eQuator.co.id – Pontianak-RK. Entah harus bersyukur, sedih atau prihatin, Kalimantan Barat ternyata menempati peringkat ke tujuh penyumbang kebakaran hutan dan lahan se Indonesia. Dari Januari hingga Juli 2019.
Total luas lahan yang terbakar di wilayah Kalbar meliputi hampir seluruh kabupaten/kota selama tujuh bulan terakhir ini, mencapai 3.315 hektar. Sedangkan luas Kalbar dengan 14 kabupaten/kota tercatat 147.307 kilometer persegi.
Peringkat pertama Karhutla terbesar di Tanah Air justru diraih Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dipimpin oleh Gubernur Viktor Laiskodat. Dengan luas hanya 47,246 Km persegi, lahan yang terbakar selama 7 bulan tak kurang dari 71.712 hektar.
Urutan ke 7 untuk Kalbar untuk Karhutla se-Indonesia itu diungkapkan langsung oleh Wakil Gubernur Kalbar, Ria Norsan, saat Rapat Evaluasi Karhutla yang digelar di Kantor Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPDB) Kalbar, Jumat (30/8).
Norsan menegaskan, Pemprov Kalbar sangat konsen terhadap pengendalian Karhutla yang selama ini selalu menjadi teror di setiap musim kemarau.
Komintmen Pemprov Kalbar terhadap pengendalian Karhutla dibuktikan dengan dikeluarkannya Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 39 Tahun 2019. Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan.
Menurut Norsan, dalam Pergub tersebut sangat ekplisit dijelaskan soal sanksi-sanksi terhadap pihak-pihak yang lalai menjaga lahannya dari ancaman kebakaran.
Di Pasal 17 ayat 2 misalnya, disebutkan, konsesi lahan perkebunan koorporasi yang terbukti lahannya terbakar akibat kelalaian, maka izin operasionalnya akan dibekukan selama tiga tahun.
Norsan berharap, Pergub tersebut bisa maksimal menekan jumlah kebakaran hutan dan lahan di wilayah konsesi maupun Hutan Tanaman Industri (HTI) yang kerap terjadi saat memasuki musim-musim panas kedepan.
“Mudah-mudahan, bulan-bulan kedepan hotspot dan firespot di Provinsi Kalbar bisa berkurang,” harapnya.
Norsan mengakui, biaya untuk kegiatan pemadaman kebakaran hutan dan lahan cukup besar. Bahkan mencapai milyaran rupiah. Cukup membebani APBN maupun APBD.
Karena itu, potensi kebakaran hutan dan lahan di wilayah Kalbar, yang rutin terjadi di setiap musim kemarau itu harus terus ditekan dan dikendalikan.
Jika persoalan kebakaran hutan dan lahan bisa dikendalikan, anggaran penanganan Karhutla yang super besar itu, paling tidak bisa digunakan untuk pembangunan yang lain.
“Kita (Pemprov Kalbar) akan berbuat semaksimal mungkin. Mudah-mudahan dengan segala cara, kebakaran hutan dan lahan ini bisa kita tangani,” tegasnya.
Norsan juga menyampaikan, baru-baru ini, empat belas kabupaten/kota se-Kalbar sudah menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) dengan Badan Informasi Geospasial.
MoU itu tujuannya utuk kerjasama pembuatan peta topografi wilayah. Dengan topografi itu, lahan-lahan gambut di setiap kabupaten/kota akan dipetakan secara rinci. Sehingga jika terjadi kebakaran, mudah ditangani.
SEPTEMBER PUNCAK KEKERINGAN
Sementara itu, dampak kekeringan mulai meluas. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menghimpun laporan bahwa sudah terdapat total 40.891 hektar sawah yang menderita gagal panen (puso).
Provinsi Jawa Barat mengalami dampak terparah dengan total lahan puso mencapai 19.145 hektar sementara Jawa Timur menyusul dengan 9.063 hektar kemudian Jawa Tengah dengan 7.494 hektar.
7 Provinsi di Pulau Jawa, Bali dan Kepulauan Nusa Tenggara mengalami hari tanpa hujan (HTH) rata-rata diatas 60 hari bahkan diatas 100 hari untuk kawasan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Hingga kini, operasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) untuk menciptakan hujan buatan belum terlaksana. Plh. Kapusdatin dan Humas BNPB Agus Wibowo mengungkapkan “Sebenarnya peralatan sudah siap semua, hanya masih menunggu pesawat dari TNI saja,” katanya kemarin (30/8).
Agus tidak menjelaskan apa alasan pihak TNI yang masih belum menyetujui penggunaan pesawat untuk sarana menyemai awan tersebut. Saat ini opsi yang terus dijalankan oleh pemerintah adalah menyalurkan tanki tanki air ke daerah-daerah yang kekeringan. Berdasarkan data, sudah sekitar 15 ribu tanki dengan total 78 juta liter sudah didistribusikan.
Agus mengatakan, Pemerintah Daerah dan BPBD setempat yang berwenang menyalurkan tangki. “Sejauh ini belum ada yang meminta bantuan pada pemerintah pusat,” katanya.
Data menunjukkan dari 7 Provinsi yang terdampak kekeringan, meliputi 101 Kabupaten/Kota, 781 Kecamatan serta 2.731 desa.
Agus menambahkan, puncak kemaraun akan datang pada bulan September 2019. Berdasarkan prediksi dari BMKG, periode akhir Agustus sampai Spetember curah hujan terpantau rendah.
Kondisi ini kata Agus, juga meningkatkan potensi Karhutla. Karena sejauh ini, hujan adalah faktor paling membantu dalam proses pemadaman. Dari pengalaman tahun tahun sebelumnya, pada saat curah hujan turun, hotspot selalu naik. “Tiga hari saja tidak hujan itu hotspot sudah dimana mana,” jelasnya.
Laporan: Abdul Halikurrahman, Jawa Pos/JPG
Editor: Mohamad iQbaL