eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Kenaikan harga rumah bersubsidi memberikan tantangan tersendiri bagi para pengembang perumahan murah. Di satu sisi, mereka menyambut baik kebijakan menaikkan harga rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah tersebut. Namun di sisi lain, mereka juga mengkhawatirkan kemampuan finansial calon debitur.
“Tentu adanya kenaikan untuk harga rumah bersubsidi menjadi tantangan kami dalam mencari pembeli,” ungkap Ketua Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Kalimantan Barat, Khairiana, kemarin.
Sebelumnya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) resmi mengeluarkan daftar harga terbaru untuk rumah bersubsidi di tahun 2019. Melalui Keputusan Menteri PUPR No 353/KPTS/M 2019 Tentang Batasan Harga Rumah Sejahtera Tapak yang Diperoleh Melalui Kredit/pembiayaan Rumah Bersubsidi, diketahui ada kenaikan harga bila dibandingkan dengan harga rumah bersubsidi di tahun lalu. Untuk di Kalimantan (kecuali Murung Raya dan Mahakam Ulu), kenaikannya sebesar Rp11 juta, sehingga harga rumah bersubsidi untuk tahun 2019 menjadi Rp153 juta, dari yang sebelumnya di tahun 2018 sebesar Rp142 juta.
Merespon hal ini, pengembang perumahan tidak terlalu keberatan dengan kenaikan harga rumah bersubsidi lantaran hal tersebut mutlak dilakukan. Mengingat harga tanah serta bahan bangunan juga turut mengalami hal yang sama, sehingga membuat pengembang harus mengeluarkan modal yang lebih besar.
Secara umum, kenaikan ini tidak terlalu memberikan keuntungan yang signifikan bagi para pengembang perumahan rumah bersubsidi.
“Hanya saja, kenaikan harga ini, secara otomatis membuat debitur harus merogoh kocek lebih dalam. Dan ini yang membuat khawatir (kenaikan harga), kami mungkin akan lebih rumit mencari calon pembeli,” sebutnya.
Menurut ketentuan yang diatur sebelumnya, untuk dapat mengajukan pembelian rumah bersubsidi, penghasilan debitur maksimal sebesar empat juta rupiah. Tentu saja, pihak bank memiliki pertimbangan lainnya saat akan menjadikan calon pembeli sebagai debitur rumah bersubsidi, seperti konsistensi penghasilan bulanan si debitur.
“Seandainya PNS atau karyawan yang gajinya tetap, barangkali akan lebih mudah disetujui oleh pihak bank, tapi berbeda kalau mereka yang hanya buka usaha kecil dan penghasilannya tidak tetap. Yang seperti ini biasanya agak sulit,” ucapnya
Jika dilihat dari tahun-tahun sebelumnya, lanjut Khairiana, beberapa debitur yang diajukan oleh pengembang untuk menjadi debitur rumah bersubsidi, oleh pihak bank justru ditolak, dengan berbagai alasan dan pertimbangan. Dengan harga rumah yang saat itu lebih rendah dibandingkan dengan saat ini, kata dia, masih ada saja calon debitur yang ditolak.
“Tahun lalu yang harga rumahnya Rp142 juta saja banyak yang di-reject (oleh bank), apalagi jika naik,” tutur dia.
Karena itu, harapan dari para pengembang, lanjutnya agar ada perubahan persyaratan memiliki rumah bersubsidi. Salah satunya, yakni menyangkut batas maksimal penghasilan calon debitur, yang diharapakan bisa lebih diperbesar lagi.
“Dengan begitu, pangsa pasar rumah bersubsidi menjadi lebih besar. Kalau saat ini maksimal peghasilan yang diperbolehkan untuk memiliki rumah bersubsidi adalah sebesar empat juta rupiah, kami berharap aturan selanjutnya bisa naik lebih besar dari ini,” tandasnya.
Laporan : Nova Sari
Editor : Andriadi Perdana Putra