Polisi Hongkong menjadi garda depan penjaga keamanan selama aksi massa penolakan RUU ekstradisi berlangsung. Mereka yang dulu dilabeli sebagai polisi terbaik kini berubah beringas karena perintah atasan.
Siti Aisyah, Jawa Pos
eQuator.co.id – EDWARD sudah hampir 24 jam berjaga mengamankan gedung pusat pemerintahan, 12 Juni. Unitnya diperintahkan untuk mengamankan situasi. Saat itu massa turun ke jalan meminta agar RUU ekstradisi dihapuskan. Jam tugasnya hampir usai saat perintah membubarkan massa itu datang.
Polisi 29 tahun tersebut langsung bersiap. Dia mengenakan masker dan bersiap menembakkan gas air mata. Dalam hitungan detik, kepulan asap gas air mata memenuhi area demo. Peluru-peluru karet ditembakkan. Massa tercerai-berai. Beberapa polisi mengejar dan memukuli demonstran dengan tongkat mereka.
”Saya tidak berharap bakal berdiri berlawanan dengan aksi ini. Saya memahami para demonstran,” ujar Edward seperti dikutip Washington Post kemarin (23/7).
Hati Edward memang terbelah. Dia harus bekerja dan mengamankan situasi sesuai perintah atasan. Tapi, di lain pihak, dia ingin bersama dengan kerumunan massa.
Lima tahun lalu dia adalah salah satu demonstran yang ikut turun ke jalan menuntut agar pemilu di Hongkong tak dicampuri Tiongkok. Aksi yang berlangsung besar-besaran tersebut gagal mencapai tujuan.
Edward melamar jadi polisi karena gajinya yang besar. Dia tidak pernah menyangka bakal menghadapi orang-orang yang dulu seperjuangan dengannya. Terlebih, perintah yang diberikan atasannya kerap tak masuk akal.
Edward tak lagi menginginkan pekerjaannya. Pun demikian dengan beberapa polisi lainnya. Mereka tertekan karena dijadikan tameng manusia yang membatasi antara demonstran dan pejabat pemerintah.
Durasi tugas mereka juga menjadi tambah panjang. Yaitu, 24–36 jam ketika harus menjaga aksi massa. Mereka pun tak pernah dilatih sebelumnya untuk menghadapi lautan massa yang begitu besar.
Di lain pihak, Pemimpin Eksekutif Hongkong Carrie Lam Cheng Yuet-ngor sangat jarang tampil di publik sejak adanya aksi besar-besaran. Dia seakan menghilang ditelan bumi. Pun demikian dengan para petinggi pemerintahan. Polisi dipaksa menjadi wajah utama untuk mengamankan situasi dan menghadapi demonstran.
Derita para penegak hukum itu tidak hanya sampai di situ. Beberapa waktu lalu data sebagian polisi dan para petinggi pemerintahan Hongkong disebar. Mulai nomor telepon, alamat rumah, hingga media sosialnya. Imbasnya luar biasa. ”Mereka (polisi di garda depan, Red) komplain ke saya bahwa anak-anaknya diintimidasi dan dirundung di sekolah,” ujar anggota Dewan Eksekutif Hongkong Regina Ip.
Sejak reaksi berlebihan polisi pada demonstran terekam kamera dan muncul di berbagai media, image polisi di Hongkong memang berubah drastis. Dulu mereka dikenal sebagai polisi yang paling baik se-Asia. Kini tidak lagi. Polisi kerap jadi sasaran cacian dan makian. Padahal, mereka yang berhadapan langsung dengan para demonstran hanya menjalankan tugas dari atasan.
Sabtu (20/7) sekitar 100 ribu massa pro pemerintah ikut demo di Tamar Park. Mereka memberikan dukungan kepada polisi yang selama ini mengamankan situasi. Puluhan keluarga polisi juga menulis surat terbuka kepada Carrie Lam.
”Polisi harus mengikuti perintah tertentu dari atasannya yang tidak logis, tidak masuk akal dan menempatkan hidup mereka dalam bahaya,” bunyi penggalan surat tersebut. (*)