NUN Tinggi Dikalahkan Domisili

Puluhan Ortu Mengeluh ke DPRD Kalbar

KELUHAN Puluhan wali siswa mengeluhkan sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) ke Komisi V DPRD Kalbar, Rabu (26/6). Abdul Halikurrahman/Rakyat Kalbar.

eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Memiliki Nilai Ujian Nasional (NUN) tinggi bukan jaminan diterima di sekolah negeri. Domisili jadi penentu dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sistem zonasi. Carut-marut tersebut dikeluhkan puluhan wali calon siswa kepada Komisi V DPRD Provinsi Kalbar. Selasa (26/6) siang.

Pasalnya, anak-anak mereka tak mendapat kuota untuk mendaftar di SMA negeri yang akan dimasuki. Sementara, untuk mendaftar di sekolah lain sudah pasti tidak bisa. Karena sudah diluar zonasi.

Satu diantara wali calon siswa yang ikut menyampaikan keluhannya ke Komisi V DPRD Kalbar, yakni Gultom. Warga Kecamatan Pontianak Barat itu mengaku, cucunya sampai saat ini tidak mendapat SMA negeri sesuai zona.  “Cucu saya ini, tinggal di Jeruju di sekitar RSUD Kota Pontianak. Dia tamatan SMP Negeri 2,” ungkapnya.

Di Pontianak Barat, kini hanya ada satu SMA negeri. Yaitu, SMA Negeri 2 di Jalan Martadinata. Sementara, kata Gultom, jarak rumah orangtua cucunya itu ke SMA Negeri 2 berkisar 3 kilometer. Sangat jauh. Sehingga tidak masuk zona.

Di sisi lain, nilai Ujian Nasioal Berbasis Komputer (UNBK) yang diraih cucunya cukup baik. “Nilai rata-ratanya delapan,” ucapnya.

Karena kini sistem zona sudah berlaku, maka cucunya tidak diterima masuk ke SMA Negeri 2. Padahal, di Kecamatan Pontianak Barat tidak ada SMA negeri alternatif. Pria 59 tahun itu mengungkapkan, akibat sistem zona, cucunya kecewa. “Karena nilai bagus yang sudah diraih, tidak menjamin bisa masuk ke sekolah yang diinginkan, ucapnya.

Sengkarut PPDB yang terjadi saat ini, kata Gultom, membuktikan sistem zonasi belum bisa diterapkan ke semua wilayah. Termasuk di wilayah Kecamatan Pontianak Barat. “Sebab apa? Jumlah SMA negeri di Pontianak Barat hanya satu. Hanya SMA Negeri 2 di Jalan Martadinata,” katanya.

Sedangkan di Kecamatan Pontianak Barat, total SMP negeri ada empat. Jumlah tamatan SMP tersebut tidak cukup untuk ditampung semuanya di SMA Negeri 2.  “Sekarang kalau diberlakukan zonasi, berarti yang masuk itu hanya yang rumahnya di Jalan Martadinata dan Jalan Apel. Kalau begitu, siswa dari Perum II sampai Jeruju mau sekolah kemana,” tanyanya.

Karena itu, pria paruhbaya yang masih aktif sebagai guru itu berharap, wakil rakyat yang duduk di DPRD Provinsi Kalbar bisa membantu menyampaikan persolan kisruh PPDB sistem zonasi kepada Pemprov Kalbar, agar ada solusi jangka pendek.

Secara pribadi, ia menilai, sistem zonasi yang diterapkan oleh pemerintah saat ini tujuannya baik. Hanya saja, perlu kajian dengan mempertimbangkan kondisi wilayah. “Sebenarnya zonasi bagus. Cuma tidak bisa diterapkan ke semua wilayah,” sebutnya. “Jadi, kalau sistem zonasi itu diberlakukan di wilayah Pontianak Barat tidak cocok. Sebab, tidak ada SMA negeri alternatif disana,” pungkasnya.

Wali calon siswa lainnya, Diki Sugianto mengatakan, anaknya sampai kemarin belum mendapat sekolah negeri untuk melanjutkan pendidikannya.

Warga Sungai Raya Dalam tersebut menilai, jika pemerintah ngotot menerapkan sistem zonasi, seharusnya ukurannya bukan berdasarkan tempat tinggal. “Seharusnya kalau mau sistem zonasi, ambil dari sekolah asalnya. SMP-nya misalnya. SMA terdekat dari SMP-nya, baru boleh. Jangan dari rumah,” katanya.

Karena kata dia, kalau berdasarkan rumah atau berdasarkan alamat KTP-el,  sekarang di Kecamatan Pontianak Tenggara sampai hari ini, tidak ada satupun SMA negeri yang didirikan.

Akibat pemberlakuan zonasi, Diki mengatakan, anaknya sampai saat ini nyaris tak melanjutkan ke SMA negeri. Sebab, sudah tak ada kuota lagi.

Menurutnya, anaknya tersebut sudah mendaftar ke SMA Negeri 1 Pontianak. Namun, karena mengacu ke sistem zonasi sebagaimana aturan saat ini, maka dia mencabut berkas pendaftarannya.

