eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Perkembangan dan perubahan dunia jurnalistik dihadapkan dengan teknologi, menyebabkan semua orang mudah mewartakan tiap kejadian. Wartawan di era teknologi informasi pun kian mudah menulis berita. Sehingga, tidak gampang membedakan mana jurnalis yang benar-benar Kompeten atau sekadar copy paste.
Bahasan menarik itu menjadi diskusi menarik saat Safari Jurnalistik 2019, PWI Kalbar, Rabu kemarin. Safari Jurnalistik 2019 merupakan program tahunan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat. Tahun ini Kota Pontianak menjadi salah satu dari lima kota yang dikunjungi bersama Palembang, Semarang, Manado dan Cirebon.
Wakil Sekertaris Jenderal PWI Pusat, Suprapto, menjadi salah satu pemateri dalam kegiatan itu. Dalam pemaparannya, ia banyak memberikan pencerahan soal kasus-kasus pers yang terjadi di Indonesia hingga membuat pewarta dijerat hukum. Kasus tabloid Obor Rakyat yang membuat redaktur dan pimpinan redaksinya masuk prodeo jadi topik pembahasan bersama perwakilan media di Kalbar.
Dia menjelaskan salah satu yang menjerat Pemimpin Redaksi ke penjara karena medianya tak berbadan hukum, tidak adanya penanggung jawab dan alamat jelas baik redaksi maupun percetakan.
“Selain itu dari segi konten, isi tabloid juga menyudutkan,” ungkapnya.
Kasus-kasus pers yang terjadi ini, menjadi diskusi hangat di dalam ruang kampus Teknik, Universitas Panca Bhakti Pontianak, siang kemarin.
Badan hukum perusahaan media kata dia juga jadi dasar utama keamanan bagi para pewarta. Karena saat ini, begitu banyak media-media berdiri namun tidak memiliki badan hukum sah.
“Sehingga ketika terjadi kasus-kasus pers, pewarta yang bekerja di media tak berbadan hukum bisa terjerumus ke penjara,” tutur dia.
Kasus rekan-rekan jurnalis di Kayong Utara yang terjerat hukum karena memberitakan satu pemberitaan belum lama ini juga ditanyakan oleh Levi, dari Tempo biro Kalbar. Di pertanyaannya, ia ingin mencoba mencari pencerahan apa yang harus dilakukan ketika wartawan menghadapi kejadian seperti ini ketika bertugas di lapangan.
Gusti Yusri, Ketua PWI Kalbar menambahkan, di era mudahnya mendapatkan informasi, kini makin banyak para pewarta muncul. Bahkan sekarang makin sulit membedakan mana wartawan yang benar-benar bekerja di satu lembaga media yang tercatat di Dewan Pers.
Sebagai solusi memfilter wartawan tanpa media, pihaknya sejak beberapa tahun lalu terus melaksanakan uji kompetensi. Fokusnya para pewarta yang bekerja di perusahaan media dengan izin hukum jelas.
“Ini salah satu upaya organisasi pers, sebagai bentuk tanggung jawab terhadap masyarakat, di mana era reformasi wartawan makin tumbuh subur,” ungkapnya.
Tujuan dilakukannya kompetensi adalah untuk mengetahui mana yang kompeten dan tidak. Dan itu harus diakui oleh organisasi wartawan yang san dan diakui pemerintah, masyarakat, berbadan hokum, serta terdatar pada Dewan Pers.
Menurut Gusti Yusri, seharusnya narasumber mempertanakan dan bisa menolak wawancara wartawan, apabila mereka tak memiliki bukti bahwa medianya belum kompeten. Dalam upaya menekan beredarnya wartawan tanpa kompetensi dan dari media yang tak jelas, maka wartawan di bawah naungan PWI dibekalkan kompetensi wartawan.
“Ini sudah berjalan, dan ke depan uji kompetensi bakal dilakukan kembali,” tandasnya.
Laporan: Rizka Nanda
Editor: Mohamad iQbaL