eQuator.co.id – PONTIANAK-KUBU RAYA-RK. Tindakan bully (penindasan atau perundungan) yang dilakukan siswi SMA terhadap AU, pelajar salah satu SMP di Kota Pontianak, jangan sampai menginspirasi dan terulang dikemudian hari. Sanksi terhadap pelaku harus mengedukasi, sehingga menimbulkan efek jera.
Kasus penganiayaan yang menimpa AU menarik perhatian dari berbagai pihak. Tak terkecuali Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi. Sekira pukul 13.32 WIB, pria yang akrab disapa Kak Seto ini tiba di Mapolresta Pontianak.
Kedatanganya tidak lain guna mengetahui lebih jelas perkara penganiayaan yang melibatkan pelajar SMP dan SMA di kota ini. “Pertama kami ingin mendapat informasi yang paling gamblang terkait kasus yang cukup viral ini, beritanya simpang siur, sehingga kami dapatkan informasi yang jernih kompeten dan sudah dilengkapi dengan bukti-bukti,” ungkapnya, saat diwawancarai wartawan di Mapolresta Pontianak, Kamis (11/4) siang.
Kak Seto, sapaan akrabnya, mengajak seluruh komponen masyarakat menghadapi kasus ini dengan tenang. “Artinya kita dengarkan informasi yang paling otentik dari pihak Kepolisian Republik Indonesia, dalam hal Ini Polresta Pontianak, sehingga semuanya jelas,” ajaknya.
Dia berujar, Polresta Pontianak telah mendapatkan fakta berdasarkan keterangan, bukti, baik baik dari korban, pelaku, maupun saksi-saksi. “Kami dari LPAI yang bekerjasama dengan Lembaga Perlindungan Anak Kalimantan Barat memberikan apresiasi yang sangat tinggi, kepada Polresta Pontianak yang sudah bertindak profesional, yang sudah menggali fakta secara jernih, tetap tenang, tidak terbawa suara dari warganet, tapi mengumpulkan semua bukti-bukti secara jelas,” kata dia.
Terkait kasus tersebut, Kak Seto mengatakan, walaupun memang terjadi kekerasan terhadap anak, semua tentu akan ditegakkan sesuai dengan UU sistem peradilan pidana anak.
Pihaknya pun menyerahkan kasus ini sepenuhnya pada Polresta Pontianak, karena menurutnya, semua pasti mengacu pada UU Sistem Peradilan Pidana Anak. “Dimana kalo sanksi pidananya dibawah tujuh tahun, dan ini pelaku kekerasan terhadap anak sanksi pidananya maksimal tiga tahun enam bulan. Kalau sampai luka parah lima tahun penjara,” ungkapnya.
Sehingga untuk kasus AU yang dibawah tujuh tahun ini dimungkinkan adanya langkah diversi. Akan tetapi tidak menghapus kesalahan dari pelaku. Pelaku tetap salah dan tetap mendapatkan sanksi, tetapi mohon sanksinya adalah sanksi yang edukatif, bukan sekadar balas dendam dan lain sebagainya. “Jadi mendidik sehingga anak tidak akan lagi mengulangi lagi kesalahannya, dan tidak menjadi inspirasi kepada anak-anak dan remaja lain untuk seolah-olah membenarkan tindakan ini,” paparnya.
Dia mengatakan, lantaran pelaku dan korban adalah anak-anak, maka mereka memiliki hak-hak sebagai anak sesuai dengan UU perlindungan anak berhak mendapatkan perlindungan. Begitu pun dalam pemeriksaan petugas harus tetap mengacu dalam UU Perlindungan Anak. “Hak-haknya sebagai anak tetap dipenuhi, tetapi tetap ada suatu pemeriksaan maraton, tentu juga bekerja sama dengan anak, artinya kadang-kadang sampai tengah malam atau menjelang pagi,” paparnya.
Akan tetapi apabila itu berdasarkan persetujuan dari anak, agar pemeriksaan ini bisa berjalan lebih cepat, sehingga mereka bisa berkonsentrasi dengan pelajaran dan sekolahnya tentu di mungkinkan.” Artinya smua dilakukan demi kepentingan terbaik bagi anak,” terangnya.
Dia menyimpulkan, bahwa peristiwa demikian seperti peristiwa fenomena gunung es, sehingga harus menjadi bahan instrospeksi bagi dunia pendidikan di Indonesia, baik pendidikan didalam keluarga, para orangtua, maupun pendidikan di lembaga pendidikan formal sekolah untuk para guru dan sebagainya. “Jadi mohon anak-anak betul dihargai potensinya, bukan hanya mereka yang berprestasi akademik saja yang perlu diapresiasi, tapi juga yang pandai menggambar, pandai menari, menyanyi, main musik, mengarang, olahraga dan sebagainya, karena potensi anak saling berbeda,” terangnya.
