eQuator.co.id – Dulu saya yang anjur-anjurkan. Sekarang giliran saya yang harus belajar. Ternyata porang sudah jadi tanaman komersial. Bukan lagi sekedar tanaman sela.
Saya diminta membuktikan sendiri. Ke pegunungan. Ke pedesaan di antara Ponorogo-Trenggalek-Pacitan. Sekarang lagi musim panen Porang.
“Saya mengaku kalah,” kata saya pada pak Marnianto, petani Porang di Desa Ngrayun, pedalaman Ponorogo. Kemarin. Ketika saya ke sana.
Pak Marnianto bisa hasilkan porang 30 ton/ha. Pengetahuan saya selama ini jauh dari itu. Paling hanya 10 ton per hektar.
Pak Marni sebenarnya pendatang baru di dunia porang. Aslinya Pak Marni seorang guru SD di desa itu. Ia kena ‘virus’ porang dari Pak Suparno. Sesama guru di situ. Suparno-lah yang sering ke Nganjuk. Bertemu aktivis porang Nganjuk: Riyanto dan Hartoyo. Yang dulu sering diskusi porang dengan saya.
Kawasan kaki Gunung Kendeng (Nganjuk, Bojonegoro, Saradan, Caruban) itu memang jadi pusat porang Indonesia.
Awalnya hanya memanfaatkan lahan kosong Perhutani. Di sela-sela pohon jati itu bisa ditanami porang. Ribuan petani sekitar hutan bisa hidup dari porang.
Lalu saya dibuat lupa pada porang. Diberi kesibukan luar biasa yang sia-sia. Selama empat tahun terakhir.
Tiba-tiba dunia porang sudah lebih sibuk dari saya. Berkembang ke mana-mana. Sampai ke Ponorogo. Bahkan sudah menjadi tanaman komersial. Yang saya maksud komersial adalah: tanahnya sewa. Khusus untuk porang. Punya karyawan khusus. Untuk menanam dan memelihara. Investornya pun sudah bisa dapat untung.
Investor pertamanya ya pak guru Marni itu. Kini sudah bisa sewa tanah 5 ha. Punya 12 karyawan. Baru saja panen 40 ton. Harga perkilogramnya Rp 7.000. Dapat uang Rp 280 juta. “Seluruh biayanya hanya sekitar Rp 90 juta. Termasuk sewa tanahnya,” ujar Pak Marni. Hitung sendiri untungnya.
Tahun ini jutaannya itu masih akan bertambah banyak. Lima hektar tanah sewaannya akan menghasilkan semua.
Bagaimana pak guru itu bisa memproduksi porang lebih produktif dari Nganjuk?”Saya beri pupuk,” kata pensiunan guru berumur 64 tahun itu.
Pupuknya kotoran hewan. Ditaruh di lubang menjelang penanaman. Setelah tumbuh, mulai diberi pupuk urea, Sp36 dan sedikit ZA. Saat tumbuh tunas baru dipupuk lagi Ponska. Beberapa kali.
Umbi porang baru bisa dipanen di tahun kedua. Agar umbinya mencapai 4 kg. Paling tidak. Atau, seperti yang saya lihat kemarin, banyak yang satu umbi beratnya 7 kg.
Pak Marni punya rumus: porangnya minimal harus 2 kg/umbi. Yang 1 kg untuk mengembalikan biaya tanah dan biaya produksi. Yang 1 kg lagi untuk laba investornya.
“Kalau per umbi bisa di atas 2 kg itu anggap saja bonus,” tambahnya.
Begitu banyak bonus pak guru itu. Bisa 5 kg per umbi. “Alhamdulillahhhh,” ucapnya.
Belakangan ini kian banyak petani yang ikut jejak Pak Marni. Jangan kaget. Sudah lebih 20.000 hektar tanaman porang di Kecamatan Ngrayun.
Dengan pola tanam yang baru. Bukan tanaman liar lagi.
Di Ngrayun saya juga bertemu Koko Suprapno. Orang Pacitan timur. Yang lagi belajar tanam porang. Tanahnya di Pacitan kini ditanami cengkeh. Koko akan menanam porang di sela-sela cengkehnya itu.
Lain lagi dengan Pak Warno. Dulu ia tidak tertarik porang. Tiap hektar hanya menghasilkan 10 ton. Kini ia ikut jejak Pak Marni.
Hanya saja Pak Warno sulit dapat benih. Yang disebut katak. Yakni buah porang yang muncul di daun. Satu daun bisa ditumbuhi 40 katak. Tapi tetap saja tidak cukup memenuhi minat baru tanam porang. “Harga katak sudah 80 ribu per kg,” ujar Pak Suwarno yang akan all out jadi petani baru porang. Setelah pensiun dari Perhutani.
Pak Warno tidak khawatir akan pasar. Pasar ekspor seperti tidak terbatas. Pasar dalam negeri sangat besar.
Pabrik porang terus dibangun. Terakhir di Caruban. Kapasitas tampungnya 60 ton/jam. Mulai beroperasi Juni nanti.
Porang petani dikirim ke pabrik. Diiris-iris. Dikeringkan. Dibuat tepung. Dipisahkan kadar glukomanannya. Dari asam oskalatnya.
Campuran terbaik daging bakso adalah tepung porang. Bisa mengembang dengan tekstur yang eksotik.
Banyaknya petani baru juga tidak membuat Pak Marni gentar.
Pak Marni tambah pinter lagi. Saya dibawa ke lokasi lain. “Ini pak. Di sela-sela porang saya tanami kacang tanah. Bisa dapat 1,5 ton/hektar,” katanya. Di lokasi lain sela-selanya ditanami singkong.
Bagi Pak Marni hidup dimulai sejak pensiun.
Salah.
Sebenarnya sudah lama ia ingin hidup. Tapi selalu gagal.
Awalnya mencoba tanam jarak. Tergiur oleh program pemerintah untuk atasi krisis harga BBM dulu. Setelah panen tidak ada yang beli. Dijual tidak laku.
Lalu tanam pohon jabon. Ia tunggu selama enam tahun. Hasilnya tidak seperti yang digembar-gemborkan. Lalu tanam sengon laut. Tunggu lagi enam tahun. Hasilnya hanya Rp 10 juta. Kehilangan waktu lagi enam tahun.
Sukses baru datang setelah gagal 15 tahun. (Dahlan Iskan)