eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Agenda penandatangan kesepakatan diversi kasus penganiayaan yang dialami AU, dimana pelakunya tiga siswi SMA, Kamis (23/5) di Pengadilan Negeri (PN) Pontianak, berubah 360 derajat.
Secara mengejutkan, penandatangan diversi tersebut dibatalkan. Sehingga dipastikan diversi di tingkat pengadilan itu, sebagai upaya penyelesaian perkara anak di luar pengadilan, gagal total.
Padahal, proses diversi pada 14 Mei pekan lalu yang juga difasilitasi PN Pontianak, kedua belah pihak, korban maupun pelaku telah sepakat berdamai. Dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi tiga pelaku.
Namun, rupanya dalam waktu sepekan, kesepakatan itu berubah total. “Perkara ini, akan lanjut pada persidangan nanti,” kata Wakil Ketua PN Pontianak, Udjianti SH MH, yang memimpin proses diversi tersebut.
Penyebab gagalnya diversi, tidak dapat diungkap secara rinci oleh Udjianti. Dia beralasan, aturannya memang demikian. Berbeda jika kalau diversi berhasil. “Kalau berhasil boleh dibuka. Karena akan menjadi penetapan diversi. Tetapi, karena proses diversi ini gagal, maka kasus ini close dan tertutup. Tidak boleh disampaikan apa penyebab gagalnya,” katanya. “Yang jelas diversinya gagal. Itu saja yang bisa saya sampaikan,” timpalnya.
Dengan demikian, penyelesaian kasus yang sempat menjadi perhatian publik beberapa waktu lalu itu, akan berlanjut ke proses persidangan pidana anak. Yang bertindak sebagai ketua Majelis Hakim nanti akan dipimpin langsung oleh Udjianti SH MH. Agenda persidangan perdana, masih belum bisa dipastikan kapan akan digelar. “Nanti majelis hakim akan bermusyawah menetapkan tanggal sidangnya. Mekanisme persidangannya nanti tertutup untuk umum,” pungkasnya.
Terpisah, Pengacara AU, Daniel Edward Tangkau menegaskan, yang menolak kesepakatan diversi bukanlah dari pihaknya, sebagai korban. Tetapi, pihak dari tiga pelaku lah yang menolak kesepakatan diversi itu. “Ya sudah kalau begitu. Sidang-sidang saja lah. Mungkin Jauh lebih baik,” katanya.
Namun, Daniel mengingatkan, apapun keputusan hakim nanti, ke tiga anak berhadapan dengan hukum (ABH) itu, harus dapat menerima semua konsekuensinya.
Sebab, menurut dia, tidak menutup kemungkinan nanti, ketiga ABH tersebut, tidak hanya menerima sanksi sosial. Tetapi juga memungkinan bakal mendapat sanksi pidana umum. Semuanya tergantung dengan fakta-fakta persidangan. “Apapun keputusan sidang oleh hakim nanti, mereka harus terima. Karena pelaku yang berumur 18 tahun bisa ditahan. Tergantung fakta persidangan. Apa yang dilihat,” sebutnya.
Kembali ke penyebab gagalnya diversi tersebut, Daniel mengatakan, ketiga ABH itu keberatan untuk melaksanakan permintaan maafnya ke media massa sebanyak tiga kali berturut-turut. “Mereka tidak sanggup membiayai pernyataan maaf di media selama tiga kali berutut-turut itu,” ujarnya.
Kemudian, permintan korban agar para pelaku turut ‘memperhatikan’ biaya pengobatan korban selama dirawat di rumah sakit, juga tidak ada kebijaksanaan. “Selama ini AU dirawat di rumah sakit kan ada biaya yang dikeluarkan. Tapi pihak mereka juga menolak. Meraka hanya siap menjalankan sanksi sosial dari Bappas. Yang lain tidak siap,” imbuhnya.
Daniel menambahkan, mediator diversi sebenarnya masih memberi tenggat waktu sampai tanggal 14 bulan depan untuk dilakukan diversi terakhir. “Tetapi mereka juga menolak. Ya sudah, kalau begitu. Bukan pihak kami.yang menolak. Tetapi mereka. Karena itu, kami udah, tidak usah diversi-diversi lagi,” tuturnya.
Sebagai pengacara korban, Daniel menyatakan sangat siap menjalani proses sidang nanti. Ia pun akan menyerahkan sepenuhnya kepada jaksa untuk melakukan penuntutan. Sesuai mekanisme peradilan anak. “Ini kan sistemnya disebut pidana anak. Iya, kan. Beda dengan proses persidangan pidana biasa. Ini khusus. Jadi nanti, kalau sudah sidang, tinggal jaksa yang mengatur. Apapun keputusannya ya kita ikut lah,” pungkasnya.
Sementara tiga pengacara ABH tersebut enggan untuk diwawancarai. Begitu proses diversi yang turut dihadiri KPPAD Kalbar dan Kejaksaan Negeri Pontianak selesai, mereka pun bergegas keluar dari gedung PN Pontianak.
Laporan: Abdul Halikurrahman, Andi Ridwansyah
Editor: Yuni Kurniyanto