Karena kalau tidak menyudutkan mereka, menjadi pelaku kekerasan. Bertindak agresif sebagai bagian dari pemberontakan jiwanya dan ini mejadi salah satu mengemuka dengan munculnya geng motor, bullying, aturan, seks bebas, LGBT dan sebagainya. “Itu saya rasa salah satu yang bisa dirangkum dari kasus ini,” ujarnya lagi.
Selain itu perlu juga kadang-kadang melakukan instropeksi, melakukan koreksi kalau ada undang-undangan yang harus direvisi, disempurnakan. “itu juga bisa belajar dari kasus ini,” ucapnya.
Dirinya menuturkan, berita yang viral itu membuat pelaku maupun korban sama-sama stres dan tentu ini tidak baik, untuk perkembangan jiwa anak. Dia mengimbau kepada para netizen, dan kepada kita semua untuk berpikir jernih, dalam menyikapi kasus ini. “Karena semua yang viral kadang juga perlu ada cek dan ricek kembali dan sebagainya, tetapi bukan hanya membuat para pelaku terguncang jiwanya, bahkan korban juga demikian,” ucapnya.
Apalagi kata dia, wajah dan nama mereka pun sudah terekspos. “Jadi mari kita sama-sama menjaga kepentingan terbaik anak Indonesia, termasuk yang sedang berada dalam situasi saat ini,” harapnya.
Kak Seto juga berkesempatan mendatangi RS Promedika, tempat AU dirawat, tapi dia tidak masuk ke ruangan dimana AU dirawat. Dia tampak melakukan pertemuan di salah satu ruangan bersama pihak RS. “Pada saatnya tentu saya ingin bertemu juga, tapi tentu hal ini tidak bisa dipaksakan, melihat situasi dan sekarang sementara saya juga ingin menemui para pelaku,” ujarnya usai keluar dari ruangan perawatan.
Kak Seto mengatakan, pihaknya memang mencoba mengumpulkan berbagai informasi. Dari berbagai pihak. Tapi pada intinya, dia mengajak mari semuanya berpikir jernih. Mohon jangan sampai berita ini liar kemana-mana, termasuk juga harapan kepada netizen untuk dapat meredam ini semuanya. “Karena dampaknya adalah justru membuat korban semakin menderita, karena tekanan yang paling dahsyat dirasakan korban justru tekanan psikologi,” pesan Kak Seto.
Hal tersebut, kata dia, dikarenakan merebaknya berita yang bersangkutan sampai kemana-mana. Tiba-tiba korban pun menjadi sangat terkenal, tetapi ada sesuatu hal yang membuatnya belum siap menghadapi itu semua. “Apakah itu sesuatu berupa pujian atau mungkin umpatan, makian dan sebagainya, ini berbahaya untuk perkembangan jiwa korban. Jadi, kami dari Lembaga Perlindungan Anak Indonesia memohon sangat kepada semua pihak untuk menjunjung tinggi hak anak, kedepanakan kepentingan terbaik bagi anak,” paparnya.
Dalam konteks itu, dia kembali mengajak jangan sampai memanfaatkan berita yang ada malah menjadi suatu yang kemudian justru menjadikan korban semakin menderita.
Terkait hasil visum yang sudah keluar, dan nyatanya hasil tersebut berbeda dari apa yang berkembang. Dia juga memohon kepada netizen untuk bijak menerima berbagai hasil yang sudah disampaikan oleh lembaga resmi. “Kami memberikan apresiasi kepada RS dan dokter, pihak kepolisian yang tetap mencoba mengusut kasus ini secara profesional dan objektif. Tapi sekali lagi, mohon jangan menjadi berita viral yang justru menjadi bola liar yang dampaknya sangat menyudutkan atau membawa korban menjadi semakin menderita,” imbuhnya.
Sedangkan untuk pelaku, menurutnya, mengacu saja pada undang – undang yang sudah ada, yaitu sistem peradilan pidana anak. Jadikan salah satu hal yang perlu mendapatkan perhatian, manakala hukum kekerasan terhadap anak, sanksi pidananya 3,6 tahun penjara. Manakala ini dibawah tujuh tahun, maka bisa dimungkinkan adanya diversi.
