Bank Infak

Oleh: Joko Intarto

eQuator.co.id – Ingin punya bisnis tapi kurang modal? Jangan patah arang. Ajak beberapa orang untuk patungan modal. Sampai cukup. Sehingga usaha yang Anda rencanakan bisa berjalan.

Patungan modal bukan konsep baru. Harian ‘’Republika’’ pun lahir dari model patungan modal itu. Lewat sebuah mekanisme khusus, masyarakat ramai-ramai menyetor dana. Ditukar dengan saham. Mertua saya ikut urunan untuk modal ‘’Republika’’. Beberapa puluh tahun lalu.

Bisnis dengan modal patungan tumbuh bak jamur di musim hujan setelah terjadinya krisis ekonomi menjelang jatuhnya Orde Baru. Pada akhir dekade 90-an lalu. Krismon itu membuat banyak perusahaan ambruk. Pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran tak terhindarkan lagi.

Korban PHK mencoba peruntungan baru: banting setir menjadi pengusaha. Dengan modal dari pesangon, muncullah banyak pengusaha mikro, kecil dan menengah sejak itu.

Yang ‘tidak berbakat’ menjadi pengusaha, banyak yang memilih mencari kerja. Apa saja. Tidak sedikit yang sampai mengadu nasib ke luar negeri.

Pesangonnya diinvestasikan ke bisnis-bisnis dengan modal patungan. Yang memang marak sejak krismon. Karena mau mencari modal dari utang bank jelas tidak mungkin. Bunga tabungan saja sudah di atas 50 persen. Bunga kredit pasti lebih tinggi.

Guyonannya saat itu: bunga rentenir saja kalah!

Sebagian kecil investor untung. Sebagian besar buntung. Bisnis yang didanai dengan modal patungan itu hancur sebelum bisa membagikan keuntungan kepada para pemodal.

Yang menyedihkan, sebagian bisnis baru itu ternyata didirikan untuk tujuan menipu. Hanya untuk menyedot uang masyarakat yang tengah galau. Bungkusnya bisnis. Mulai proyek ternak bebek hingga perkebunan kelengkeng. Faktanya adalah money game.

Pada masa itu semua bisnis dijalankan dengan platform konvensional. Sangat sulit bagi pemodal untuk mengakses informasi perusahaan yang dimodalinya. Apalagi memantau pergerakan modalnya. Pemodal baru tahu setelah masyarakat heboh. Sudah sangat terlambat.

Bisnis modal patungan kembali marak akhir-akhir ini. Hadir dengan nama baru: crowdfunding. Platformnya berbasis teknologi informasi. Ada yang konvensional. Ada yang syariah. Ada yang patungan saham atau equity crowdfunding. Ada yang patungan modal kerja. Ada juga yang project base crowdfunding.

Dalam patungan saham, penyetor dana menjadi pemegang saham. Sesuai proporsi dana yang ditempatkan. Pembagian hasil keutungannya setahun sekali. Melalui RUPS. Usaha yang akan didanai dipilih yang menguntungkan. Minimal sudah dua tahun mencetak laba.

Baru-baru ini adalah sebuah perusahaan yang menawarkan patungan saham kepada masyarakat. Prospektusnya: membangun cabang jaringan retailer modern Alfamart. Nilai patungannya tak sampai Rp 10 juta per orang.

Patungan modal kerja lain lagi. Penyetor dana tidak mendapat saham. Tapi mendapat bagi hasil atas keuntungan secara berkala. Biasanya setelah melewati masa tenggang enam hingga 12 bulan. Sesuai proposal yang diajukan. Bagi hasil dilakukan secara berkala. Setiap bulan. Selama bisnisnya masih berjalan.

Patungan modal kerja project base hampir sama. Bagi hasil keuntungan dilakukan setelah project selesai.

Kehadiran platform crowdfunding ini sebenarnya bisa menjadi inspirasi untuk mengembangkan platform bank infak. Saya pun menghubungi sebuah perusahaan IT developer di Semarang yang sedang mengembangkan platform crowdfunding syariah: bisnisbareng.id.

Prinsip kerja platform crowdfunding dengan bank infak itu sama. Satu-satunya yang berbeda adalah: investor butuh dananya kembali berikut keuntungannya. Sedangkan sohibul infaq tidak ada yang meminta dananya kembali.

Bayangkan bila platform bank infak itu bisa diimplementasikan. Berapa banyak masjid, organisasi keagamaan dan lembaga amil zakat yan bisa mengumpulkan infak untuk mengembangkan berbagai amal usaha bagi para mustahik. Masjid bisa memiliki jaringan toko Alfamart. Tetapi keuntungannya untuk menyekolahkan anak-anak yatim. Dan masih banyak lagi. Anda setuju? (jto)

 

*) Penulis adalah Direktur Program Lazismu PP Muhammadiyah, Jakarta.