eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Keterbatasan tenaga terapis di UPT Autis Center Kota Pontianak, Jalan Tabrani Ahmad, Kelurahan Pal V, Kecamatan Pontianak Barat. Tidak sebanding dengan tingginya minat Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Sebanyak 80 anak terpaksa masuk daftar tunggu hingga tahun 2020
“Sejak November 2014 hingga sekarang, Autis Center sudah menangani 316 ABK,” ungkap Kepala UPT Autis Center, Ismi Ardhini, usai Talkshow Memperingati Hari Autis Sedunia 2019 di Aula Rumah Dinas Wakil Wali Kota Pontianak, Selasa (9/4).
Dia menyebutkan, di Autis Center waktu penanganan yang diberikan bagi setiap ABK selama delapan bulan. Meliputi sebulan untuk asessment observasi, enam bulan terapi terpadu dan satu bulan untuk maintenance, sebelum anak menyelesaikan masa terapi terpadu yang dilakukan orang tua/pengasuh anak untuk persiapan at home. “316 anak yang ditangani sudah keluar sejak November 2014,” sebut dia
Di Autis Center, tidak dipungut biaya alias gratis dari awal sampai akhir penanganan. Bahkan pelayanan yang diberikan tidak hanya terapi, tapi konsultasi dengan psikolog dan dokter, kerjasama dengan rumah sakit, konsultasi gizi dan edukasi. “Satu anak tidak mendapatkan satu terapi saja, tapi dapat terapi wicara perilaku, fisioterapi perilaku, jadi dapat semua,” ujarnya.
Setiap tenaga terapi harus memiliki pendidikan dan keahlian khusus dalam menangani ABK. Sementara tenaga terapi di tempat itu masih kurang, karena perbandingannya satu anak satu terapi. Jadi selama lima jam bekerja, mereka harus berhadapan dengan anak. Dimana satu terapis setiap jam berganti dalam sehari. Masing-masing terapis menangani lima anak. “Diberikan dalam waktu seminggu. Setiap minggu lima jam terapi. Perbandingannya sudah tidak sinkron. Jadi misalnya, sekarang anak yang terdaftar ada 24 anak, guru yang ada sembilan. Makanya kita perlu banyak terapis,” tuturnya.
Kendati demikian, di Autis Center sebenarnya latar belakang pendidikan terapisnya sudah memenuhi syarat, karena sudah ada sarjana psikologi, fisioterapi, terapi wicara, terapi okupasi dan sarjana pendidikan. Tapi yang paling utama, mereka harus peduli, sabar dan tegas kepada anak. “Tahun ini kita mendapatkan CPNS tiga orang, yakni terapi wicara, okupasi dan fisioterapi. Kedepan, kita masih minta kepada Pemerintah Kota supaya ada tambahan tenaga, agar ABK yang mendaftar bisa diakomodir. Karena sampai tahun 2020 sudah mendekati 80 anak yang sudah masuk daftar tunggu,” ungkapnya.
Tindak lanjutnya, ketika ABK sudah selesai menjalani penanganan. Diharapkan sekolah-sekolah, terutama TK dan PAUD yang ada di Kota Pontianak dapat menerima anak-anak berkebutuhan khusus. “Kami sudah turun bebepa kali. Tiga tahun terakhir, kami sudah menyelenggarakan pelatihan untuk guru TK dan PAUD. Assessment awal kepada mereka,” ujarnya.
Pelatihan tersebut ditindaklanjuti dengan monitoring dan evaluasi. Tim dari Autis Center langsung datang ke sekolah, bertemu guru yang menangani ABK. “Jadi sharing–sharing penanganan, studi kasus langsung dipecahkan disitu,” paparnya.
Sementara itu, Plt Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Pontianak, Syahdan Lazis mengungkapkan, ABK di Kota Pontianak sangat banyak. Daftar tunggunya sudah mencapai 100 lebih. “Karena memang banyak sekali anak kita yang berkebutuhan khusus,” sebut dia.
Sekarang ada sekitar 75 orang yang diterapi. Kapasitas (daya tamping) Autis Center sekitar 75 orang dengan enam tenaga. Lamanya penanganan ABK selama delapan bulan, sudah sesuai ketentuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. “Bahkan tenaga terapi sampai menambah waktu kerja. Insya Allah, kedepan jika kita lihat banyaknya daftar tunggu, akan kita tambah tenaga baru,” pungkasnya.
