Tipikal Copy Paste Sosial di Masyarakat

Merajut Persatuan Pasca Pemilu 2019

MERAJUT PERSATUAN Menghadirkan sejumlah narasumber, Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik (Himapol) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Tanjungpura (Untan) menggelar Seminar Kebangsaan mengusung tema "Merajut Persatuan Pasca Pemilu 2019" di Gedung Konferensi Ruang Theater 1 Untan, Kamis (23/5). Rizka Nanda/Rakyat Kalbar

eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Fenomena politik pasca pemilu 2019 tidak lepas dari tipikal copy paste sosial di masyarakat yang sangat kuat. Jika elite diatas sudah menunjukkan sikap, maka dibawah mengikuti. Makanya, keteladanan elite sangat diperlukan.

Pendapat itu dilontarkan pengamat politik Kalbar, Jumadi ketika menjadi pembicara Seminar Kebangsaan yang digelar Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik (Himapol) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Tanjungpura (Untan), Kamis (23/5). Seminar di Gedung Konferensi Ruang Theater 1 Untan itu mengusung tema “Merajut Persatuan Pasca Pemilu 2019.”

Jumadi menilai fenomena politik saat ini adalah hal yang sah-sah saja. Seperti pada situasi politik yang sedang terjadi di Kalimantan Barat saat ini. Ia meminta dalam konteks merajut kebersamaan, polarisasi pasca pemilu harus diredam. “Mari kita hargai hasil proses pemilu. BPN sudah menggugat melalui MK, itu sudah sikap yang baik,” ungkap Jumadi. “Ini risiko demokrasi. Tapi kaderisasi ekspresi itu harus dikawal dengan baik,” lanjutnya.

Menurutnya, situasi terkini sudah cukup kondusif. Hal itupun adalah riak-riak demokrasi yang mesti dikelola. Prinsip demokrasi adalah kompetisi kebebasan dan partisipasi yang positif. Ia pun meminta masyarakat mesti memiliki kesadaran yang tinggi. “Tidak mesti anarkis. Ada Bawaslu dan KPU, saya pikir ada sekelompok yang tidak percaya dengan pihak penyelenggara. Proses itu memang tidak sempurna tapi ada proses hukumnya,” pintanya.

Selanjutnya, dia mengatakan, penanaman pendidikan politik dimulai dari institusi pendidikan. Karena dari institusi pendidikan bisa mengajarkan hidup dalam kebersamaan. Sehingga mahasiswa diharuskan mampu menangkal hal ini dengan penuh kesadaran. “Kita harus memberikan solusi.  Boleh melakukan demonstrasi selama dilakukan dengan benar dan sesuai aturan. Selama kita mampu mengamalkan moralitas politik yang benar. Ekspresi jika tidak terima dengan hasil dinamika politik itu tidak akan berujung anarkis,” terangnya.

Di temat yang sama, Prof Chairil Efdendy, tokoh masyarakat Kalbar menyatakan, 500 tahun SM, Socrates sudah mengingatkan bahwa masyarakat perlu mengatur nilai-nilai secara umum. Dan pada era milenial saat ini, memang merelatifkan apa saja. Sehingga ia menilai Indonesia saat ini sedang mengalami tsunami nilai moral. “Kesantunan sosial menjadi perhatian bersama,” ungkap Prof Chairil.

Kendati begitu ia menilai masih banyak sisi positif generasi muda yang juga menonjol. Karena jika dilihat dengan perspektif yang sekarang sisi positif generasi muda sangat luar biasa sekali. “Saya masih bersikap positif melihat generasi muda. Kita akan menjadi negara besar,” ucapnya.

