eQuator.co.id – Kebanyakan orang lebih pintar pidato ketimbang bekerja. Top eksekutif perumahan Vida Bumipala justru sebaliknya. Tidak ada seremonial. Tidak ada publikasi. Tapi hasilnya nyata. Inilah pengembang perumahan di Bekasi, Jawa Barat, yang menerapkan konsep go green kepada warganya.
Konsep go green bisa dilihat dengan mudah di Pasar Alam, pusat belanja tradisional yang ada di dalam kompleks perumahan itu. Sudah sejak Februari 2019 Pasar Alam dibuka untuk umum. Memang belum semua kios terisi. Karena jumlah penghuni perumahan juga belum begitu banyak. Dari 10.000 unit rumah yang direncanakan, developer baru membangun 2.000 rumah.
Pasar Alam bukan pasar sembarang pasar. Pusat perdagangan itu merupakan pasar tradisional yang dimodernisasi: pasar tradisional berkonsep bersih, eco friendly dan digital.
Berkunjung ke Pasar Alam, Anda tidak akan menemukan sampah berserakan. Seluruh pasarnya bersih. Sampah terkumpul di kantong-kantong yang tersebar di berbagai sudut. Sampah-sampah itu pun sudah dipilah: yang mudah terurai dan yang sulit terurai. Setiap hari sampah itu dikirimkan ke tempat pembuangan akhir di Bantar Gebang, 10 Km dari perumahan.
Di Pasar Alam, semua pedagang tidak boleh menjual minuman dalam botol plastik. Misalnya, air mineral. Pedagang juga tidak diperkenakan melayani pengunjung yang hendak membeli makanan dan minuman yang di-take away menggunakan bungkus plastik. Pembeli harus membawa tumbler sendiri dari rumah. Atau makan dan minum di tempat.
Untuk membayar belanjaan, pengunjung didorong menggunakan uang digital. Dari belanja sayuran sampai kopi bisa bayar dengan Go-Pay. Bayar tunai tentu saja masih boleh. Tapi membayar dengan non tunai lebih menarik. Apalagi Go-Pay menawarkan diskon dan paket promosi menarik.
Konsep Pasar Alam sendiri sepertinya untuk menyesuaikan gaya hidup penghuninya. Menilik tampilan bangunan rumahnya, saya menduga perumahan ini menyasar konsumen kelas menengah yang bekerja di Jakarta. Yang sudah biasa berbelanja di modern market dan bertransaksi secara cashless.
Tak heran kalau di pasar ini, lembaga pendidikan Seniman Pangan membuka kios. Ada empat kios yang dikelola lembaga pendidikan milik produsen produk premium Javara itu. Ada Bio Patali yang menjual sembako organik. Nulle Spices yang menyediakan bumbu organik. Tempa Tempe yang menjual tempe organik. Dan Kopi Jo yang menjual kopi organik.
Produk organik adalah produk yang sehat. Tapi harganya memang lebih mahal. Harga tempe di kios Tempa Tempe, misalnya, dibanderol Rp 20.000 untuk berat 300 gram. “Di pasar ini, tempe kami menjadi favorit pembeli,” kata Refiansyah.
Tak jauh dari Pasar Alam, terdapat sebidang lahan kosong. Luasnya 6 hektar. Di tengah lahan terdapat sebuah waduk kecil. Luasnya sekitar 2 hektar. Waduk itu menjadi sumber air bersih warga perumahan dan menjadi sumber irigasi kebun sayur organik. Kebun itu dikelola Pak Herman Yosep. Seorang arsitek pegiat green building. Konsep yang dikembangkan dikenal dengan nama urban farming, pertanian terintegrasi di kawasan perkotaan.
Cukup lama saya berdiskusi dengan Pak Herman. Kami saling bertukar pikiran tentang pengalaman masing-masing dalam pengembangan urban farming. Pak Herman rupanya ahli dalam konsep go green dalam implementasi urban farming. Sedangkan saya lebih menyukai sociopreneur sebagai model bisnisnya.
Dalam diskusi itu, terbetik sebuah pemikiran untuk menggabungkan konsep go green, urban farming dan sociopreneur. Apalagi, lingkungan perumahan itu dihuni kelas menengah atas. Penghuni perumahan bisa dilibatkan sebagai investor sekaligus pasar produk pertanian dan peternakan organik.
Komoditas yang dipilih adalah sayur-mayur organik, peternakan kambing dan sapi organik serta perikanan organik. Semua komoditas pilihan adalah yang diperlukan warga perumahan. Sayur-mayur untuk konsumsi setiap hari. Kambing dan sapi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, aqiqah dan qurban. Konsep baru itu diharapkan bisa menjadi model urban farming berkonsep go green yang melibatkan partisipasi aktif seluruh stake holder perumahan. Kelak bisa menjadi model di perumahan lainnya.(jto)