Budaya K3 Pekerja Rendah

ilustrasi : internet

eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Kesadaran para pekerja terhadap kesehatan dan keselamatan kerja (K3) masih rendah. Bahkan, belum menyentuh para pekerja. Buktinya, perilaku pekerja di lapangan yang abai memakai alat pelindung keselamatan kerja.

“Alat pelindung diri itu bahkan dianggap ribet dan sebagainya,” kata Kepala Bidang Pengawas Tenaga Kerja, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kalimantan Barat, Isa Hadad, belum lama ini.

Ia mengungkapkan, beberapa waktu lalu, pihaknya pernah melakukan dialog dengan sebuah lembaga advokasi buruh. Dialog itu mengungkapkan fakta bahwa, pihak perusahaan juga dinilai kurang memperhatikan tentang K3 bagi para pekerjanya. Padahal, K3 bagi pekerja itu sangat penting. Sudah diatur dalam Permenaker Nomor 33 Tahun 2016. Karena itu, harusnya hal tersebut tak boleh diabaikan.

Perusahaan harusnya dapat menjamin dan memberikan kesadaran kepada para pekerjanya, agar tidak menyepelekan soal K3 itu. Dia menegaskan, pengawas bisa menindak perusahaan yang abai terhadap kesehatan dan keselamatan para pekerja, jika ditemukan di lapangan. “Hal-hal yang melanggar aturan norma K3 bisa ditindak,” tegasnya.

Nota pemeriksaan kepada perusahaan yang melanggar norma K3, dilakukan selama 14 hari. Dan, paling lambat 30 hari. Jika tidak koperatif, maka bisa dilakukan upaya pemanggilan. “Jika selama tiga kali pemanggilan juga tidak hadir, maka akan kita tugaskan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) melakukan penyidikan,” katanya.

Isa mengatakan, secara umum langkah hukum normatif seperti itulah yang akan dilakukan oleh pemerintah, jika mendapati perusahaan sebagai pemberi kerja yang abai terhadap budaya K3 dalam beraktivitas. “itu merupakan upaya yang kita lakukan selain melakukan pembinaan terhadap para perusahaan,” ucapnya.

Ia menambahkan, sejauh ini, sudah ada beberapa perusahaan yang diproses karena lalai dengan tanggungjawabnya. Sebagian besar perkara ketenagakerjaan yang diproses ke meja hijau, yaitu soal upah yang tak layak, dan pemutusan hubungan kerja (PHK). “Tahun lalu ada beberapa kasus soal tenaga kerja yang sampai ke ranah pengadilan. Tahun ini, juga ada beberapa kasus yang berkaitan dengan tenaga kerja masih diselesaikan di hubungan industrial,” katanya.

Menurutnya, upaya hukum penyelesaian perkara ketenagakerjaan merupakan langkah terakhir, dalam menyelesaikan sengketa. “Mediasi tetap diutamakan. Supaya ditemukan jalan keselamatan antara pekerja dan pihak perusahaan. Jika mediasi gagal, barulah dilakukan upaya hukum,” pungkasnya.

 

Laporan: Abdul Halikurrahman

Editor: Yuni Kurniyanto