35 Kasus Money Politik Jelang Pemilu

Bawaslu Perkuat Patroli Cegah Pelanggaran Pemilu

ilustrasi. net

eQuator.co.id – PONTIANAK- JAKARTA-RK. Money politik mendadak terungkap di berbagai wilayah di Indonesia. Polri merilis setidaknya ada 35 kasus money politik yang terjadi sehari sebelum Pilpres 2019, Selasa (16/4).

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kalbar telah menerima informasi, mengenai indikasi potensi politik uang di detik-detik masa pencoblosan. “Kita mendapat informasi indikasi bahwa akan ada praktik haram, politik uang, yang akan dilakukan pada malam ini (kemarin, red). Tapi, hingga saat ini belum ada yang tertangkap tangan. Kira-kira seperti itu,” kata Komisioner Bawaslu Kalbar, Faisal Riza, Selasa (16/4).

Faisal menegaskan, jajaran Bawaslu sampai tingkat bawah, akan memperkuat kegiatan patroli lapangan, sampai proses pemungutan suara selesai dilaksanakan.

Hal itu dilakukan untuk mencegah terjadinya pelanggaran pemilu. Termasuk, mencegah praktik politik uang tersebut. “Karena itu, dalam kegiatan patroli, teman-teman terus menyebarkan liflet dan alat sosialisasi. Untuk larangan politik uang. Ini kita upayakan terus. Kita tempel di TPS-TPS,” tegasnya.

Faisal menambahkan, hasil pengawasan jelang pemungutan suara Pilpres sekaligus Pileg, ada sejumlah temuan yang telah didapat jajaran Bawaslu. “Kami menemukan ada beberapa pergerakan distribusi logistik yang logistiknya rusak. Terutama kotak suara. Tapi, itu langsung kita rekomendasikan ke KPU untuk diganti,” katanya.

Kemudian lanjut dia, ada pula temuan berupa pendistribusian formulir C6, atau surat undangan memilih yang keliru. Pemilihnya, masih anak kecil. “Kita langsung datangi secara faktual, ternyata betul. Memang anak kecil yang dapat itu (Form C6, red). Sehingga kami minta juga langsung ditarik,” ucapnya.

Selain itu, ada juga temuan Alat Peraga Kampanye (APK) yang masih terpasang di posko-posko pemenagan peserta pemilu di masa tenang. “Nah inikan tidak boleh. Itu langsung kita minta mereka menurunkan. Sampai saat ini, kurang lebih ada 15.234 APK yang sudah ditertibkan se-Kalbar,”pungkasnya.

Terpisah, Ketua KPU Kalbar, Ramdan mengatakan, persiapan pelaksanaan pemilu di seluruh wilayah Kalbar berjalan lancar. Semua logistik sudah bergerak ke TPS-TPS. “Kalau pun ada logistik yang bergeser di pagi hari (17 April, red) itu kemungkinan TPS-nya  berdekatan dengan kantor desa atau kantor KPU,” katanya.

Mengenai surat suara rusak maupun yang lebih, Ramdan menegaskan, hal itu sudah dilakukan pemusnahan. “Dan semua KPU kabupaten/kota sudah melakukan pemusnahan hari ini (kemarin, red),”pungkasnya.

Sementara itu, kasus money paling menonjol yang diungkap Polri, dalam puluhan kasus itu merupakan kasus yang melibatkan sejumlah anggota Partai Gerindra.

Sesuai data Polri 35 kasus money politic itu terjadi di sejumlah daerah, yakni Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Nias, Sumatera Utara, Semarang, Gorontalo, Halmahera Utara, Boyolali, Bantul Nusa Tenggara Barat, Gorontalo Utara, Fakfak, Bitung Timur, Bulungan, Baubau, Tidore, Palu, Bekasi, Kupang, Sumbawa dan Bone. Di beberapa daerah itu terdapat lebih dari satu kasus money politic.

Karopenmas Divhumas Polri Brigjen Dedi Prasetyo menjelaskan, salah satu kasus terjadi di Padang Lawas Utara (Paluta), ditangkap empat orang dengan inisial SH, MH, FIMH dan R. Keempatnya ditangkap dengan barang bukti 87 amplop yang di dalam tiap amplop terdapat Rp 200 ribu. ”Diduga untuk itu untuk money politic,” ujarnya.

