HIJAB FASHION

Oleh: Joko Intarto

eQuator.co.id – Selembar hijab itu sekilas terlihat biasa saja. Motifnya daun jati. Ada yang besar, ada yang kecil. Cetakannya agak pucat. Berwarna coklat dan pink.

Eits, jangan salah… Bagi mereka yang paham fashion, justru jilbab itulah yang tengah diburu. Mereka tahu, harga jilbab itu lebih mahal karena motifnya sangat eksklusif. Setiap motif hanya dibuat satu lembar saja!

Tidak bisa dibuat seribu copy? Tidak bisa. Karena motif itu bukan hasil cetakan mesin printer. Juga bukan cetakan mesin batik. ‘’Ini jilbab ecoprint,’’ jelas Pupung Pursita, pegiat sosial yang mengembangkan ecoprint itu.

Pasti banyak yang belum paham. Apa itu hijab ecoprint?

Istilah ecoprint sebenarnya membingungkan. Awalnya saya kira jilbab yang diproduksi dengan printer digital menggunakan tinta ramah lingkungan. Ternyata salah.

Jilbab itu bukan hasil print out printer digital, melainkan hasil pencetakan dari daun-daunan alami melalui proses pengukusan selama dua jam. Warna-warni yang menempel pada kain itu berasal jenis daun yang digunakan.

‘’Ada daun yang menghasilkan warna dan corak. Ada pula yang hanya menghasilkan corak tapi tidak menghasilkan warna. Untuk jenis daun yang seperti itu, digunakan pewarna alami dari pohon-pohon tertentu,’’ papar Pupung.

Di sekitar rumah kita ternyata banyak pohon yang bisa menjadi pewarna alami. Bunga telang, misalnya, menghasilkan warna biru. Kulit manggis menghasilkan warna ungu. Kulit pohon mahoni menghasilkan warna coklat. Kulit pohon secang menghasilkan warna pink. Dan masih banyak lagi.

Pupung melakukan percobaan membuat ecoprint sejak masih kuliah di jurusan Seni Rupa Universitas Negeri Jakarta. Berbagai metode membuat motif cetakan alami dia coba. Hasil terbaiknya baru ditemukan tiga tahun lalu.

Sejak itu, Pupung mencoba mengimplementasikan menjadi produk hijab. Di pasar umum, jilbabnya dianggap tidak menarik. Tapi di pameran produk kerajian kelas internasional, jilbab itu justru diburu.

Siapa mereka? ‘’Wanita-wanita muslimah kelas menengah dan ekspatriat,’’ kata Pupung.

Berkat jilbab ecoprint itulah, Pupung mendapat undangan untuk mengisi pameran internasional di Dubai, November mendatang. ‘’Kami sedang mencari sponsor agar bisa memproduksi lebih banyak guna mengisi stand tersebut,’’ jelas Pupung yang saya temui di kantor Lazismu Pusat di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta Pusat.

Hijab memang hanya selembar kain. Tapi jangan salah. Selembar kain ini ternyata bisa melahirkan bisnis besar.

Hitung saja potensi pasarnya. Ambil contoh di Indonesia. Jumlah muslimah anggaplah 100 juta orang. Bila 50 persennya menggunakan jilbab, berarti pasarnya ada 50 juta orang.

Berapa jumlah jilbab yang dimiliki setiap muslimah? Lima? Sepuluh? Kurang banyak. Coba cek di lemari baju rumah Anda. Saya yakin jumlah jilbabnya paling sedikit 25 lembar.

Apakah muslimah butuh begitu banyak jilbab? Kalau hanya untuk memenuhi ketentuan syariat, memang tidak butuh banyak-banyak. Kalau sehari satu jilbab, punya 3 lembar juga sudah cukup.

Pasar hijab nasional dibagi menjadi tiga segmen. Segmen pertama, kerudung praktis. Produk ini digunakan sekitar 70 persen muslimah di Indonesia. Kedua, jilbab syariah yang digunakan sebagian kecil wanita Indonesia. Ketiga, jilbab modis yang digunakan wanita kelas menengah.

Jilbab sudah bermetamorfosis. Jilbab tidak hanya digunakan sebagai penutup rambut kepala muslimah. Jilbab juga berfungsi ganda sebagai bagian dari fashion muslimah.

Jadi jangan heran kalau para suami menemukan puluhan lembar jilbab dengan aneka warna, jenis kain dan motif atau desain. Pemiliknya yang lebih tahu. Kapan dan dalam suasana apa dia harus memakai jilbab yang mana.(jto)