Setiap hari di musim kemarau helikopter pengebom air berpatroli di atas langit Kalimantan Selatan (Kalsel). Wartawan Radar Banjarmasin berkesempatan ikut merasakan sensasi duduk memadamkan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dari atas capung besi pengangkut air itu.
SUTRISNO, Banjarbaru
eQuator.co.id – Tepat pukul 09.00 Wita, Jumat (30/8), helikopter water bombing itu berangkat dari Bandara Syamsudin Noor. Dengan dikomandoi Kapten Faris Ichsan, didampingi Helicopter Landing Officer (HLO) Imam Sasmito yang bertugas menghitung dan memotret titik api yang ditemukan.
Sementara, wartawan koran ini duduk di belakang bersama reporter salah satu radio swasta bernama Adam. Keduanya tampak senang, karena baru pertama kali merasakan naik helikopter.
Keraguan sebenarnya sempat muncul dari dua wartawan ini saat memasuki helikopter. Dan bertanya-tanya, apakah aman terbang dengan heli kecil tipe Robinson R66 yang cuma memiliki panjang sekitar 11 meter itu.
Rasa ragu pun menguat saat pilot mulai menerbangkan helikopter berkapasitas lima orang tersebut. Pasalnya, saat terbang pesawat udara menggunakan baling-baling ini seringkali oleng setiap kali ada angin.
Untungnya, saat itu cuaca sedang cerah-cerahnya. Sehingga, dianggap aman untuk penerbangan.
Pada pagi itu, helikopter bertugas melakukan pemantauan titik api di wilayah Utara Kalsel. Yakni, Banjarbaru, Kabupaten Banjar, Batola, Tapin dan daerah Hulu Sungai.
Ketika mengitari kawasan Banjarbaru, wartawan koran ini sebenarnya sempat ikut menghitung jumlah titik api yang ditemukan. Namun, ketika sekitar 30 menit terbang keikutsertaan menghitung hotspot dihentikan. Lantaran, sudah merasakan pusing akibat mabuk udara.
Hal yang sama juga dirasakan reporter radio yang duduk di sebelah: Adam. Dia tampak menutup matanya untuk menghilangkan rasa pusing dan mual.
Namun, usahanya gagal. Semakin sering helikopter bergoyang, rasa mualnya tambah menjadi-jadi. Dan akhirnya, dia mengambil kantong plastik yang sudah tersedia di sebelahnya untuk menampung muntah. Hal yang sama juga dilakukan wartawan koran ini.
Usai muntah beberapa kali, Adam sempat mengeluh tidak kuat berlama-lama ikut terbang. “Kalau bisa turun. Saya mau turun sekarang,” katanya. Mendengar perkataan Adam, pilot dan rekannya yang duduk di depan sontak tertawa.
Tapi, pilot tidak mungkin menurunkan penumpang. Sebab, mereka harus menyelesaikan pemantauan karhutla yang sudah direncanakan pada rapat pagi sebelum keberangkatan.
Dalam penerbangan itu, ada banyak titik api yang terlihat. Bahkan, beberapa wilayah tampak diselimuti kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan. Di mana, semua titik api itu difoto oleh Helicopter Landing Officer (HLO) Imam Sasmito untuk dilaporkan ke posko.
Di saat pilot dan HLO sedang sibuk mencari dan menghitung titik api, dua penumpang di belakang, wartawan koran ini dan reporter salah satu radio swasta justru menahan mual dengan menidurkan diri. Dan berharap, agar misi segera selesai.
Sekitar dua jam melakukan patroli, akhirnya pilot memutuskan untuk kembali ke Bandara Syamsudin Noor. Karena, semua daerah yang menjadi target mereka sudah dipantau.
HLO Imam Sasmito mengatakan, terbang selama dua jam lebih di wilayah Utara Kalsel mereka telah menemukan 42 titik api. “Ada yang luas dan kecil. Adapula yang hanya berupa asap dan ada yang masih berapi,” ungkapnya.
Dari data itu, dia menyampaikan, Satgas Udara punya bayangan titik mana yang harus diatasi dengan heli water bombing. “Kita melihat jaraknya. Misal di Batola tadi. Kalau memadamkan lewat darat ‘kan memerlukan waktu lama untuk ke sana. Jadi lebih baik pakai heli, paling 10 menit sampai,” bebernya.
Mengenai dua wartawan yang mabuk udara saat ikut patroli, Pilot Kapten Faris Ichsan menganggapnya hal biasa. Sebab, memang sebagian besar penumpangnya merasakan hal yang sama.
“Memang rata-rata penumpang yang ikut sama saya mabuk udara. Karena, helinya kecil dan sering goyang kalau ada angin. Kalau kami ‘kan sudah biasa,” tuturnya.
Lalu apakah tidak berbahaya, heli sekecil itu digunakan untuk patroli? Menurutnya tidak. Karena, sebelum terbang mereka terlebih dahulu melihat kondisi cuaca. “Kalau goyang-goyang itu sudah biasa. Supaya heli tidak terlalu bergoyang, kami biasanya memutar heli agar searah dengan angin,” jelasnya.
Helikopter bantuan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana itu, menurutnya sudah sangat canggih untuk digunakan patroli. Sebab, sudah menggunakan sistem autopilot.
“Navigasinya juga canggih. Kita bisa melihat berapa ketinggian gunung dan pesawat di atas kita,” ujarnya.
Untuk memantau titik api, dia mengungkapkan, rata-rata helikopter diterbangkannya setinggi 500 kaki. “Sebenarnya heli bisa terbang sampai 2000 kaki, tapi kalau kita terlalu tinggi tidak bisa melihat dan memoto titik api,” jelasnya.
Sementara itu, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kalsel Wahyuddin mengatakan, patroli karhutla rutin dilaksanakan dua kali dalam sehari. “Kalau pagi wilayah Utara Kalsel. Siangnya, patroli di bagian Selatan,” katanya.
Dari hasil patroli, dia menyampaikan, satgas bisa merencanakan pemadaman sesuai dengan kondisi titik api. “Kalau dipantau duluan, kita bisa tahu titik mana yang harus diprioritaskan,” pungkasnya. (Radar Banjarmasin/JPG)