Dalam setiap amplop itu ditemukan adanya kartu nama caleg Partai Gerindra untuk DPRD  Paluta dengan inisial MS. Kemungkinan besar uang itu digunakan untuk memenangkan caleg tersebut.  ”Masih didalami lagi,” ujar jenderal berbintang satu tersebut.

Lalu kasus dikembangkan, diketahui keempatnya disuruh oleh FH. Petugas mendatangi rumah FH di Pasar Gunung Tua, Padang Bolak. Di lokasi itu ditemukan 118 amplop berisi uang Rp 150 ribu hingga Rp 300 ribu setiap amplopnya.  ”Ditangkap juga 12 orang di rumah itu,” jelasnya.

Sebanyak 12 orang yang ditangkap tersebut berinisial, FH, AAS, SKS, KAS, H, MRH, HS, IH, MLS, dan HH. Inisial terakhir HH, merupakan wakil bupati Paluta. HH sekaligus merupakan suami dari caleg yang kartu namanya terselip di dalam amplop tersebut. ”Belum bisa dipastikan, masih ditangani Gakkumdu,” jelasnya.

Namun begitu, status dari wakil bupati itu dipastikan telah menjadi tersangka. Dia mengatakan, ada beberapa kasus lain yang juga ditangani.  ”Tidak hanya penangkapan ada juga pencegahan ya,” tuturnya.

Kasus lainnya yang mencolok adalah penangkapan terhadap staf Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta M. Taufik berinisial CL. Dalam penangkapan yang dilakukan Senin sore (15/4) ditemukan 80 amplop yang didalam tiap amplopnya terdapat Rp500 ribu.

Dedi menjelaskan, untuk kasus ini masih ditangani Panwaslu, ada waktu 24 jam untuk dilakukan assessment dan nantinya akan diserahkan ke sentra gakkumdu. ”Yang ini masih baru kan,” jelasnya di kantor Divhumas Polri kemarin.

Terkait penangkapan itu M. Taufik langsung meresponnya. Menurutnya, uang tersebut bukan untuk pemilih, melainkan untuk uang bagi para saksi dari partai Gerindra. ”Kalau uang untuk saksi dipermasalahkan, semua partai juga harusnya diproses,” ujarnya.

Dia juga mempermasalahkan penangkapan yang dilakukan Polres Jakarta Utara. Sebab, untuk tindak pidana pemilu seharusnya ditangani oleh Sentra Gakkumdu. ”Skemanya juga temuan atau laporan, tapi mengapa ini kok operasi tangkap tangan,” keluhnya.

Sementara Direktur Eksekutif Partnership for Advancing Democracy and Integrity (PADI) M. Zuhdan menjelaskan, sberbagai kasus penangkapan money politic ini hanya bagian kecil dari besarnya masalah money politic. ”Saat ini partai di Indonesia itu bukan lagi people party atau partai rakyat, tapi menjadi cartel party atau partai kartel,” tuturnya.

Partai kartel ini tujuannya untuk menguasai sumber finansial negara. Dia menuturkan, perlu dipahami fenomena ini terjadi di semua partai. ”partai saat ini tidak bisa mendanai dirinya sendiri, maka dicari jaringan yang biasa dia kuasai, baik negara atau perusahaan,” ujarnya.

Maka dari itu, seharusnya diketahui bagaimana dari mana setiap uang tersebut. Dia menuturkan, bisa jadi uang itu berasal dari pengusaha yang memberikan dukungan untuk jasa tertentu. ”Hal semacam ini juga money politic,” tuturnya.

Money politic juga jangan hanya dipandang sebagai pemberian uang ke pemilih. Namun, setiap caleg itu juga sebenarnya diminta membayar ke atasan partai untuk bisa masuk daftar caleg. ”Hal ini juga money politic,” tegasnya.

 

 

Laporan: Abdul Halikurrahman, Jawa Pos/JPG

Editor: Yuni Kurniyanto