Melihat Perjalanan 90 Tahun Adiwarna, Tukang Gigi Tiga Generasi

PEMBERIAN SANTUNAN. Keluarga besar Adiwarna foto bersama saat perayaan ulang tahun ke-90 yang dirangkai dengan buka puasa bersama anak yatim di Hotel Golden Tulip, Sabtu (1/6) lalu--Ocsya Ade CP

eQuator.co.id – Pontianak-RK. Menjaga kepercayaan konsumen. Itulah kunci utama Adiwarna Pontianak terus berkembang. Bisnis pembuatan gigi palsu ini sudah menginjak usia 90 tahun. Melewati beragam zaman. Hingga kini tetap eksis di tangan generasi ketiganya.

“Ini lebih kepada trust. Jadi kita menjaga kepercayaan konsumen. Kami sangat detail terhadap kemauan konsumen. Kita buat paham dulu sebelum bikin decision (pembuatan gigi). Kalau ada kekurangan kita jelaskan diawal. Tidak asal-asal bikin,” ujar Wendy Cokro, owner Adiwarna saat perayaan ulang tahun ke-90 Adiwarna yang dirangkai dengan buka puasa bersama anak yatim di Hotel Golden Tulip, Sabtu (1/6) lalu.

Wendy mengatakan, warisan keluarganya ini juga beradaptasi sesuai perkembangan zaman. Langkah ini bakal terus dilakukan. Mengingat bisnis dental yang memang berhadapan dengan sejumlah keterbatasan dan aturan.

“Kita melihat perubahan sesuai kebutuhan. Misal konsumen membutuhkan yang ada valplast, lebih prefer yang ada plat, kita akan adakan. Tapi tentunya semua ada plus minus. Kelebihan dan kekurangannya seperti apa. Jadi sodorkan edukasinya. Kalau sudah jelas, silahkan memilih,” kata Wendy.

Adiwarna juga punya komitmen yang tinggi terhadap bidang usaha yang ditekuni. Ogah melanggar aturan. Tetap berada pada koridor sebagai pembuat gigi palsu. Tentu tidak mengambil jatah pekerjaan dokter gigi.

“Kita khusus buat gigi palsu. Tak mau keluar koridor. Karena banyak sekali tukang gigi ambil jatah dokter gigi. Bikin kawat gigi misalnya. Itu tidak boleh. (Mentaati aturan, red) ini yang bikin kita tetap pada trust-nya. Yang bukan ranahnya kita tak akan ambil,” paparnya.

Sementara itu terkait segmen pasar, Wendy optimis masih bisa berkembang. Meski diakui banyak tantangan yang mesti dihadapi. Pelayanan terhadap konsumen menjadi nomor satu seperti dengan memberikan garansi.

Sampai sejauh ini, setiap bulannya Adiwarna melayani setidaknya 30 konsumen baru. Bahkan diantaranya berasal dari luar negeri. Seperti Thailand dan Australia.

“Ketika angka itu turun, mungkin ada sesuatu. Biasanya kurang teredukasi. Pontianak ini luas sekali. Kalau saya dapat 10 persen saja pangsa pasar, itu sudah luar biasa. Kalau belum dapat, berarti belum teredukasi dengan baik. Tapi Pontianak masih besar pangsa pasar gigi palsu,” jelasnya.

Ke depan, bisnis yang dibangun oleh The Thjiau Kiong, kakeknya Wendy itu juga bakal merambah ke daerah-daerah lain di Kalimantan Barat. “Yang notabene di kota-kota kedua. Bukan seperti Jakarta. Tapi misal di Ketapang dan lainnya yang memang ada pangsa pasarnya,” jelasnya.

Dalam perayaan 90 tahun Adiwarna, juga dilakukan pemberian santunan terhadap anak yatim piatu. Sekaligus pengundian doorprize satu unit sepeda motor yang dipersembahkan kepada pelanggan setia Adiwarna.

