eQuator.co.id – JAKARTA-RK. Polri telah menangkap dua penyebar hoaks server Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sayangnya, pengunggah pertama serta pembuat hoaks tersebut belum juga tertangkap. Hubungan antara dua tersangka yang ditangkap belum terungkap.
Hoaks server KPU itu cukup mengkhawatirkan. Pasalnya, hoaks tersebut menuduh KPU telah mengatur server yang berada di Singapura untuk memenangkan salah satu calon presiden. Hoaks tersebut membuat KPU berang dan melaporkannya ke Bareskrim, Kamis lalu (4/4).
Karopenmas Divhumas Polri Brigjen Dedi Prasetyo menjelaskan, hanya dalam waktu sekitar empat hari dua penyebar hoaks server KPU telah tertangkap, yakni EW dan RD. Untuk EW ditangkap di Ciracas Jakarta Timur dan RD ditangkap di Lampung. ”Keduanya pengunggah hoaks tersebut,” ujarnya.
Dari pemeriksaan awal, diketahui data hoaks itu didapatkan keduanya dari sebuah akun Instagram. Tanpa proses cek dan ricek, keduanya mengunggah hoaks berupa video dengan dibumbui caption yang provokatif. ”Itu peran mereka,” tuturnya.
Bagaimana dengan pembuat dan penyebar pertama? Dedi menuturkan, yang pertama mengunggah hoaks tersebut merupakan seorang admin akun sebuah halaman Instagram. Setelah menyebar hoaks, akun tersebut langsung tidak aktif. ”Disuspend,” jelasnya.
Walau begitu, Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipid Siber) Bareskrim telah mengantongi identitasnya. Saat ini dilakukan pengejaran terhadap penyebar pertama tersebut. ”Yang masuk daftar pencarian orang (DPO) untuk kasus ini ada dua ya,” terangnya.
Selain pengunggah pertama, DPO lainnya merupakan sosok yang berada di dalam video hoaks tersebut. Sosok tersebut yang mengaku sebagai mantan staf serta menyebut server telah disetting untuk memenangkan salah satu calon. ”Kalau ada perkembangan segera diumumkan,” paparnya.
Sementara Kasubdit I Dittipid Siber Bareksrim Kombespol Dani Kustoni menjelaskan, kedua tersangka yang ditangkap mengaku tidak saling mengenal. Namun, penyidik tidak berhenti disana. ”Kami dalami lagi korelasinya,” paparnya.
Untuk motif dari penyebaran hoaks tersebut, dia menjelaskan bahwa pemeriksaan awal menyebut hanya mengunggah tanpa mengklarifikasi. Belum ada motif ekonomi dalam penyebaran hoaks tersebut. ”Masih dalami soal apakah dibayar untuk mengunggah dan memyiralkan hoaks ini,” jelasnya.
Dikonfirmasi secara terpisah, Senin (8/4), Ketua KPU Arief Budiman mengaku sudah diberi tahu pihak Bareskrim. Mereka sudah menindaklanjuti laporan yang mereka masukan pada Kamis (4/4) malam lalu. Bahwa ada beberapa tersangka yang ditetapkan terkait kasus tersebut. “Benar kami sudah diinformasikan, makanya siang ini (kemarin, Red) kami mau ke Bareskrim untuk mengonfirmasi,” ucapnya.
Arief menjelaskan, penyebaran berita bohong tersebut sangat merugikan pihaknya. Ini membuat masyarakat tidak lagi percaya kepada penyelenggara pemilu. Karena dianggap akan memenangkan salah satu paslon. Bahkan sebelum penghitungan suara dilakukan. “Sistem KPU itu tidak memungkinkan untuk melakukan kecurangan,” tegasnya.
Sebab, semua proses dilakukan secara manual. Arief juga menjelaskan, semua perhitungan dilakukan secara terbuka. Mulai dari pemungutan dan penghitungan suara di tingkat TPS. Hingga menuju ke muara, di level nasional. Semua pihak bisa hadir, untuk melakukan pengamatan secara langsung. Tidak hanya dari petugas TPS, anggota KPU, atau pun penyelenggara pemilu lainnya. Penghitungan suara terbuka untuk umum. “Teknologi digunakan hanya untuk menyebarkan info dengan cepat. Dengan begitu KPU bisa mengontrol jajarannya di daerah, begitu juga masyarakat untuk mengontrol tugas KPU,” beber pria asli Surabaya tersebut. (Jawapos/JPG)