Hasfarm pun mengirimkan bawang goreng itu ke restoran-restoran di Pulau Jawa. Kemudian menjadikan bawang goreng sebagai oleh-oleh khas Palu bagi para pelancong yang hendak kembali ke kota awalnya.
Hari ini saya mengunjungi sebuah outlet penjualan buah tangan khas Palu. Namanya Raja Bawang. Rupanya Raja Bawang mengolah dan memasarkan sendiri produk bawang gorengnya.
Bahan baku bawang merah itu tidak lagi dari Hasfarm. Tetapi sudah dari petani bawang merah di Biromaru. Berarti budidaya bawang merah sudah menyebar luas. Sudah menjadi pengetahuan masyarakat petani.
Di Bandara Sis Al-Jufri Mutiara, bawang goreng dipasang di berbagai outlet. Mereknya beragam. Kemasannya bagus-bagus.
Bawang goreng sudah identik dengan oleh-oleh dari kota Palu. Kota Palu sudah identik dengan bawang goreng. Itulah yang saya sebut sebagai icon. Tepatnya: icon bisnis. Icon itu telah menggerakkan ekonomi dengan rantai yang panjang. Mulai hulu ke hilir.
Indonesia memiliki wilayah dengan karakter tanah yang Unik. Masing-masing wilayah tidak sama. Selayaknya setiap wilayah memiliki icon bisnis yang berbeda-beda.
Icon bisnis itulah yang akan menggerakkan perekonomian rakyat. Sayangnya masih lebih banyak pejabat yang memahami icon dengan konsep monumen: membuat bangunan unik.
Bangunan yang menghabiskan dana besar itu pun mangkrak seiring dengan habisnya masa jabatan. Kemudian jadi bahan olok-olok rakyatnya sendiri. (jto)
*Redaktur tamu Rakyat Kalbar, Direktur Lembaga Zakat Infaq dan Shadaqah Muhammadiyah (Lazismu)