Menteri LHK Datang ke Pontianak, Segel 19 Lahan Konsesi yang Terbukti Terbakar

Ketua Dewan AMAN Kalbar: Jangan Kambinghitamkan Peladang

DI PONTIANAK. Gubernur Sutarmidji berbincang dengan Menteri LHK Siti Nurbaya, Minggu (1/9), di Rumah Radank Pontianak. Abdul Halikurrahman-RK

eQuator.co.id – Pontianak-RK. Tak kurang dari 19 areal lahan konsesi perusahaan perkebunan di wilayah Kalbar, disegel Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Menteri LHK Siti Nurbaya memastikan penyumbang Karhutla akan diproses, tidak ada pengecualian.

“Ada 19 di Kalbar. Tapi memang saya minta kepada Pak Dirjen untuk diintensifkan saja. Tidak boleh ada toleransi apa-apa. Kebanyakan masih kebun,” ujar Siti Nurbaya, di Pontianak, Ahad (1/9).

Penyegelan dilakukan karena lahan-lahan perusahaan tersebut terbukti terbakar saat musim kemarau beberapa bulan belakangan ini. Kata Siti Nurbaya, dari 19 lahan yang disegel tiga diantaranya sudah diproses hukum. Dengan status penanganan, sudah masuk tahap penyidikan.

“Yang di Kalbar, penyidikan tiga (perusahaan) yang dilakukan KLHK. Tapi kita tidak tahu, yang tahu polisi, karena ada banyak,” ucapnya.

Tindakan yang dilakukan KLHK kepada pihak-pihak yang terlibat Karhutla, termasuk koorporasi di dalamnya, diklaim bentuk komintmen keseriusan pemerintah dalam menangani Karhutla. “Penyidikannya dijalani terus. Pokoknya, semua dijalankan. Termasuk yang disegel kita terus teliti dan dalami,” ujarnya.

Sebelumnya, Wakil Gubernur Kalbar Ria Norsan mengungkapkan Kalbar peringkat ke tujuh penyumbang Karhutla terbesar secara nasional, dari Januari hingga Juli 2019. Luas lahan terbakar di Kalbar mencapai 3.315 hektar.

Angka itu jauh di bawah provinsi Nusa Tenggara Timur yang luas lahan terbakar mencapai 71.712 hektar.

Pemprov Kalbar kata Norsan serius dalam pengendalian Karhutla yang selain merugikan APBD, juga APBN untuk dana penanggulangannya. Karena itu, Kalbar sudah menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 39 Tahun 2019, tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan.

Sasaran utama dalam Pergub tak lain adalah korporasi baik perkebunan maupun hutan tanaman industri. Dengan alasan kelalaian dalam menjaga lahannya dari ancaman kebakaran, terkena Pasal 17 ayat 2. Izin operasional akan dibekukan selama tiga tahun.

PH DALAM DILEMA

Sementara itu, Ketua Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) wilayah Kalimantan Barat, Paolus Hadi, menegaskan berladang adalah kegiatan sekaligus kearifan lokal masyarakat yang tujuannya untuk bertahan hidup. Saat ini, masih ada masyarakat harus membakar lahan untuk berladang, sedangkan dampak dari bakar lahan tersebut mengakibatkan kabut asap.

“Berapa peladang di Sanggau? Tapi kalau sumber asap Sanggau pemecah rekor. Yang harus kita pahami dan sepakati di sini,” kata PH, sapaan akrabnya, dalam sambutannya pada kegiatan Musyawarah Masyarakat Adat Wilayah Kalimantan Barat III tahun 2019, di wisma Tabor, Kecamatan Parindu, Jumat (30/8).

Ia juga mempertanyakan bagaimana membedakan masyarakat yang berladang untuk hidup dengan oknum yang memanfaatkan bakar ladang untuk kepentingan bisnis, sementara oknum tersebut tergolong masyarakat yang ekonominya mapan. “Ini yang harus jadi perhatian kita. Jangan sampai masyarakat yang berladang untuk bertahan hidup dikambinghitamkan, seolah-olah masyarakat sumber penghasil asap terbesar,” sambungnya.

Dengan kondisi seperti ini, PH yang juga Bupati Sanggau itu mengaku dilematis. Satu sisi ia berada dalam posisi pemerintah yang harus mengikuti aturan yang mendesak penghentian Karhutla, di sisi lain dirinya juga sebagai masyarakat adat yang memahami persoalan masyarakat yang berladang dengan membakar lahan untuk bertahan hidup.

“Pesan saya teruslah berladang, karena berladang dilindungi oleh undang-undang, termasuk peladangnya. Hanya saja yang harus ditindak tegas adalah oknum atau kelompok yang memanfaatkan dan mengatasnamakan peladang dan masyarakat adat,” ujarnya.

Dalam musyawarah tersebut, ia berharap ada solusi untuk masyarakat yang masih berladang dengan membakar lahan. Bagaimana masyarakat tetap berladang tapi tidak harus bakar lahan.

Harus ada solusi kedepannya agar masyarakat adat tetap bisa bertahan hidup. Ia juga menambahkan, masyarakat tidak akan berladang lagi secara tradisional jika tanah yang mereka miliki bisa dijadikan sawah.

“Mengapa mereka bakar ladang? Ya kita juga harus paham sejarahnya. Momen ini tantangan untuk kita bahas, dan sementara kita harus hilangkan ego kita,” sebut PH.

Ia menjelaskan, sebenarnya masyarakat bukan membakar hutan, tapi membuka ladang yang wilayahnya sudah dialokasikan melalui musyawarah adat. Dan ada juga yang mau berladang tapi tidak bisa karena daerah ditetapkan sebagai kawasan hutan yang dilindungi dan akhirnya mereka harus bersawah.

“Contohnya di Balai-Batang Tarang. Tidak banyak lagi yang berladang karena di sana banyak sawah,” kata bupati dua periode ini.

 

Laporan: Abdul Halikurrahman, Kiram Akbar

Editor: Mohamad iQbaL