Malang benar Ariansyah. Bocah 8 tahun yang beratnya cuma 9 Kg itu tak berdaya di gendongan ibunya. Sesekali dia menjerit, selebihnya terkulai meneteskan air mata di pelukan ibunya.
Andi Ridwansyah, Sungai Kakap
eQuator.co.id – Tak ada masalah di awal kelahirannya. Bulan-bulan pertama bocah itu tumbuh normal dan tak ada gejala sakit yang mencurigakan pada si bocah Ari. Hanya saja, beberapa bulan pascalahir, Ari terserang demam dengan panas tinggi.
“Jadi awalnya dia kenak step, dua kali,” ungkap Rahayu, 26, ibu kandung Ari, kepada wartawan, Minggu (25/8) pagi.
Setelah mengalami step alias kejang-kejang akibat panas tinggi itulah kemudian pertumbuhan Ari berubah drastis. Orangtuanya, pasangan suami istri Julianto, 30, dan Rahayu, melahirkan Ari pada 28 Maret 2011 dengan berat 2 kg lebih.
Warga Dusun Merpati, RT 04, RW 07, Desa Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya, itu sudah berupaya mengobati penyakit anaknya semata wayang. Yang kurus kering, hanya bersandar telepe-lepe di pangkuan sang Ibu.
Kurus bak tulang berbalut kulit, tubuh Ari pun kaku. Sehari-harinya tak ada aktivitas yang bisa dilakukan. Tak mampu duduk tegak apalagi berdiri sebagaimana anak-anak seusianya. Ia pun tak bisa berbicara.
Diperkirakan akibat panas tinggi berbuntut kejang-kejang, terjadi gangguan suplai nutrisi ke otak. Sehingga, terjadi gangguan pada tumbuh kembang anak, gangguan perilaku dan sebagainya.
Namanya seorang ibu, dengan kesabaran super tinggi, Rahayu terus merawat buah hatinya itu. Ari tak lepas dari gendongannya. Meski ia hanya bisa mengelus tubuh Ari, saat anaknya itu menjerit menangis.
Kata Rahayu, step atau kejang-kejang pertama Ari usia tiga bulan. Disusul dengan step kedua pada usia delapan bulan yang membuat tumbuh kembang ari berubah.
Rahayu dan suami tak tinggal diam. Berupaya mengobati anaknya dengan pengobatan tradisional.
“Kite lakukan pengobatan tradisional. Kemane-mane dah. Tak ade perubahan,” akunya.
Tak pernah berhasil berobat alternatif itu, Rahayu dan suami akhirnya memutuskan membawa Ari ke Puskesmas untuk mendapatkan perawatan medis. Namun Puskesmas saat itu mengatakan bahwa Ari ada masalah di saraf.
“Dia bilang tu hanya sarafnya jak. Itu enam tahun lalu saat dia berusia dua tahun,” ungkapnya.
Lantaran tak punya uang membiayai obat anaknya karena suami hanya bekerja serabutan, akhirnya Rahayu dan suami pasrah dengan keadaan itu. Dan tidak pernah lagi membawa sang anak ke rumah sakit.
“Sebenarnye kite pengen bawak die berobat ke dokter kemana. Tapi kan perlu duet yang banyak. Sedangkan kita pun susah duet,” tuturnya sedih.
Selama ini, kata dia, bantuan pemerintah tak pernah singgah pada keluarganya. “Selama ini tak pernah dapat bantuan apapun. RT nya di sini matanya tertutup dan hal dia jak nampak e,” keluhnya.
Pihak Puskesmas pun tidak pernah berkunjung ke rumahnya melihat perkembangan sang anak. “Tak ada. Tak pernah. Cuman waktu itu ada, waktu kami masih ngontrak, bidan dari Kabupaten ramai, difotonya apa, tapi tadak gak ada apa-apa,” tambahnya.
Padahal, kata Rahayu, kondisi ekonomi keluarganya begitu pelik. Dia tidak hanya dihadapkan dengan masalah kesehatan Ari. Juga masalah rumah kecilnya yang makin hari kian parah.
Rumah kecil berlantaikan papan dan beratap daun itu pun tampak sudah rusak. “Rumah ini kalau hujan basah semue. Atapnya rusak semua dah. Jadi kalau hujan dipindahkanlah si Ari ke tempat lain. Tempat tidur pun biasa basah,” terangnya.
Rahayu berharap agar pemerintah terkait dapat meringankan beban yang menimpanya. “Khususnya untuk pengobatan anak sayalah. Entah dirawat ke rumah sakit. Atau apa lah,” pungkasnya.
Laporan: Andi Ridwansyah
Editor: Mohamad iQbaL