Kisah Kenaya, Bayi Orangutan yang Dirantai

Penyelamatan Satwa oleh BKSDA Kalbar dan IAR Indonesia

PENYELAMATAN. Tim medis sedang memeriksa Kenaya sesaat akan diselamatkan dna dibawa ke pusat rehabilitasi--Rudiansyah IAR Indonesia for RK

eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalbar Seksi Konservasi Wilayah (SKW) I Ketapang bekerja sama dengan International Animal Rescue (IAR) Indonesia kembali menyelamatkan orangutan peliharaan dari Dusun II Ampon, Desa Krio Hulu, Kecamatan Hulu Sungai, Kabupaten Ketapang, pada Rabu (24/7).

Orangutan berjenis kelamin betina ini dipelihara oleh seorang warga bernama Yance. Olehnya, bayi orangutan diberi nama Kenaya. Kenaya merupakan korban pemeliharaan ilegal satwa liar dilindungi. Diperkirakan usianya baru satu tahun.

Kepada petugas, Yance mengaku menemukan bayi orangutan ketika sedang menebang pohon di Bukit Kenaya. Sementara induknya ditemukan mati.

Karena kasihan, Yance kemudian membawa Kenaya ke rumahnya untuk dipelihara. Selama empat bulan dipelihara, Kenaya dalam kondisi leher dirantai di batang pohon. Tepat di belakang rumah. Dekat kandang babi. Apa yang dimakan keluarga Yance, itu pula yang diberi ke Kenaya.

Saat ini, Kenaya sedang menjalani masa rehabilitasi di Pusat Penyelamatan dan Konservasi Orangutan, Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI), IAR Indonesia di Jalan Ketapang-Tanjungpura, KM 1,3, Desa Sei Awan Kiri, Dusun Pematang Merbau, Desa Sungai Awan, Kecamatan Muara Pawan, Kabupaten Ketapang.

Karmele L. Sanchez, Direktur Program IAR Indonesia mengatakan, kegiatan penyelamatan ini bermula dari laporan warga yang menginformasikan ada penduduk Desa Krio Hulu yang memelihara orangutan.

“Menanggapi laporan ini, IAR Indonesia mengirimkan tim untuk melakukan verifikasi laporan,” ujar Karmele dalam keterangan resminya, Kamis (25/7).

Menindaklanjuti hal itu dan setelah melakukan verifikasi, tim gabungan Wildlife Rescue Unit Seksi Konservasi Wilayah I Ketapang BKSDA Kalbar dan IAR Indonesia segera menuju lokasi untuk mengevakuasi Kenaya.

Setibanya di lokasi yang ditempuh selama kurang lebih 10 jam lamanya, tim menemukan seorang warga yang memang memelihara orangutan secara ilegal di rumahnya.

Dari pemeriksaan singkat di lokasi oleh dokter hewan IAR Indonesia yang turut serta dalam penyelamatan ini, Kenaya didiagnosis menderita penyakit kulit dan diduga menderita penyakit pernapasan.

“Kenaya saat ini sudah dibawa ke IAR Indonesia di Desa Sungai Awan, Kabupaten Ketapang yang memiliki fasilitas pusat rehabilitasi satwa, untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut. Kenaya akan menjalani masa karantina selama 8 minggu,” tutur Karmele.

Selama masa ini, Kenaya akan menjalani pemeriksaan secara detail oleh tim medis IAR Indonesia. Pemeriksaan ini dilakukan untuk memastikan Kenaya tidak membawa penyakit berbahaya yang bisa menular ke orangutan lainnya di pusat rehabilitasi IAR Indonesia.

Karmele mengatakan, walaupun pemeliharaan orangutan merupakan pelanggaran hukum, kasus pemeliharaan orangutan masih dianggap hal yang biasa di Kabupaten Ketapang. Terutama di daerah-daerah yang jauh dari pusat kota.

Padahal, pada kasus pemeliharaan bayi orangutan, hampir dapat dipastikan bahwa induk orangutan dibunuh untuk mendapatkan anaknya. Karena normalnya, bayi orangutan akan tinggal bersama induknya sampai usia 6-8 tahun. Selama anaknya belum berusia cukup untuk hidup mandiri, induk orangutan akan selalu menjaga anaknya.

“Kita bisa melihat perubahan yang sangat positif di masyarakat Ketapang. Karena jumlah orangutan yang dipelihara semakin sedikit karena masyarakat di Ketapang semakin paham dan mengerti mengenai pentingnya perlindungan orangutan,” kata dia.

Makanya, dia sangat mengapresiasi peran dari masyarakat dalam melaporkan keberadaan orangutan yang menjadi satwa yang diperdagangkan dan dipelihara secara ilegal.

Sementara itu, Sadtata Noor Adirahmanta, Kepala Balai KSDA Kalbar menambahkan, masih seringnya dijumpai pemeliharaan orangutan oleh masyarakat dan gangguan terhadap habitatnya harus menjadi peringatan bagi para pejuang konservasi.

“Bahwa ternyata mindset masyarakat terhadap perlindungan tanaman dan satwa liar (TSL) dilindungi belum terbentuk secara memadai,” ujarnya.

Ia menyebutkan, kegiatan-kegiatan penyelamatan yang selama ini sudah dilakukan akan terus berulang dan berulang kembali. “Sudah saatnya kita juga harus lebih fokus pada pembentukan persepsi dan perilaku masyarakat yang benar terhadap konservasi TSL dilindungi,” katanya.

Untuk itu, kampanye dan pendidikan lingkungan mestinya dijalankan lebih masif lagi termasuk kepada generasi muda dan anak-anak sekolah. “Kedepannya diharapkan masyarakatlah yang akan menjadi pejuang-pejuang konservasi,” tutupnya. (oxa)