Kemudian, mendaftar ke SMA Negeri 10 yang berada di Jalan Purnama Pontianak Selatan. Namun saat mendaftar, berkas anaknya ditolak. “Alasannya karena sudah terdaftar di SMA Negeri 1. Itu yang membuat saya bingung. Bagaimana sistemnya,” keluhnya. “Jadi, kalau tidak dapat

sekolah, apakah anak saya itu tidak sekolah selama setahun ini. Jadi, saya juga bingung harus kemana anak saya ini,” pungkasnya.

Menanggapi carut marut PPDB sistem Zonasi, Gubernur Kalbar, Sutarmidji lewat laman Facebook-nya menulis bahwa, kisruh PPDB memang terus menggema.

Menurutnya, sistem zonasi yang diterapkan pemerintah saat ini memiliki nilai positif dan negatif. Positifnya, karena anak di lingkungan sekolah bisa masuk dengan mudah.

Tetapi, bagi anak yang berprestasi yang ingin sekolah di sekolah yang dianggap mampu memberikan kecerdasan bagi anak, hanya diberikan kuota 15 persen. “Menyikapi hal ini, maka saya putuskan, sbb (sebagai berikut). 1 Menambah daya tampung dari 36 siswa per kelas menjadi 38 siswa per kelas. Penambahan untuk yang berpestasi,” kata Sutarmidji di halaman Facebook-nya.  “Membangun satu SMA di Jalan Karet untuk Kota Pontianak. SMK di Sanggau dan SMA di Landak. 3, mengusulkan agar tahun depan penerimaan kuota berprestasi menjadi 50 persen,” pungkasnya.

Sementara itu, Anggota DPRD Provinsi Kalbar Dapil Kota Pontianak, Mat Nawir mengatakan, sistem zonasi sebenarnya dari sisi tujuan dan semangatnya sangat baik. Pemikiran awal penerapan sistem zonasi, ialah bagaimana anak-anak yang tidak berprestasi dan tidak mampu, juga bisa masuk di sekolah negeri,” bebernya.

Namun sistem zonasi saat ini, kata dia, masih belum siap untuk diterapkan, karena pembangunan di Kalbar belum merata. “Setidaknya untuk saat ini dan dua tahun kedepan, sistem zonasi masih belum bisa diterapkan di Kalbar,  karena pemerataan pembangunan sekolah belum memadai,” terangnya. “Contoh, di Kecamatan Pontianak Utara hanya ada satu SMA, dengan jumlah penduduk terbesar kedua di Kota Pontianak, setelah Kecamatan Pontianak Barat. Logikanya disana harus ada empat SMA,  jika ingin diterapkan sistem zonasi, karena disana ada empat kelurahan,” lanjutnya.

Kalau sistem zonasi dipaksakan diterapkan, akibatnya anak di Kecamatan Pontianak Utara tidak akan bisa diterima di sekolah negeri. SMA negeri di Pontianak Utara mungkin hanya bisa menyerap siswa di daerah Batulayang dan Siantan Hilir. “Ini yang bisa diserap. Siantan Tengah dan Siantan Hulu itu sudah pasti gugur. Untuk masuk ke Pontianak Timur dan Pontianak Kota atau barat pasti sudah tidak bisa,” jelasnya.

Untuk itu, solusi jangka pendek yang harus dilakukan pemerintah, ialah setidaknya Pemerintah Provinsi Kalbar mengeluarkan kebijakan dengan  memberikan peluang lagi kepada siswa yang berprestasi, atau membuka ruang kelas baru untuk mengakomodir siswa yang tidak tertampung.

Selain itu, kata dia, solusi jangka pendek yang juga harus dilakukan pemerintah ialah mensubsidi sekolah swasta. Setidaknya untuk SPP siswa digratiskan, sama dengan sekolah negeri. “Kalau siswa swasta bisa gratis sama dengan negeri, saya rasa masyarakat yang tidak mampu juga tidak terlalu keberatan,” paparnya.

 

Yang menjadi salah satu permasalahan, kata dia, ketidak mampuan masyarakat untuk menyekolahkan anaknya  di sekolah swasta, karena biaya yang tinggi. “Kalau ada subsidi dari Pemerintah Provinsi Kalbar untuk sekolah swasta membebaskan SPP-nya, saya rasa itu juga membantu,” imbuhnya.

Selain itu, solusi jangka panjang yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah, menambah jumlah sekolah. “Sekarang  ini kita desak bagaimana pun mereka hanya mengaku menjalankan perintah dan  tugas itu saja. Yang bisa membuat kebijakan adalah gubernur, apakah berani gubernur membuat kebijakan, karena gubernur perwakilan pemerintah pusat di daerah,” ungkapnya.

Dia mengatakan, sistem prestasi juga dinilai tidak digunakan dengan baik. Sekolah hanya bertumpu pada sistem zonasi dengan mengesampingkan sistem prestasi. Bahkan, kejadian yang ditemuinya terjadi kesalahan sistem.

 

Laporan: Abdul Halikurrahman, Andi Ridwansyah

Editor: Yuni Kurniyanto