eQuator – Jakarta-RK. Masyarakat seharusnya melihat kerangka yang lebih luas dalam polemik Setya Novanto dan Menteri ESDM Sudirman Said terkait permintaan saham ke PT Freeport Indonesia yang menyeret nama Presiden Jokowi dan wakilnya, Jusuf Kalla.
“Masyarakat harus jeli dan fokus juga terkait upaya Freeport Indonesia untuk memperpanjang kontrak dan mendapat izin ekspor konsentrat di saat proses permurnian belum selesai,” ujar Ekonom Ichsanudin Noorsy, dalam keterangan persnya, Kamis (19/11).
Analisa dia, Sudirman Said, saat ini tengah melakukan manuver politik. Nah, dalam pekerjaan tersebut, dirasa Noorsy, Sudirman tak sendiri. Dia bisa saja diberikan dukungan dan fasilitas penuh dari sejumlah pihak, tak tertutup kemungkinan penguasa.
“Perlu dicermati juga kebenaran pihak-pihak yang memang serakah ingin mendapatkan saham 10,36 persen dan proyek pembangkit listrik untuk smelter Freeport Indonesia. Masyarakat jangan terpancing adu domba Freeport dengan Sudirman Said lewat konstruksi pembocoran transkrip dialog SetNov,” jelasnya.
Masyarakat, lanjut Noorsy, harus cerdik dan mengetahui bahwa Freeport adalah bagian atau rangkaian perang sumber daya jangka panjang.
“Kasus Freeport menjadi bagian dari perang ekonomi berbasis sumber daya alam untuk jangka panjang,” papar Noorsy.
Gaya Freeport Obrak-abrik Pemerintah Mirip VOC
Masyarakat salah melihat dalam masalah Ketua DPR RI, Setya Novanto dan Menteri ESDM, Sudirman Said. Seharusnya masyarakat bisa lebih fokus ke PT Freeport Indonesia yang sudah berhasil mengadu domba para pemain kunci pemerintahan, bukan malah terjebak dalam tudingan Sudirman ke Setya.
Ada pun Sudirman sebelumnya menuding bahwa Setya telah bawa-bawa nama Presiden Jokowi dan wakilnya Jusuf Kalla untuk meminta saham dari Freeport.
Direktur Eksekutif Global Future Institute, Hendrajit menilai bahwa Freeport saat ini tengah memainkan peran yang dulu dilakoni oleh VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) Belanda ketika mengadu-domba para pangeran di kerajaan Mataram.
“VOC Belanda maupun Freeport sebagai VOC gaya baru. Bisa dengan mudah menguasai sumber daya alam. Karena begitu mudahnya para elit politik kita diadu-domba karena bernafsu untuk memegang kewenangan dalam berunding dengan Freeport,” ujar Hendrajit dalam keterangan persnya, Kamis (19/11).
Dia menjelaskan, dalam eranya, VOC Belanda bahkan berhasil adu domba pangeran dan adipati hanya karena posisi kekuasaan. Akhirnya VOC Belanda berhasil membuat Mataram dibelah dua, Solo dan Yogyakarta.
“Kelakuan Freeport mengadu domba unsur pemerintah dan DPR ini bisa jadi pertanda yang tidak bagus ke depannya. Pihak asing jadi dengan mudah melakukan pemetaan politik internal NKRI. Sekaligus menciptakan prakondisi pelemahan internal NKRI sekaligus,” jelas Analis Politik Geopolitik itu.
Freeport, dalam hal ini James Moffet dan jajaran direksinya, tambah Hendrajit, nampaknya tahu persis di lingkar dalam kekuasaan Jokowi sedang terjadi keretakan karena berebut lahan-lahan strategis perekonomian, utamanya di Energi dan Migas.
Pertarungan Mafia Besar
Pelaporan kasus pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk meminta saham Freeport bukan sinetron, tapi pertarungan para mafia besar.
Anggota Komisi I DPR, Effendi Simbolon menyampaikan itu terkait langkah Menteri ESDM Sudirman Said melaporkan Ketua DPR Setya Novanto ke Mahkamah Kehormatan Dewan. Karena diduga mencatut nama Presiden dan Wapres saat bertemu Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Maroef Sjamsoeddin bersama seorang pengusaha Riza Chalid.
Apalagi dalam perkembangannya, Menko Polhukam, Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan, Sudirman Said tak melapor ke Presiden sebelum melapor ke MKD. Bahkan, Luhut menegaskan Pemerintah tidak akan memperpanjang kontrak Freeport.
“Lalu, Menkopolhukam Luhut Panjaitan menegaskan jika pemerintah tidak memperpanjang kontrak Freeport. Ada apa?,” ungkap Effendi Simbolon dalam diskusi “Membaca Arah Reshuffle Kabinet Jilid II di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (19/11).
“Padahal, Sudirman Said sebelumnya sudah memperpanjang kontrak. Jadi untuk siapa perpanjangan kontrak yang dia lakukan,” sambung Luhut.
Menurut bekas anggota Komisi VII DPR ini, selama setahun menjabat, Sudirman Said telah menanam dua bom besar. Yaitu audit forensik Petral dan perpanjangan kontrak Freeport. Untuk Freeport katanya, yang menjadi sasaran tembak bukan Setya Novanto, tapi Riza Chalid, pengusaha tambang yang kerap dikait-kaitkan dengan Petral.
Sementara Setya, hanya menjadi titik lontar, agar beritanya lebih menarik dan mendapat respon media yang besar. Mengapa? Karena kalau ada pelanggaran etik atau pidana yang dilakukan oleh Setya Novanto, Sudirman sangat memahami kalau persoalan itu bukan urusannya.
Dia menambahkan, kasus Freeport merupakan kelanjutan dari pemecatan Ari Soemarno sebagai Dirut Pertamina oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) semasa menjadi Presiden. Ari Soemarno adalah kakak kandung Menteri BUMN, Rini Soemarno, yang notabene neolib-kapitalis.
Bahwa dulu Ari Soemarno dan Reza itu satu geng, yang kemudian pecah kongsi. “Tapi, ada orang kuat lagi di belakang Rini dan Ari Soemarno itu,” ujarnya.
Karena itu, kata Effendi, kasus Ari dan Rini dengan Reza itu sebagai pertarungan luar biasa dan lebih kejam dari G 30 S PKI. Kalau Setya Novanto, dia orangnya memang lugu, sederhana dan ngantuk-ngantuk sehingga kalau berbicara panjang bisa lupa.
“Jadi, orang seperti Setya Novanto inilah yang dijadikan titik lontar oleh Rini Soemarno. Maka Presiden Jokowi harus bisa mengelola kasus ini, kalau tidak bisa senjata makan tuan,” ucap Effendi Simbolon. (rmol)