Ibu kota harus pindah.
Hanya alasannya jangan dicari-cari. Apalagi kalau alasannya mistis. Atau karena sudah terlanjur pernah disebut.
Kalau saya jelas. Harus pindah. Alasannya hanya satu: Jakarta sudah tidak kuat menanggung beban dirinya sendiri.
Ibarat tubuh manusia sudah terlalu gemuk.
Kalau tidak ada pemikiran yang radikal Jakarta akan tenggelam –dalam arti kiasan, pun arti sebenarnya.
Pindah ke mana?
Ke mana pun.
Ke Kalimantan?
Silakan. Asal alasannya jangan ini: karena letaknya di tengah. Begitu ngototnya sampai ada yang minta alat pengukur. Untuk memperlihatkan: tengah-tengahnya persis adalah Palangkaraya.
Kalau secara ilmiah harus Palangkaraya tetapkan saja. Tapi jangan karena letaknya di tengah itu.
Kenapa harus di tengah-tengah persis?
Siapa yang bisa menjelaskan secara ilmiah? Hanya klenik yang bisa menjelaskan.
Tengah-tengah Amerika Serikat adalah Kansas. Bukan Washington DC.
Apakah Amerika tidak maju? Tidak Makmur? Tidak sejahtera?
Brasil pernah pindah ibu kota ke tengah-tengah. Tapi problem kegemukan Kota San Paolo (kita mengenalnya sebagai Sao Paolo) tidak teratasi.
Tengah-tengahnya Tiongkok adalah Gansu. Pun ideal untuk ibu kota baru. Tanahnya kosong. Padang pasir. Tidak perlu ada pohon yang ditebang. Uang pun ada.
Sayangnya Tiongkok tidak punya ide pindah ibu kota. Sejak masih sangat miskin dulu. Sampai sekarang –pun setelah menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia.
Kalau saya hanya melihat yang satu ini: persoalan pokoknya adalah ‘Jakarta sudah tidak kuat menanggung berat badannya sendiri’.
Apakah keberadaan pemerintah pusat yang menyebabkan Jakarta kegemukan?
Sebetulnya masih perlu dicari penyebab pokoknya.
Setelah persoalan pokok ditemukan barulah dicari jalan keluarnya.
Ibarat orang yang sudah terlanjur kelebihan berat badan. Yang sudah terlalu bertimbun-timbun lemaknya.
Apakah jalan keluarnya?
Harus sedot lemak?
Kalau perlu.
Lemaknya harus dipindahkan.
Apakah pusat pemerintahan adalah lemak?
Mungkin iya.
Mungkin bukan.
Kenapa bukan lemak yang lain yang dibuang?
Itulah yang belum kita diskusikan.
Tapi kita semua memang tahu.
Pemerintah pusat adalah lemak. Itu akibat sistem pemerintahan kita di masa lalu – -yang sentralistik.
Yang ternyata tidak bisa benar-benar hilang sampai sekarang.
Meskipun sebenarnya penyebab lemak itu sudah dihilangkan. Di tahun 1999 lalu.
Sistemnya sudah coba kita perbaiki. Kita sudah ubah kebijakan politik yang penting: desentralisasi dan otonomi.
Tapi, ya itu tadi –masih begitu kuat aroma sentralistik itu. Sampai sekarang.
Apalagi di bidang politik. Sentralistiknya ampun-ampun. Bukan hanya sistemnya. Pun sampai ke kepemimpinannya.
Kepindahan ibu kota tanpa mengubah secara drastis sistem sentralistiknya? Akan terulanglah kasus kegemukan Jakarta. Di ibu kota baru itu nanti.
Pusat-pusat partai akan ikut pindah. Orang-orang daerah membangun perwakilan di ibu kota. Ngurus apa pun harus ke ibu kota.
Tapi ya sudahlah.
Tampaknya sudah diputuskan. Di tingkat pemerintahan. Sudah disampaikan oleh Bapak Presiden ke DPR.
Bahkan bacalah wawancara khusus Bapak Presiden dengan Kompas. Terbit Rabu kemarin. Sudah begitu pastinya.
Bapak Presiden menjawab tegas: pada 2023-2024 Istana dan 34 kementerian sudah selesai dibangun. Sudah bisa pindah. Untuk lembaga nonkementerian sudah bisa dimulai (membangunnya).
Yang melakukan wawancara pun bos Kompas sendiri: Budiman Tanurejo, wakil pemimpin umumnya.
Begitu cepatnya.
Padahal dalam RAPBN tahun depan belum ada mata anggarannya sedikitpun.
Mungkin ada cara lain yang super cepat.
Jadi tidak perlu lagi dicari penyebab mengapa Jakarta terlalu gendut. Dan apakah tidak ada jalan lain untuk mengatasi kegendutan itu.
Sudah begitu pastinya.
Tinggal bagaimana Jakarta lima tahun lagi. Jakarta akan ibarat badan yang tiba-tiba kehilangan lemak dalam jumlah besar.
Tanyalah orang yang sedot lemak: biasanya badan jadi lemas. Setidaknya untuk sementara.
Ada yang bahkan sampai tewas. Seperti teman akrab saya zaman dulu: Koh Aseng. Promotor tinju legendaris Surabaya.
Yang jelas nama DKI tidak bisa dipakai lagi – -kecuali kepanjangannya menjadi Dulu Kita Ibu kota.(Dahlan Iskan)