eQuator.co.id – JAKARTA-RK. Pemerintah memastikan bakal membawa isu sawit ke World Trade Organization (WTO). Hal tersebut dilakukan jika Renewable Energy Directive (RED) II Delegated Act benar-benar diterapkan pada 12 Mei pukul 00.00. Kebijakan itu mengatur penggunaan energi terbarukan di Uni Eropa pada 2020–2030.
RED II mewajibkan negara-negara UE memenuhi target 14 persen energi terbarukan pada sektor transportasi. Hal tersebut merupakan bagian dari target total energi terbarukan 32 persen di UE pada 2030. Pada 2020–2023, penghitungan bahan bakar nabati yang berisiko tinggi atau Indirect Land Use Change (High-Risk ILUC) dibatasi maksimum sebesar konsumsi pada 2019. Nah, minyak kelapa sawit dikategorikan UE sebagai bahan bakar nabati yang berisiko tinggi. Pengategorian itulah yang diprotes Indonesia.
Sebab, dari hasil berbagai penelitian, kelapa sawit justru mempunyai risiko deforestasi dan kesehatan lebih rendah daripada komoditas penghasil vegetable oil lainnya seperti rapeseed maupun bunga matahari. ’’Kami akan melakukan review hubungan dengan UE. Ini jelas sekali dilakukan karena produk vegetable oil mereka itu kalah saing dengan produk sawit kita,’’ kata Menko Perekonomian Darmin Nasution, kemarin.
Sebelumnya, pemerintah bersama perwakilan dari Malaysia dan Kolumbia yang tergabung dalam Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) telah mengadakan pertemuan di Brussels, Belgia, pada 8–9 April lalu. Namun, pertemuan tersebut hanya menghasilkan kesepakatan mengenai diskusi-diskusi lanjutan tentang penetapan kriteria bahan bakar nabati berisiko rendah. Protes Indonesia mengenai kebijakan RED II Delegated Act tak begitu berpengaruh.
Darmin menilai, kampanye hitam mengenai kelapa sawit di dunia sudah sedemikian buruk. Kampanye mengenai produk yang tidak mengandung kelapa sawit di Eropa bahkan lima kali lebih sering ketimbang iklan Coca-Cola. Padahal, pada kenyataannya, kelapa sawit masih lebih baik daripada produk penghasil bahan bakar nabati lainnya di mana pun.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad telah berkirim surat ke Eropa mengenai hal itu. Namun, hal tersebut tidak mengubah apa pun.
’’Ini murni diskriminasi. Saya yakin mereka paham mengenai bukti-bukti bahwa kelapa sawit itu aman. Tetapi, mereka tetap melakukan ini demi produk mereka sendiri,’’ ungkap Staf Khusus Kementerian Luar Negeri Peter F Gontha.
Diskriminasi tersebut, lanjut dia, tidak sesuai dengan konsep pengentasan kemiskinan dalam Sustainable Development Goals (SDGs) yang disepakati anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Indonesia sendiri mempunyai 19,5 juta tenaga kerja yang berkontribusi pada industri kelapa sawit.
Pengategorian kelapa sawit sebagai produk yang tidak aman dan berisiko tinggi tentu akan menyulitkan Indonesia dalam hal kerja sama dagang dan ekspor. Untuk itu, Indonesia juga mendiskusikan perdagangan kelapa sawit dengan pasar-pasar baru melalui foreign trade agreement (FTA) lainnya.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Pandjaitan mengatakan pemerintah telah mempertimbangkan berbagai opsi, termasuk memboikot produk-produk Uni Eropa di Tanah Air.
Dalam media briefing bertajuk “Diskriminasi Uni Eropa terhadap Kelapa Sawit” yang mengundang puluhan perwakilan perusahaan Eropa, Luhut menjelaskan, Indonesia membutuhkan sekitar 2.500 unit pesawat terbang sekelas A320 dalam 20 tahun ke depan dengan nilai lebih dari US$ 40 miliar.
Kebutuhan armada pesawat itu, tegas Luhut, dapat menciptakan 250 juta lapangan kerja di AS dan Uni Eropa.
Indonesia juga banyak mengimpor bus dan truk Scania dari Uni Eropa serta sedang mempertimbangkan pembelian rangkaian kereta dari Polandia.
“Jika kita didiskriminasi begini dan hampir 20 juta rakyat kita, terutama petani kecil ikut terdampak, tentu kita akan bereaksi. Kita bukan negara miskin, kita negara berkembang dan punya potensi yang bagus. Tidak ada toleransi, ini untuk kepentingan nasional,” ujarnya. (Jawa Pos/JPG)