Dalam kesempatan ini, Wendy juga menceritakan usaha legendaris ini bermula dari seorang bocah miskin bernama The Thjiau Kiong, di akhir abad 19. Masa pendudukan Belanda di Pontianak. Anak berusia 11 tahun itu sudah yatim piatu. Demi sesuap nasi dia berkelana mencari penghidupan. Dia menggelandang, melakukan apa saja demi mendapat upah. Bahkan, Akiong makan satu kali sehari.

Dia tinggal nomaden. Dimana ada emperan ruko terdekat, di situ dia tidur. Sampai dia mendapat pekerjaan tetap, menjadi wasit biliar di sebuah kedai. Namun dia tetap menggelandang dan makan satu kali sehari. Uang sisanya dia tabung. Untuk modal usaha, yang belum dia tahu apa itu.

Suatu hari yang mengubah kehidupannya dan anak cucunya kelak. Saat itu dia bangun kesiangan di pelataran sebuah klinik gigi milik seorang warga keturunan Jerman. Dia tertarik saat orang Jerman itu sedang memasang gigi palsu ke pasiennya. Sesuatu hal keren dan baru baginya. Lalu dia catat apa yang dilakukan dokter itu. Saking penasarannya, Akiong memutuskan untuk tidur lagi di emperan klinik tersebut keesokan harinya. Setiap hari, dari balik jendela, dia mengamati pekerjaan dokter tersebut.

Orang Jerman itu bukan tak tahu kelakuan Akiong. Dia juga mencermati tindak-tanduk si bocah. Suatu ketika, dia memanggil Akiong masuk. Singkat kata, dia mengajarinya membuat gigi palsu dan memasangkannya ke pasien. Akiong pun menjadi asisten si dokter. Akiong benar-benar ahli. Sampai si dokter kembali ke negerinya, Akiong memutuskan untuk membuka usaha sendiri.

Akiong menjadi tukang gigi keliling. Bermodalkan kotak peralatan yang diambin, dia keluar masuk perkampungan di Pontianak. Tabungannya belum cukup untuk membuka toko sendiri. Keahlian dentalnya yang berkualitas dan murah cepat tersebar. Pada masa  ini pula dia menemukan tambatan hatinya. Sang istri sekaligus menjadi asistennya.

Mereka berdua terus berkeliling. Saat tabungan sudah cukup, pada bulan Juni 1929, mereka mendirikan tempat tetap di pusat kota. Yang kini lokasinya di Jalan Diponegoro No 231. Tokonya memakai namanya sendiri Ahli Gigi, The Thjiau Kiong, yang papan namanya menggunakan aksara kanji. Orang-orang berdatangan ke sana.

Sampai tentara Jepang menyerang dan menduduki Kalbar. Jepang terkenal kejam dan penuh curiga pada kaum intelektual dan pekerja profesional. Ini adalah titik terendah dalam karirnya. Usahanya surut. Sadar namanya masuk dalam daftar orang-orang yang diincar, Akiong menggunakan nama samaran, The Hok Djin. Kelak nama ini menjadi nama tetap tokonya. Benar saja, ribuan orang lintas suku; dari sultan, bangsawan, pengusaha hingga cerdik pandai dibantai dalam peristiwa Mandor tahun 1944. Akiong sendiri selamat.

Setelah Jepang kalah perang, usahanya bangkit lagi. Dia menjadi ahli gigi paling termahsyur pada zaman itu. Dia sendiri menjadikan nama samarannya The Hok Djin sebagai nama baru untuk toko ini, untuk mengenang masa kelam itu.

Namun pada masa awal pemerintahan Orde Baru, ada kebijakan agar seluruh nama orang dan nama usaha yang berbau Tionghoa diganti ke Bahasa Indonesia. Nama Akiong berubah menjadi Tjokro. Sementara nama tokonya menjadi Adiwarna. Yang artinya sangat elok. Nama ini pemberian sahabat Akiong, seorang bupati dari Pulau Jawa.

Lalu, ada mitos menyebutkan bahwa bisnis keluarga akan bubar pada generasi ketiga. Namun Adiwarna, mematahkan anggapan itu. Sebelum dipegang Wendy, Adiwarna terlebih dahulu berada di tangan The Tai Khue, ayahnya. Tak lain adalah anak The Thjiau Kiong. (oxa)