Berawal dari keprihatinannya yang tinggi soal angka kematian bayi prematur, sejak 2016 Sudarsono mengabdi sebagai relawan peminjaman inkubator secara gratis. Dia rela mengantarkan alat mahal itu sampai ke pelosok desa demi keselamatan sang jabang bayi.
ERRICA VANNIE ARSHITA
eQuator.co.id – Sudarsono masih tidak bisa melupakan momentum saat dirinya mengantarkan inkubator gratisnya ke Dusun Mangunrejo, RT 09, RW 04, Desa Sidomulyo, Jabung, Kabupaten Malang. Butuh waktu dua jam perjalanan menuju dusun tersebut. Lokasinya benar-benar di pelosok desa. Jalannya juga belum semua beraspal. Tapi, dia bersama istrinya, Yulian Wiji Utami, dengan sukarela mengantarkan inkubator gratis kepada Fredeka Widyasmara.
Fredeka sedang membutuhkan inkubator itu karena bayi kembarnya lahir prematur di usia kehamilan enam bulan. Bayinya lahir dengan bobot hanya 1,2 kg dan 1,4 kg. Bayi Fredeka yang lahir di RST Soepraoen Malang itu sempat ngamar selama sepuluh hari. Namun akhirnya, Bargis, suami Fredeka, membawa pulang kedua bayinya dengan inkubator sewaan dari salah seorang bidan.
”Kami meminjam hanya sebulan saja,” ujar ibu yang melahirkan pada 23 Juli 2019 itu.
Ibu berusia dua puluh tahun tersebut mengaku, berat badan kedua buah hatinya sempat naik 1 ons tapi turun lagi. Setelah masa sewa inkubator habis, Fredeka iseng mengecek media sosial. Untuk biaya sewa di rumah sakit, biasanya per hari bisa sampai Rp 1 juta. Saat itu dia membaca postingan terkait peminjaman inkubator gratis. Di postingan itu ada nama Yulian. Fredeka pun berkomunikasi untuk meminjam inkubator tersebut.
”Saya tak sengaja membaca postingan tersebut. Alhamdulillah, peminjamannya gratis,” ungkap dia.
Sudarsono dan istrinya Yulian menjadi relawan atas pilihan dari Yayasan Bayi Prematur Indonesia (Yabapi). Hati Sudarsono tergerak menjadi relawan karena dia merasa prihatin banyak bayi prematur yang meninggal dunia. Pada 2014 saja, di Kota Malang ada 400 bayi prematur tidak selamat. Maka, ketika ada rekrutmen relawan inkubator gratis dari Yabapi, dia mendaftar.
Proses seleksinya cukup panjang. Ada beberapa tahapan dan seleksi yang harus dilewati oleh Nano–sapaan Sudarsono. Satu di antaranya adalah beberapa kelengkapan berkas dan wawancara. Syarat lain harus memiliki kendaraan roda empat. Karena harus mengangkut inkubator-inkubator sampai ke rumah peminjam. Apalagi Nano dapat tugas wilayah Malang Raya dan Pasuruan.
”Asal mau meminjamkan inkubator dan mengantarkan secara gratis, bisa lolos. Tidak ada kewajiban background relawan harus dari orang kesehatan,” terang pria asal Cilacap tersebut.
Setelah lolos administrasi, dia mendapat kiriman paketan inkubator dari Yabapi Jakarta. Bentuknya masih protolan. Belum rakitan. Maka tugas Nano merakit alat seharga jutaan rupiah itu. Setelah dirakit, alat itu masih diuji dulu oleh tim Yabapi. Alat harus dinyalakan selama tiga hari berturut-turut dengan jangkauan suhu tertentu.
”Untung saya kerja sama dengan istri yang punya background kesehatan (dosen Fakultas Kedokteran UB), jadi saya lebih tahu,” ujar wiraswasta tersebut.
Pria yang tinggal di Perumahan Tidar ini menambahkan, untuk perawatan alat tidak sulit. Cukup mengganti lampu dan rajin membersihkan alat dengan alkohol agar tetap steril. Sebenarnya biaya untuk mengganti lampu tidak mahal. Hanya, lampu tersebut Watt dan panasnya harus sesuai. Nano menceritakan bahwa dulu pernah ada peminjam yang mencoba mengganti lampunya sendiri.
”Ya, akibatnya ada beberapa bagian yang leleh karena Watt-nya terlalu besar, makanya sekarang dilakukan sistem lapor tiap seminggu sekali,” terang Nano.
Proses peminjamannya pun mudah. Peminjam hanya mengisi form dan wajib melaporkan perkembangan bayi dan keadaan alatnya. Setelah itu peminjam hanya tinggal duduk manis menunggu alatnya diantarkan di rumah. Apabila ada kerusakan, peminjam tidak dikenakan biaya pengganti.
”Untuk pengembalian nanti saya sendiri yang akan mengambil,” terang Nano.
Yulian menyatakan bahwa peminjam paling lama adalah selama dua bulan lebih. Sejak 2016 lalu, sudah ada 50 bayi yang memakai inkubatornya. Dan semua bayi itu selamat. Bahkan, saat meminjami alat itu di Pasuruan, ada kasus bayi terkecil yang pernah ditangani.
”Bayi itu hanya berbobot 1,1 kilogram,” ujar dosen Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Brawijaya tersebut.
Yulian menyatakan, dia tidak sekadar meminjamkan alat tersebut, tapi juga memberi edukasi pada ibu si bayi. Terutama terkait tata cara perawatan bayi dan makanan pengganti air susu ibu (ASI). Edukasi juga diberikan soal kondisi ibu pasca melahirkan. Karena apabila si ibu dalam kondisi stres, maka ASI yang keluar tidak banyak.
Untuk diketahui, Yabapi ini digagas Prof Dr Ir Raldi Artono Koestoer, guru besar di Fakultas Teknik Universitas Indonesia (UI). Semua berawal dari Raldi yang membenarkan jika inkubator bayi milik kakaknya yang dokter anak. Dari sanalah dia mulai mempelajari bagaimana cara kerja inkubator dan mulai mengembangkan inkubator bongkar pasang yang dimiliki oleh Yabapi. Saat ini inkubator tersebut dia kembangkan untuk bayi prematur dari keluarga kurang mampu. Bersama timnya di Yabapi, Raldi mengembangkan inkubator yang bisa digunakan banyak orang. (Radar Malang/JPG)