Dalam konteks ini, dia mengajak semua pihak menyerahkan sepenuhnya kepada pihak kepolisian, untuk melakukan yang terbaik, bahwa pelaku tidak bisa dibenarkan tindakannya. Dan bahwa pelaku juga harus mendapatkan sanksi, tentu kita dukung sepenuhnya. “Tetapi sanksi yang diberikan adalah sanksi yang edukatif yang membuat pelaku tidak akan mengulangi lagi perbuatan keliru. Dan akan memberikan inspirasi kepada masyarakat luas, remaja untuk tidak lagi melakukan kekerasan semacam demikian, dan tidak akan lahir lagi korban seperti AU,”ucapnya.
Salah satu yang dia mohonkan, kalau bisa masuk kedalam ruangan korban tidak ada handphone. Bahkan, korban juga harus dijauhkan dari handphone, sehingga tidak akan mudah terpapar dengan berita viral yang bisa saja menyudutkannya, membuatnya semakin bingung, terguncang jiwanya, dan itu akan sulit untuk penyembuhannya. “Mungkin gejala fisik tidak ada, tapi karena tekanan jiwa yang sangat berat, akhirnya membuat dia pusing, mual – mual, dan sebagainya. Ini yang mohon kita jaga bersama demi kepentingan korban,” jelasnya.
Beberapa hari terakhir, kasus yang mencuat ini pun menjadi simpati dari berbagai kalangan. Para selebgram dan youtuber pun tak ketinggalan. Bahkan Atta Halilintar dan Ria Ricis pun rela ke Kota Pontianak untuk melihat langsung dan memberi semangat kepada korban. Selain itu, artis seperti Ifan Seventeen dan Weni D’Academy juga tampak menjenguk korban.
Ia menilai, mungkin saja korban merasa senang karena dikunjungi. Tapi jangan sampai itu justru menjadi senjata makan tuan. Maksudnya, baik justru malah menyudutkan korban. “Mohon dengan hormat tidak menyebarkan wajah korban. Karena ini sebentar lagi akan selesai,” pesan dia.
Kendati pun keluarga korban mengizinkan, tapi Kak Seto memohon kepada keluarga, karena hal itu justru untuk melindungi korban sendiri. Dia mengakui sangat memahami jiwa anak-anak seusia korban. “Tapi ini adalah kondisi sementara, misalnya suatu saat menjadi terbalik, justru menyudutkan korban menjadi suatu yang akan di-bully beramai-ramai, itu akan kasihan sekali,” urai dia. “Mohon kepada keluarga korban, kita semua para pihak yang sayang kepada korban, yuk kita lindungi korban untuk tidak mengekspos identitas dan sebagainya, mari kita redam semuanya, berpikir dengan tenang dan jernih demi yang terbaik,” harap dia.
Tidak hanya itu, ramainya orang yang berkunjung untuk melihat dan memberikan semangat kepada korban di RS, dia mengira pihak RS sudah cukup tegas. “Bahwa disterilisasi dulu, mohon tidak semua bisa bertemu selain keluarga sendiri,” pungkasnya.
Sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy lebih dulu menjenguk AU di RS Promedika, Kamis pagi (11/4). Kasus yang dialami AU sudah viral, bahkan menjadi tranding topic. Muhadjir usai keluar dari ruangan tempat AU dirawat, meminta kepada semua pihak supaya menahan diri dan tidak ikut-ikutan membuat persoalan yang ada semakin melebar, bahkan menjadi hiperbolis. “Serahkanlah urusannya ke pihak yang berwajib, dalam hal ini kepolisian,” imbaunya.
Sebelum Muhadjir menjenguk korban, dia terlebih dahulu singgah ke Mapolresta Pontianak. Berbicara dengan Kapolresta Pontianak, Kombes Pol Muhammad Anwar Nasir. Menurut dia, semuanya sudah dilakukan sesuai aturan.
Saat disinggung terkait isu yang sudah berkembang dan mengenai kondisi korban. Muhadjir tak banyak bicara. Dia mengatakan, dirinya tidak memiliki kewenangan untuk menyampaikan. Kata dia, itu merupakan kewenangan dari pihak RS. Ketika ditanya kebijakan Kemendikbud dalam menangani kekerasan terhadap siswa. Muhadjir mengatakan bahwa sudah ada peraturan menteri. “Kan sudah ada peraturan menterinya,” ujar Muhadjir.
Lebih lanjut, Muhadjir menceritakan ketika dia bertemu AU di ruangan perawatan. AU sangat ceria. Bahkan, mereka sempat mengobrol menggunakan bahasa Inggris. “Ceria, ngobrol dengan saya pakai bahasa Inggris, anaknya pintar, cerdas dan terima kasih bilang ke saya pak Menteri orangnya baik,” jelasnya.