Sementara itu, Presidium JaDI Kalbar Umi Rifdiyawati mengataka, aksi-aksi yang ada di kota provinsi dan negara ini adalah bentuk ekspresi dari warga Negara, dan tidak bisa untuk dihalangi atau dilarang. Tetapi harus tetap patuh dengan aturan yang ada. Karena ini adalah bentuk kebebasan berekspresi, tetapi tentu pihaknya tidak sepakat jika dilakukan dalam bentuk yang anarkis. “Tetapi terkait kesempatan untuk menyampaikan pendapat dan ekspresi tentu harus dihargai,” kata Umi.

Sementara itu, terkait dengan ketidakpercayaan terhadap penyelenggara pemilu, dikatakan dia  ada perang opini dari elite politik. Namun hingga saat ini, Umi tetap meyakini bahwa penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu tetap independen. Karena ini badan negara dan ada konstitusi dan harus dikawal.  “Tantangan menjadi penyelenggara pemilu adalah godaan,” tutur Umi.

Ia pun mengajak kepada seluruh masyarakat harus tetap yakin kepada pihak penyelenggara pemilu. Karena jika tidak yakin, maka dampak negatif mudah terjadi. Seperti ada rasa bahwa penyelenggara pemilu memihak pada satu pihak calon. Ini harus dibuktikan tidak tuduh menuduh. “Kuncinya pihak penyelenggara pemilu ini harus membangun rasa percaya peserta pemilu. Tapi kalau ada rasa tidak kepercayaan sudah berat. Tapi saya berkeyakinan penyelanggara pemilu mereka independen,” beber Umi.

Hanya saja ada sedikit problem dalam pengelolaan tahapan. Misalkan, soal Situng, meskipun bukan hasil resmi tetap memang mengelola hasil pemilu suara rakyat, tentu menjadi kewajiban KPU untuk menyajikan data yang valid. “Karena bagi peserta pemilu kalah satu suara saja kalah. Tentu menjadi problem kalau terjadi kekeliruan input,” tukas Umi.

Menanggapi hal ini, Komisioner KPU Kalbar, Mujiyo menegaskan, seluruh tahapan rekapitulasi suara di Kalnar sudah berjalan dengan lancar. Berkenaan dengan kejadian di akhir-akhir ini. Ia juga menegaskan, apapun yang terjadi KPU Kalbar akan terus berjalan pada proses, maupun aturan yang sudah ditetapkan. “Contohnya, OSO apapun hasilnya tidak akan menerima, sepanjang tidak memenuhi aturan. Itulah yang selalu kami jalankan,” ucap Mujiyo.

Begitu pula soal sikap profesionalitas. Ia menyatakan, bahwa memang proses tahapan pemilu serentak kali ini sungguh menguras tenaga. Ketika ada kesalahan bisa dilakukan mediasi. Dengan disaksikan oleh 38 orang yang memelototi proses rekapitulasi. “Kalau semuanya memiliki komitmen yang sama pada semua nilai dan suara, saya yakin integritas suara itu bisa dijaga,” pungkasnya.

Sementara itu, Ketua Himapol Indonesia, Febri Rahmat mengatakan, mahasiswa merupakan aktor intelektual bangsa. Harus mampu menyaring informasi apapun yang masuk mengenai dinamika pemilu tahun ini. “Saya yakin tidak diragukan lagi untuk menyaring informasi yang masuk darimana saja,” ujar Febri.

Febri menuturkan, kendati begitu masih banyak juga mahasiswa yang masih menerima mentah-mentah informasi yang masuk. Sehingga terjebak dalam narasi tersebut. “Maka janganlah kita menjadi konsumen hoax. Peran mahasiswa adalah peran intelektual,” ungkapnya.

Ia mengatakan, sebagai kaum intelektual yang memiliki Ilmu pengetahuan mahasiswa harus pandai mengolah isu. Kemudian dirumuskan bagaimana mahasiswa harus bersikap berbeda menunggangi isu itu. “Yang hari ini memiliki idealisme untuk bergerak, maka bergeraklah, karena kalau berhenti akan mati,” tegas Febri.

 

Laporan: Rizka Nanda

Editor: Yuni Kurniyanto