Melawan Kejahatan Hoax Lewat Edukasi

Oleh Agustinus, S.S.

Agustinus, S.S

Prof. Rhenald Kasali dalam salah acara di stasiun televisi mengungkapkan bahwa, dari awal dunia ini sudah diciptakan dengan sesuatu kebohongan. Dalam perspektifnya, bahwa hoax adalah strategi iblis dalam menipu dan merusak akal sehat manusia serta ingin memporak-porandakan dunia. Menurutnya, dalam KBBI memang arti hoax tersebut adalah berita bohong, tetapi jika ditelusuri dalam kamus science bahwa hoax adalah kebohongan yang dibuat dengan tujuan jahat.

Brexit, Trump dan Bolsonaro adalah tiga contoh nyata betapa masyarakat dunia telah memasuki era hoax (post-truth). Kebohongan yang dinarasikan berulang kali lewat propaganda, demagogi dan ujaran kebencian yang mengaduk-aduk emosi dan nalar sehat. Akhirnya, memenangkan konstestasi wacana sehingga seolah menjadi suatu kebenaran.

Guru Besar Media Digital dari Queensland University of Technology, Prof Jean Burgess pernah menggugat apakah media sosial masih berfungsi sosial? Media sosial yang awalnya hanya digunakan sebagai sarana komunikasi antar personal, belakangan memang kian banyak yang menggunakan sebagai medium untuk kepentingan lain, seperti usaha bahkan politik. Persoalan menjadi bertambah pelik dengan semakin banyak pula yang menggunakannya dan menebarkan konten negatif, baik berita palsu, rasialisme, kekerasan maupun terorisme. Karena itu, di banyak Negara maju tren media sosial mulai memudar.

Contoh kita di Indonesia yang baru saja menyelesaikan pemilu merasa lelah ketika setiap hari dibombardir hoaxs atau disinformasi (penyampaian fakta secara salah yang dilakukan secara sengaja, definisi UNESCO 2019). Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika, bahwa April 2019 ada 486 hoaks yang terindikasi; 209 diantaranya hoaks dari kategori politik.

Di sekolah penulis sendiri ketika berhadapan dengan materi yang berkaitan dengan analisis berita di media massa selalu saja ada siswa yang bertanya soal banyaknya berita hoax yang bersliweran di medsos, media dan juga lewat temannya. Materi ini selalu menarik perhatian bagi siswa jika dibahas dan dihubungkan dengan situasi Indonesia saat ini. Apalagi yang mengerikan bahwa siswa sendiri mengaku sering memproduksi hoak dan mengirimkan kepada teman-temannya. Walaupun siswa tersebut sudah tahu, bahwa berita yang dikirimnya hanya untuk iseng. Bagi penulis, ini justru berbahaya.

Penulis sendiri merasakan bahwa siswa-siswi sangat jarang mau membaca di perpustakaan. Kecuali diberikan tugas atau PR baru mereka sibuk mau membaca atau menganalisisnya. Memang pengaruh media sosial ini seolah-olah sudah menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja. Dari pengamatan penulis, rata-rata masyarakat kita yang menyebarkan informasi belum tentu membaca dengan baik atau teliti keseluruhan informasi. Mereka terprovokasi oleh judul-judul yang begitu heboh. Kalau provokasinya dalam hal positif justru bermanfaat, tetapi jika provokasinya mengandung SARA maka akan menjadi malapetaka.

Jika bicara tentang Hoax tentunya tidak bisa terlepas dari media sosial, termasuk subjek atau pengguna medsos (Netizen). Netizen merupakan subjek sekaligus objek dari sosial media. Oleh karenanya, netizen mempunyai pengaruh yang paling utama dalam arus informasi di dunia maya. Netizen di Indonesia pada tahun 2016, menurut APJII (Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia), berjumlah 132,7 juta jiwa atau 51,1 persen dari total penduduk Indonesia. Adapun tiga besar sosial media yang paling banyak digunakan netizen Indonesia adalah facebook dengan 71,6 juta pengguna (54 persen), disusul instagram dengan 19,9 juta pengguna (15 persen), dan youtube dengan 14,5 juta pengguna (11 persen).

Sementara menurut situs statista.com, lima besar sosial media yang paling banyak digunakan netizen Indonesia berturut-turut adalah Facebook, Instagram, Twitter, Path, dan Google+. Besarnya netizen yang menggunakan Facebook, menempatkan Indonesia pada peringkat keempat negara dengan pengguna Facebook terbanyak di dunia. Sementara, tiga besar negara pengguna facebook di dunia adalah India dengan 195,16 juta pengguna, Amerika Serikat dengan 191,3 juta pengguna, dan Brazil dengan 90,11 juta pengguna.