Sedangkan Wali Kota Pontianak, Edi Rusdi Kamtono menyebutkan, fasilitas yang ada di Autis Center tergolong lengkap. Selain ruang untuk kelas, juga ada alat peraga. “Tujuannya membangun respon anak,” jelasnya.
Seiring berjalannya waktu, anak yang ingin masuk ke Autis Center semakin bertambah. Saat ini, kata Edi, Pemkot sedang mengusahakan pembangunan Autis Center di Kecamatan Pontianak Utara.
Sedangkan untuk sekolah inklusi, saat ini sudah diminta kepada sekolah, harapannya agar bisa menampung anak dengan kebutuhan khusus. “Dimasing-masing kecamatan diharapankan ada satu sekolah yang bisa menerima anak berkebutuhan khusus,” imbuhnya.
Lanjutnya, saat ini sudah ada rujukan sekolah inklusi, para guru juga sudah dilatih, karena mereka harus mendapatkan pengetahuan khusus untuk menghadapi ABK.
Talkshow juga menghadirkan konsultan perkembangan anak, Waskito Budi Adi Ari Bawa. Dia menjelaskan, penyebab autis secara pasti sampai saat ini masih belum ada. “Namun sejauh ini yang telah disebutkan oleh para ahli, anak yang tinggal di daerah polusi tinggi, genetik, stres pada masa kehamilan, kemudian virus yang ada pada kulit binatang berbulu yang tidak divaksin, itu yang menjadi penyebab utama,” ujarnya.
Kata dia, seorang anak bisa didiagnosa autis pada usia dua tahun. Ada juga anak yang menunjukkan ciri-ciri autis pada masa perkembangan dibawah satu tahun, tapi ada juga anak yang melewati masa normal saja, lalu menjelang dua tahun apa yang sudah dikuasainya berkurang, kemudian hilang. “Disitulah para ahli harus bisa mendiagnosa, apakah seorang anak dikatakan autis atau bukan,” kata dia.
Penanganannya lebih ditekankan pada individu anak melalui program terapi. Tapi selain kepada anak juga, pemaham juga harus dilakukan kepada orangtua agar bisa menanganinya. Dia menambahkan, autis itu bukan seperti penyakit yang bila diberikan obat, akan langsung sembuh. Namun, kelainan neurologis yang dibawa anak sejak dalam kandungan. “Ini akan melekat pada anak sepanjang hidupnya,” jelasnya.
Dari itulah tugas para terapis dan psikolog, hanya menekan kemungkinan yang nantinya akan muncul, terutama bagi penyandang autis. Tapi ciri khasnya sampai usia berapapun tetap tampak. Terutama di kontak mata.
Lanjut dia, dari 100 kelahiran selalu dijumpai empat penyandang autis. Bahkan, sekarang trendnya sampai 10 penyandang autis dari setiap 100 kelahiran anak. “Di dalam kandungan tidak bisa terdeksi, apakah autis atau bukan setelah dua tahun baru bisa didiagnosa,” ujarnya.
Makanan tidak mempengaruhi anak menjadi autis. Dimana ada yang mengatakan, makanan seafood yang dikonsumsi menjadi penyebab anak autis. Namun, dijelaskan dia, hal itu juga belum tentu benar menurutnya itu tergantung dari habitat seafood itu sendiri. “Jika seafood tinggal di lautan yang tercemar, maka itu yang berbahaya jika di konsumsi ibu hamil,” ungkap dia.
Terapi untuk anak autis harus dilakukan sedini mungkin. Yaitu apabila diketahui autis melalui diagnose, seyogyanya harus dilakukan terapi. Penanganan dibawah usia lima tahun akan lebih bagus ketimbang menangani anak diatas enam tahun keatas. “Jika seorang penyandang autis ditangani sejak dini, maka akan lebih mudah membentuk perilaku. Karena penyandang autis semua kategori perkembangannya terkena,” imbuhnya.
Autis pun ada beberapa kategori yaitu dimulai dari ringan, sedang maupun berat. Sekarang ini autis trendnya naik, jadi yang perlu dilakukan pemerintah kata dia adalah penanganan anak yang nantinya seperti apa. “Setiap warga negara berhak mendapatkan layanan sesuai dengan kebutuhannya. Pontianak sebagai kota inklusi, karena hal itu akan lebih mudah untuk menangani anak penyandang autis. Stakeholder terkait juga harus bekerjasama dan tidak hanya melalui satu sektor saja,” pungkasnya.
Laporan: Maulidi Murni
Editor: Yuni Kurniyanto