Partai Agamis Masih Stagnan

Saiful Mujani

eQuator.co.id – JAKARTA-RK.  Polarisasi bernuansa agama yang terjadi dalam pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 dinilai tidak berdampak signifikan terhadap peta kekuatan politik nasional. Dominasi partai berbasis nasionalis masih lebih tinggi daripada partai berbasis agama.

 

’’Partai-partai nasionalis masih dominan dan berada di posisi atas. Seperti PDIP, Gerindra, Golkar, Nasdem, dan Demokrat,’’ ucap Saiful Mujani kepada wartawan Kamis (30/5).

 

Dominasi itu terpotret di tiga besar hasil pemilihan legislatif yang seluruhnya diisi partai nasional. Berdasar penetapan KPU, PDI Perjuangan meraih suara tertinggi dengan 19,33 persen; Gerindra dengan 12,57 persen di posisi kedua; dan Golkar dengan 12,31 persen di posisi ketiga.

 

Saiful menjelaskan, meski Gerindra dekat dengan kelompok Islam, semangatnya masih nasionalis. Secara formal, partai pimpinan Prabowo Subianto itu tak beda dengan partai-partai nasionalis lainnya sehingga tidak termasuk partai berbasis agama.

 

Kalaupun ada kenaikan suara pada partai agamis, itu hanya terjadi pada PKS. Itu pun, kata dia, sebagian terjadi karena penurunan dukungan kepada PPP yang notabene partai Islam. Bahkan, PPP sempat terancam longsor dari Senayan. ’’Jeruk makan jeruk,’’ imbuhnya.

 

Di sisi lain, polarisasi agama juga tidak benar-benar menguntungkan PKS. Sebab, dengan kondisi saat ini, PKS tak mampu menurunkan kekuatan suara di kubu nasionalis. Sementara itu, PKB yang berbasis Islam NU dalam polarisasi itu kental dan sejalan dengan partai-partai nasionalis.

 

Kemudian, lanjut Saiful, PAN pada dasarnya sama dengan partai nasionalis, meski banyak elitenya yang beretorika eksklusif. Terutama dalam kontestasi pilpres. Secara elektoral, PAN juga tidak mengalami kemajuan. ’’Jadi, peta politik nasional kita pada dasarnya stabil. Kekuatan nasionalis atau pluralis masih dominan,” terangnya.

 

Karena itu, upaya memolarisasi masyarakat dengan isu agama dinilai sebagai hal yang sia-sia. Bahkan, dalam pemilihan presiden, Jokowi tetap unggul meski sering diserang dengan sentimen anti-Islam. Menurut dia, polarisasi hanya makan korban nyawa dan kerusakan harta benda. ’’Bikin investor takut. Bikin ekonomi grogi. Politiknya sendiri masih ajek. Setidaknya secara formal,’’ tuturnya. (Jawapos/JPG)