Bukan Direvisi, Cabut PP 78/2015

Kontrak Kerja Rugikan Pekerja

BERORASI Hari Buruh digunakan massa dari Front Perjuangan Rakyat (FPR) Kalbar berorasi menyampaikan tuntutanya di Taman Digulis, Kota Pontianak, Rabu (1/5) pagi. Andi Ridwansyah/Rakyat Kalbar.

eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Peringatan Hari Buruh (May Day), Rabu (1/5), diisi dengan menggelar aksi di Taman Digulis, Kota Pontianak. Dalam orasinya, puluhan orang yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat (FPR) Kalbar mendesak pemerinah mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 (PP 78/2015) tentang Pengupahan.

Massa membawa banner bertuliskan “Perkuat Persatuan Klas Buruh dan Kaum Tani, Serta Seluruh Rakyat Tertindas, Lawan Seluruh Kebijakan Rezim Fasis Jokowi yang Menindas Buruh dan Rakyat Indonesia.”

Andres Ferdi Hardianto, Koordinator Aksi mendesak pemerintah memperhatikan nasib buruh di Kalbar. “Bukan hanya memperhatikan pihak swasta atau perusahaan milik negara, tapi buruh, mulai dari hak mendapatkan kesehatan, kesejahteraan, dan pendidikan untuk anak-anak buruh yang harus diperhatikan,” kata Andres kepada wartawan.

Dia berujar, kondisi buruh di Kalbar, saat ini masih jauh dari sejahtera. Jaminan kerja masih kurang dan tidak menentu dengan berlakunya Undang-undang (UU) Ketenagakerjaan. Dia memberkan, buruh yang bekerja di sektor pertanian. Sampai saat ini, masih didapati buruh harian lepas yang sudah bekerja selama enam sampai tujuh tahun, masih saja dipekerjakan sebagai buruh harian lepas (BHL). “Buruh tidak dipekerjakan untuk menjadi pegawai tetap. Itu salah satu contoh permasalahan di sektor perkebunan dari banyak kasus yang lain,” ungkapnya.

Selain itu, dia menyoroti permasalahan pencemaran lingkungan, dan perpecahan akibat suku dan ras, maupun perampasan atas tanah masyatakat yang awalnya dijanjikan pemiliknya akan dipekerjakan di perusahaan. “Kita minta dicabut (PP 78/2015, red), bukan direvisi. Imbas dari aturan tersebut, buruh tidak merasakan kesejahteraan,” jelasnya.

Selain itu, FPR juga menolak Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS) Jokowi-JK, karena dianggap hanya memperkuat kedudukan monopoli atas tanah dan mengilusi rakyat. RAPS Jokowi-JK hanya sebagai upaya peredaman perjuangan rakyat yang sejati menuntut keadilan agraria. “Kami minta pemerintah menghentikan kekerasan, kriminalisasi, intimidasi, dan teror terhadap rakyat yang berjuang atas hak-hak demokratisnya. Bangun industri nasional sebagai salah satu syarat kedaulatan dan kemakmuran rakyat,” harapnya.

Dia meminta pemerintah mencabut Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI), dan memberikan perlindungan sejati bagi buruh migrant. Selain itu, pemerintah juga diminta menghormati dan melindungi masyarakat adat serta hak komunal atas tanah ulayat adat. “Stop keterlibatan TNI dan Polri dalam masalah yang dihadapi kaum tani dan klas buruh. Hentiakan monopoli output-input pertanian, berikan jaminan perlindungan harga karet bagi kaum tani,” pintanya.