Namun agar kejadian seperti ini tak terulang lagi. Muhadjir berpesan kepada semuanya, agar bisa memanfaatkan dan menggunakan media. Khususnya media sosial dengan cara yang arif dan cerdas. “Kemudian juga di dalam berkelompok membangun peer group (peranan kelompok teman sebaya), tetapi juga teman sejawat, teman sepermainan juga harus digunakan, sebaiknya tidak untuk maksud-maksud yang tidak baik,” pesan dia.
Dia menjelaskan, peer group merupakan suatu hal yang niscaya di kalangan anak-anak remaja, terutama yang mengalami puberitas. “Karena itu, tidak apa-apa tapi digunakan pada tujuan positif,” imbuhnya.
Selain itu, Muhadjir juga meminta orangtua dan guru berperan penting, selalu memantau kelompok siswa peer group di masing – masing sekolahnya. Lanjut dia, orangtua harus benar-benar memantau, diarahkan jangan sampai digunakan untuk maksud-maksud menyimpang.
Muhadjir menegaskan, orangtua yang memberikan kebebasan anaknya menggunakan gadget, HP atau yang lain. Sebaiknya sering melakukan pemeriksaan, apa isi yang ada di dalam gaget mereka. Termasuk, siapa teman berkomunikasinya, apa konten dan apa saja topik yang dibicarakan. Sehingga bisa dicegah kejadian seperti ini. “Sekali lagi saya ingatkan, jangan sekali – kali mempercayakan kepada anak dalam pemanfaatan gadget,” pungkasnya.
Terpisah, Bupati Kubu Raya, Muda Mahendrawan mengatakan, intinya hal tersebut merupakan potret dan menjadikan repleksi bagi semua orang tua dan siapapun. “Kita harus hati-hati, jangan terlalu berkelindan dengan aiti dan digital. Kita harus imbangi dengan aktivitas-aktivitas yang positif, supaya jangan sampai ada muncul hal-hal yang mungkin imajinasinya salah, sehingga mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan,” katanya, Kamis(11/4).
Muda menambakan, teknologi informasi (TI) sangat penting dan butuh dalam sehari-hari, tetapi jangan disalah gunakan. Sehingga tidak menjadi contoh yang kurang baik, serta menjadi ego yang ganas. “Tapi kita harus lebih bijak, terutama orangtua, guru dan semua anak-anak muda, harus punya kendali keseimbangan. Salah satunya adalah, tetaplah berinteraksi dengan alam, supaya ada kepekaan,”katanya.
Sementara Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3KB) Kabupaten Kubu Raya, Titus Nurisman meminta dengan para pelajar, agar membuat kegiatan-kegiatan yang positif, terutama tidak main hakim sendiri, kekerasan atau pengeroyokan. “Kegiatan yang lain lebih banyak, terutama bermanfaat untuk masyarakat yang diri sendiri,”ungkapnya.
Dia menambahkan, tentunya pelajar itu, tugasnya untuk menuntut ilmu, bukan melakukan kegiatan yang negatif. “Bukan melakukan pengeroyokan. Kalau melakukan yang positif, pastinya akan bermanfaat bagi orang banyak,”ucapnya.
Titus juga meminta dengan tenaga pendidik, agar peduli terhadap siswa/siswinya, sehingga tidak sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. “Terutama pada jam sekian, guru harus tau aktivitas disekolah. Kalau misalnya tak masuk, siswa itu kemana. Kalau usah pulang, betul-betu diarahkan pulang kerumah. Bukan singgah-singgah lagi,”pintanya.
Dia menyatakan, menanam kepedulian itu yang sangat penting dan harus dilakukan. “Bukan hanya memberikan pelajaran,” katanya.
Bagi orang tua, Titus juga meminta, agar orang tua peduli dengan anaknya, terutama mengetahui aktivitas baik disekolah maupun di luar sekolah. “Terutama saat pergi sekolah mengetahui anaknya benar-benar masuk sekolah, begitu juga sebaliknya pulang atau les sekalipun. Orangtua dan guru atau tempat yang dikunjunginya harus ada komunikasi,” katanya.
Disinggung apakah ada kasus yang sama di Kubu Raya, dengan tegas Titus menyatakan, hingga saat ini di Kubu Raya tidak ada kasus serupa. “Mudah-mudahan tidak adalah kasus seperti itu. Saya serem mendengarnya sampai seperti itu. Intinya saling koordinasi,”katanya
Laporan: Andi Ridwansyah, Maulidi Murni, Syamsul Arifin
Editor: Yuni Kurniyanto