eQuator.co.id – Ini tentang dua karakter yang berbeda. Orang yang berbeda. Negara yang berbeda. Kesamaannya: sama-sama bela negara.
Trump itu petinju. Tapi bukan Mohamad Ali. Yang bisa menari-nari di atas ring. Yang bisa seperti kupu-kupu. Mungkin lebih seperti Mike Tyson: force! Sesekali gigit kuping.
Xi Jinping itu pemain poker. Sabar. Diam. Ekspresi wajahnya tenang. Gejolak pikirannya tidak terbaca di gerak tubuhnya. Gelora jiwanya tidak terlihat di wajahnya.
Petinju terbiasa ingin tahu hasilnya. Segera. Saat itu juga.
Pemain poker terbiasa terlihat kalah di prosesnya. Asal menang di akhirnya.
Itulah sebabnya Xi Jinping tetap kirim Liu He ke Washington. Di saat siapa pun pasti marah. Ketika tiba-tiba Presiden Donald Trump belok tidak di tikungan. Sambil menghunjamkan jab lewat Twitter. Ahad lalu. Di saat proses perundingan perang dagang sebenarnya tinggal sekali lagi. Sudah memasuki pertemuan terakhir. Yang ke 12. Yang jadwalnya dimulai Kamis lalu. Berakhir Jumat tadi malam. Waktu Amerika.
Trump tiba-tiba memutuskan tidak perlu lagi lanjutkan perundingan. Saat juru runding Tiongkok sudah berkemas akan meninggalkan Beijing. Trump langsung saja menaikkan tarif bea masuk barang Tiongkok. Senilai sekitar Rp 3.000 triliun. Dari 10 persen menjadi 25 persen. Seperti ancamannya dulu.
Dengan putusannya itu Amerika bisa mendapat tambahan pemasukan hampir Rp 1.000 triliun. Setiap tahun. Tentu belum dihitung kehilangannya: kalau Tiongkok ternyata membalas. Mengenakan tarif yang sama. Seperti dulu-dulu juga. Ditambah mengurangi impor barang dari Amerika. Apalagi kalau yang dikurangi itu impor jagung dan kedelai. Lebih lagi, nanti-nanti, pembelian pesawat.
Menteri perdagangan Tiongkok memang sempat bicara keras: akan terpaksa membalas keputusan Trump itu. Terpaksa. Tapi Tiongkok buru-buru menjelaskan bahwa yang diucapkan menteri perdagangan itu bukan sikap resmi pemerintah.
Tiongkok tidak ingin terlihat reaktif. Masih berharap siapa tahu ada tweet baru. Yang tiba-tiba.
Sebetulnya Trump memang lagi dalam suasana kalut di dalam negeri. Saat tweet itu diunggah. Ia sebenarnya lagi ingin menyerang lawan politiknya: Joe Biden. Mantan wakil presidennya Barack Obama. Yang sudah menyatakan akan jadi pesaing Trump. Akan maju di Pilpres dua tahun lagi. Minggu lalu Biden mengkritik kebijakan Amerika soal Tiongkok.
Trump juga lagi gundah: orang dekatnya –Donald Trump Jr yang juga anaknya– dipanggil DPR. Urusan apa lagi kalau bukan Russia. Tentang negosiasi pembangunan gedung Trump Tower di Moskow. Menjelang Pilpres dulu.
Xi Jinping bisa membaca gerak tubuh dan ekspresi wajah lawannya itu. Khas pemain poker. Apalagi kelas dunia.
Maka tetap saja ia kirim Liu He. Wakil perdana menteri yang merangkap ketua tim negosiasi. Ia pilih tulis surat pribadi untuk Trump. Tweet tidak boleh dibalas dengan tweet. Yang bisa membuat orang malu di depan umum. Jab jangan dibalas dengan jab. Apalagi upper cut.
Trump tipe orang yang kulitnya tipis. Mudah marah tiba-tiba.
Xi Jinping pilih cara kuno: menulis surat. Diantar sendiri pula. Lewat Liu He. Isi suratnya pun baik-baik. Mengajak cari jalan yang terbaik untuk kedua negara.
Cara mengirim surat itu rupanya mengena. “Mungkin saja kita mencapai kesepakatan Jumat besok,” ujar Trump kepada media Kamis pagi lalu. “Saya menerima surat dari Presiden Xi yang indah sekali tadi malam,” ujar Trump. “Biarlah kami bekerja. Bersama-sama. Kita lihat apa yang bisa dihasilkan. Mungkin saja kita bisa mencapai kesepakatan Jumat besok.”
Trump sudah merasa berhasil. Surat yang indah itu adalah hasil gebrakannya di Twitter. Trump sudah merasa berhasil menggunakan gaya khas dirinya dalam bernegosiasi. Yang ia sebut –dan jadi judul bukunya– art of the deal.
Tapi jangan berharap dulu. Kita tunggu apa yang terjadi hari ini. Siapa tahu ada alasan baru untuk belok tiba-tiba. Tentu Presiden Xi tetap akan berwajah poker bila muncul tweet baru dari Trump.
Dalam menghadapi perang dagang ini Xi Jinping mungkin memang sedang main poker. Mungkin saja ia juga sedang main catur. Di tiga papan sekaligus: Iran, Korea Utara dan Taiwan. Di tiga papan itu ada gajah Trump. Siapa tahu Xi lagi memainkan kuda.
Hahaha…
Saat tulisan ini akan saya kirim ternyata sudah ada putusan: Trump tidak tertarik surat yang indah itu.
Ia tetap putuskan menaikkan tarif itu. Guncangan baru untuk ekonomi dunia. Perundingan terakhir tidak jadi berlangsung. Liu He memang tetap datang ke ruang perundingan. Tapi hanya sebentar. Rupanya hanya untuk pamitan. (Dahlan Iskan)