Motorway Murah

Oleh: Dahlan Iskan

Dahlan Iskan

eQuator.co.id – Saya pilih lewat jalan tol. Yang di Pakistan disebut Motorway. Dari Lahore ke Islamabad. Sejauh 370 km. Ke arah utara.

Baru tahu: di Pakistan tiket jalan tolnya murah sekali. Dibanding tol menuju kampung saya di Magetan. Lahore-Islamabad ini hanya 680 rupee. Atau sekitar Rp 70 ribu.

Bandingkan Surabaya-Madiun yang hanya 170 km. Tidak sampai separonya. Tarifnya Rp 150.000. Dua kali lipatnya.

Besoknya saya lewat tol yang lain lagi. Dari Islamabad ke Balakot. Baru selesai setengahnya. Harus exit di ujung jalan yang masih dikerjakan. Masuk ke jalan lama. Sebelum kota Abbottabad.

Tapi saya syukuri saja. Sekalian melihat kota yang begitu banyak sekolahnya. Termasuk pusat sekolah militer. Yang di sebuah rumah di belakang akademi militer itulah Osama Bin Laden disergap. Menjelang subuh 2 Mei 2011. Oleh tentara khusus AS yang naik dua helikopter Black Hawk. Yang terbang selama 1,5 jam dari Afganistan. Mendarat di halaman rumah itu.

Kota Abbottabad ternyata besar sekali. Juga sangat padat. Dengan rumah miskin. Sampai ke lereng-lereng gunungnya.

Melihat padatnya lereng gunung itu saya teringat kota Madellin. Saat saya ke  Colombia. Mirip sekali.

Melintasi kota Abbottabad ini kendaraan hanya bisa merayap. Di jalan aspal yang berdebu. Truk, bus, angkot, sepeda motor berebut celah.

Penat sekali. Dari ujung kota ini memerlukan waktu satu jam sendiri. Untuk ke ujung kota lainnya.

Saya membayangkan lagi lewat di Pamulang. Di Jakarta selatan. Atau sekitar bandara Pondok Cabe. Ruwet sekali.

Lebih sumpek lagi karena saya kepikiran disway. Hari itu saya belum menulis DisWay untuk besok paginya. Mobil ini terlalu bergoncang untuk menulis. Banyak lubang di jalan. Atau polisi tidur.

Selepas Abbottabad mungkin baru bisa menulis. Ternyata tidak. Jalannya penuh tikungan. Di sela-sela tebing gunung yang tinggi. Jalannya juga tidak mulus.

Inilah jalur utama menuju Kashmir. Melewati jalan bercabang di pertigaan setelah Abottabad.

Tapi saya ikuti jalan yang lurus. Menuju Balakot. Yang kalau diteruskan sampai perbatasan dengan Xinjiang, Tiongkok. Tinggal 50 km lagi dari Balakot.

Saya tidak sampai perbatasan itu. Berhenti di Balakot. Daerah yang 13 tahun lalu hancur total oleh gempa bumi. Yang penduduknya tinggal di lereng-lereng gunung berbatu. Yang puncaknya masih bersalju. Pun sampai akhir Maret ini. Di balik gunung itulah wilayah Kashmir. Yang lagi panas. Dua pesawat India ditembak jatuh.

Pesawat itu lagi mengincar satu kampung di daerah ini. Yang dianggap pusatnya ekstrimis – – atau pejuang gigih– Kashmir.

Wilayah ini termasuk kaki pegunungan Himalaya. Karena itu puncak-puncaknya masih bersalju.

Penduduk setempat juga tinggal di sepanjang lembahnya. Yang di situ  mengalir sungai berbatu. Indah sekali. Salju di atas. Air jernih mengalir di bawah. Dengan udara sejuk 17 derajat.

Saya minta sopir untuk berhenti. Tidak ada restoran bagus. Tidak ada hotel bagus. Hotel-hotel hancur saat gempa. Yang sudah kembali  dibangun pun baru hotel dan restoran kelas darurat.

Saya mampir di situ. Duduk di kursi santai. Di pinggir sungai berbatu. Menghadap ke puncak bersalju. Di situlah saya menulis DisWay edisi kemarin.

Tapi saya tidak punya internet. Ufone saya tetap tidak berfungsi. Bagaimana harus kirim naskahnya?

Teman-teman Pakistan sayalah yang menolong. Memberikan akses personal hotspot.

Tahun depan daerah ini sudah tidak sulit lagi ditempuh. Tiongkok lagi membangun Motorway sepanjang 900 km. Tidak perlu terlalu berkelok. Gunung-gunung itu di tembus dengan terowongan.

Saya hanya 1 jam di Balakot. Setelah berbincang dengan mereka saya putuskan tidak bermalam di situ. Senja itu juga menuju Peshawar. Empat jam perjalanan lagi.

Kota Peshawar adalah  perbatasan Pakistan dengan Afganistan. Kebetulan sopir saya ini asli Peshawar. Bahkan sukunya Pastun. Yang menjadi suku mayoritas di Afganistan. “80 persen penduduk Peshawar suku Pastun,” katanya.

Ternyata juga sudah ada jalan tol sampai Peshawar. Itu pun sudah jam 11.00 malam. Baru tiba.

Saya lagi-lagi dibawa ke penjara. Yang tembok kusamnya tinggi. Yang di atas temboknya bergulung-gulung kawat berduri. Yang di pojok atas tembok itu ada pos jaganya. Dengan tentara bersenjata.

Pun mobil kami tidak boleh masuk. Harus parkir di luar tembok. Di pinggir jalan raya. Tas harus digeledek ke pintu gerbang. Diperiksa dua kali. Oleh barisan tentara bersenjata laras panjang.

Itulah hotel bintang lima di Peshawar. Yang di balik pintu gerbang itu ada pos jaga lagi. Dengan lubang kecil di dindingnya. Dari lubang itu muncul ujung senjata. Milik sniper yang berjaga di dalamnya.

Untuk ke loby saya melewati taman kecil. Dengan beberapa pohon agak tinggi. Di balik pohon itu ternyata juga ada tentara bersenjata.

Tapi saya tidak merasa lelah. Juga tidak merasa tertekan. Tertutup oleh banyaknya tantangan di perjalanan panjang. Juga oleh kenyataan kota Peshawar sudah bisa mulai berbenah.

Di beberapa sudut kota jalannya dilapisi aspal baru. Di sekeliling kota juga sedang dibangun jalur busway. Berupa jalan layang.

Sisa-sisa kesedihan perang memang masih terlihat. Tapi optimisme mulai muncul. Sedikit. Perang panjangnya memang terjadi di Afganistan. Tapi dampak babak belurnya memang telah menimpa sampai ke Peshawar.

Afganistan yang makan pulut. Pakistan yang tertimpa kulit nangkanya. (Dahlan Iskan)