Dia meminta pemerintah membuat kebijakan khusus terhadap harga komoditi karet bagi kaum tani. “Turunkan harga kebutuhan pokok rakyat dan berikan subsidi sosial bagi rakyat. Kita desak pemerintah memberikan jaminan keselamatan bagi BHL di sektor perkebunan, menuntut agar memberikan jaminan upah yang layak,” pungkasnya

Di tempat yang sama, Ketua Serikat Buruh Kalbar, Suryani mengungkapkan, adanya perusahaan di Kabupaten Kubu Raya yang mempekerjakan buruhnya sebulan hanya 12 hari. Bahkan, paling sedikit hanya empat hari. “Bagaimana bisa mencukupi kebutuhan dalam keseharian. Padahal, penghasilan dari bekerja selama itu tidak mungkin bisa mencukupi kebutuhan keluarga yang mencapai Rp3 juta per bulan,” ungkapnya.

Selain itu, di perusahaan tersebut juga masih banyak karyawan yang sudah lanjut usia (Lansia). Namun, hingga sekarang tak kunjung di-PHK oleh perusahaan. “Mereka memperkecil harian kerja, supaya para  pekerja lansia ini merasa tidak berimbang dengan pendapatan, sehingga dengan sendirinya keluar dari perusahaan. Dengan begitu secara otomatis, upah pesangon tidak diberikan,” tegasnya.

Bukan hanya itu, sejak tahun 2015 hingga sekarang, Tunjangan Hari Raya (THR) selalu diberikan berdasarkan proporsi karyawan. “Ada yang hanya mendapatkan Rp500 ribu. Bahkan, ada yang hanya mendapatkan Rp800 ribu,” ungkapnya.

Suryani mengaku pernah mempertanyakan pemberian THR kepada perusahaan, namun jawaban dari perusahaan, karena para buruh adalah BHL. “BHL kan ada batasnya. Kalau kami karyawan-karyawan kontrak dari satu tahun, dua tahun itukan batasnyakan menurut undang-undang. Tetapi ketika dibantah dengan undang-undang, pihak perusahaan berdalih tidak mengetahui hal tersebut, serta mereka hanya menerapkan kepmen,” ujarnya.

Parahnya, ketika perusahaan mengeluarkan kebijakan mengenai apapun itu, maka semua karyawan harus menaati dan menjalankan kebijakan tersebut. Jika tidak, kata dia, maka pihak perusahaan dengan sengaja tidak akan memperkerjakan karyawan BHL. “Kalau buruh tidak mau mengikuti dan tidak mau bertanda tangan, maka diliburkan. Bahkan kemarin, kami diliburkan selama satu bulan,” paparnya.

Suryani melanjutkan, permalsahan itu  hanya karena pihak perusahaan  mengeluarkan kebijakan surat  kontrak, yang setiap tiga bulan sekali keluar. “Kami bertanya kenapa surat kontrak itu tidak  dikeluarkan pada saat perusahaan itu masuk berinvestasi. Setelah perusahaan tahun 2018 berakhir, dan masuk di tahun 2019, mengapa kontrak ini baru dikeluarkan,” ungkapnya.

Dia menduga, ini merupakan salah satu cara perusahaan untuk, memperbarui para buruh, dan tidak mau memberikan haknya sebagai buruh.

Mereka sudah pernah melapor ke Disnaker Provinsi Kalbar. Sayangnya, Disnaker memberikan respon, bahwa mereka hanya buruh Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Sehingga hak-hak tersebut tidak bisa diupayakan. Selain itu, pihaknya pernah berkomunikasi dengan anggota DPR RI tahun lalu. Bahkan, sempat dijanjikan akan diupaya tuntutan buruh diselesaikan. “Ternyata nihil, satu minggu kami bolak-balik, tapi ternyata kami dipermainkan oleh pemerintah,” jelasnya.

Dia menuntut perusahaan memperlakukan buruh sesuai aturan perundang undangan, memenuhi kesehatan para pekerja, PHK kan lansia sesuai UU, berikan THR sesuai UU, berikan harian kerja sesuai UMK.”Kembalikan tanah kami, kalau memang hasilnya tidak memuaskan. Kami perlu makan. Perlu kesejahteraan, karena tidak akan cukup dengan hanya bekerja empat hari sebulan dengan gaji Rp89 ribu per hari,” tegasnya.

 

Laporan: Andi Ridwansyah

Editor” Yuni Kurniyanto