TRANSFORMASI TANAH ABANG

Oleh: Joko Intarto

eQuator.co.id – Pasar dalam pengertian harfiah adalah tempat bertemunya pedagang dan pembeli. Sesederhana itu. Tetapi pernahkah Anda membayangkan, betapa kompleksnya pekerjaan di balik pasar?

 

Pekan lalu saya mengikuti presentasi tentang roadmap transformasi pasar Tanah Abang yang dirintis PT Multi Pembayaran Digital. Pasar Tanah Abang merupakan pusat perkulakan tradisional terbesar di Indonesia. Pasar ini menampung 120 ribu orang pedagang dan menarik jutaan orang pembeli setiap hari.

 

Dari pasar Tanah Abang, aneka produk produk industri garmen didistribusikan ke seluruh Indonesia. Bahkan diekspor ke berbagai negara Asia dan Afrika. Volumen bisnisnya tidak kecil: Sekitar Rp 72 triliun per tahun.

 

Dalam praktik perdagangan tradisional selama ini, pedagang dan pembeli bertemu di pasar Tanah Abang. Pembeli dari luar kota harus mengeluarkan biaya lebih banyak. Untuk beli tiket perjalanan dan penginapan.

 

Setelah memilih barang, pembeli membayar di lokasi. Transaksinya konvensional.  Bisa dengan uang cash atau transfer uang melalui ATM atau konter bank di situ.

 

Usai belanja, pekerjaan selanjutnya adalah mencari perusahaan jasa ekspedisi atau kargo. Untuk mengirim barang sampai alamat tujuan. Biaya pengiriman juga dibayar secara konvensional.

 

Itu dari sisi pembeli dan pedagang. Berbeda lagi dengan sisi pedagang dan pemasok barang.

 

Untuk memenuhi permintaan pembeli, pedagang memerlukan pasokan barang. Pedagang umumnya memiliki stok barang di gudang. Tapi, kadang kala stok tidak mencukupi. Maka setiap saat pedagang harus berurusan dengan pemasok. Untuk menyuplai stok barang tambahan.

 

Pemesanan stok barang pun konvensional. Pedagang mengirim kurir ke alamat pemasok. Memilih barang. Lalu mengirimkan ke gudang. Demikian pula transaksi pembayarannya. Masih tradisional. Kalau tidak bayar tunai di tempat, ya transfer lewat ATM atau konter bank.

 

Proses bisnis konvensional itu sungguh memakan waktu, biaya dan tenaga. Tidak praktis. Berbiaya tinggi. Sampai kemudian muncul ide untuk mendigitalisasi pasar Tanah Abang. Melalui sebuah aplikasi.

 

Pasar Tanah Abang diubah menjadi market place Tanah Abang. Kios-kios di dalamnya diubah menjadi e-kiosk di market place. Pemilik kios diubah menjadi pemilik akun atas e-kiosk. Barang yang dijual di kios diubah menjadi konten e-kiosk.

 

Digitalisasi juga dilakukan untuk urusan ekspedisi atau pengiriman barang. Mirip market place, semua penyedia jasa kargo dan kurir dihadirkan dalam aplikasi. Pembeli bisa memilih perusahaan mana yang disukai.

 

Digitalisasi juga dilakukan pada sistem transaksi. Berbagai bank yang telah memiliki fasilitas internet banking terkoneksi dengan market place. Pedagang dan pembeli bisa melakukan transaksi melalui internet banking masing-masing.

 

Bila berhasil, digitalisasi pasar Tanah Abang itu akan mengubah wajah pasar yang telah eksis sejak zaman penjajahan Belanda tersebut. Situasi Pasar Tanah Abang mungkin tidak akan seruwet dan sepadat sekarang.

 

Pembeli tidak harus datang ke Tanah Abang untuk kulakan baju lagi. Berbelanja dan bayar tagihan bisa dari mana saja. Tanpa harus keluar rumah.

 

Secara teknologi, digitalisasi pasar tidak sulit. Yang justru menguras energi adalah mengawal proses transformasi masyarakat di lingkungan pasar itu sendiri. Perlu sosialisasi yang baik kepada komunitas pelaku ekonomi di pasar terkait dengan perubahan konsep pasar digital tersebut.

 

Ternyata, digitalisasi bukan semata-mata urusan membuat coding. Para programmer juga harus bisa memberi solusi untuk semua stakeholder sebuah pasar, agar software-nya berbuah kesuksesan.(jto)