Nah, penjelasan saya di atas soal sosial media pastinya para siswa saya lebih paham dan mereka lebih cepat mengikuti perkembangan informasi lewat media. Jika ditanya soal aplikasi Facebook, Instagram, Twitter, Path, dan Google+ tentu hal ini tidak asing ditelinga mereka. Bahkan soal berita aktual pun mereka cepat tahu, yang menjadi pertanyaan besarnya apakah siswa-siswi tersebut sudah memverifikasi atau mengecek kebenaran beritanya.

Sejauh penulis renungkan, jika para siswa pemahamannya soal hoax hanya berita bohong, tetapi tidak sampai pada tataran kamus science bahwa hoax adalah kebohongan yang dibuat dengan tujuan jahat, ini yang harus menjadi tugas dan PR guru ketika mengajarnya di kelas. Bisa dibayangkan, jika ini terus berlanjut maka harus ada evaluasi dalam setiap pemberian materi.

Hoaks ini akan semakin massif diproduksi jika budaya literasi kita masih rendah. Motif lain yang penulis ketahui selain Mencari keuntungan adalah untuk menguasai gagasan. Seperti yang dinyatakan Karl Marx, bahwa mereka yang menguasai basis material akan menguasai gagasan dalam suatu zaman. Produsen hoax kemudian dapat mengarahkan pembicaraan pengguna sosial media kepada agenda-agenda tertentu, misalnya untuk mendelegitimasi pemerintahan atau menjatuhkan kredibilitas seorang tokoh dan organisasi masyarakat. Sayangnya, penyebar hoax tidak mempertimbangkan akibat dari aneka informasi yang disebarkan. Ancaman disintegrasi sosial sampai disintegrasi bangsa kini menjadi nyata gara-gara dominasi hoax dalam perbincangan netizen.

Untuk kondisi saat ini, tentunya akan sangat berbahaya jika virus hoaks ini tidak kita cegah sedini mungkin. Penulis yang notabenenya adalah guru tentu mulai mencegah hal ini dari sekolah, tentu objek utamanya adalah peserta didik. Ada tiga langkah preventif paling tidak yang harus disiapkan. Cara pertama adalah memverifikasi kebenaran suatu informasi yang diterima. Artinya apa, ketika siswa pertama kali menerima informasi lewat media sosial, apakah itu dari situs berita, postingan, atau lewat temannya, mereka harus mengecek dan memverifikasi sumber kebenaran beritanya. Ini sangat penting agar supaya siswanya memperkuat kemampuan literasinya.

Cara kedua memproduksi konten yang mengoreksi kabar hoax. Artinya, jika para siswa menerima informasi bahwa itu adalah hoax maka mereka perlu melakukan koreksi dan menyampaikan informasi yang benar.  Cara ketiga adalah meningkatkan minat dan budaya baca, baik kepada orang lain maupun kepada diri sendiri.

Bagi penulis, mengembangkan budaya membaca bagi siswa bisa menjadi solusi untuk meredam hoax. Siswa yang terbiasa diberi tugas membaca akan memiliki wawasan yang luas. Siswa akan memiliki daya kritis yang baik terhadap suatu berita. Budaya membaca ini perlu dibangun tidak hanya oleh masyarakat berpendidikan rendah tetapi juga tinggi. Tidak semua berita hoax ditulis dengan bahasa ecek-ecek, tetapi juga dengan bahasa yang tinggi seperti bahasa Ilmiah tinggi. Siswa juga harus memiliki pikiran kritis untuk menelaah informasi secara mandiri. Siswa yang kritis diharapkan mampu memberikan pencerahan atas tersebarnya informasi hoax, minimal dari anggota keluarga, masyarakat sekitar dan kelompok-kelompok medsosnya.

Akhir kata penulis, meredam penyebaran hoax bukanlah kepentingan kelompok tertentu atau kepentingan politik penguasa, tapi harus menjadi kepentingan kita semua. Mengingat mencerdaskan kehidupan bangsa adalah salah satu tujuan luhur bagi kita semua dalam berbangsa dan bernegara.

* Alumnus Universitas Sanata Dharma, Guru/Pendidik SMP & SMA Santo Fransiskus  Asisi Pontianak.