Baliho

Catatan Djunaini KS

eQuator.co.id – Tengoklah di perempatan atau tikungan jalan. Di pinggirnya begitu banyak baliho.

Tersenyum saling liat sesama di bawah pohon di tepi paret. Di sebelah masjid pun baliho tak malu-malu ejeng. Saking banyaknye, baliho bergambar para calon legislator (Caleg) di seantero Kota Pontianak, Kabupaten, se  Kalbar, susah membacanya. Lihat wajah Caleg dengan jelas pun payah. Dan riskan, bahaya malah, salah  tengok pantat motor atau mobil bisa ditabrak. Akibatnya bisa dilabrak.

Maksud para Caleg memasang baliho itu jelas. Ingin dikenal, disukai, lalu dicoblos pada Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019. Kepingin didukung dan dipilih warga yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), sekaligus bersama partainya dan, Capres-Cawapresnya. Walaupun itu bukan paket. Sehingga Caleg tak merasa wajib memasang foto Capres-Cawapresnya. Itupun tak banyak membantu. Capres tak banyak memberikan elektabilitas bagi Caleg. Pasang atau tidak, baliho yang kemarin sudah banyak yang kusam, bahkan koyak rabit, tetap tersenyum. Satu dua saja yang garang ngepalkan dan ngacungkan tinju.

Banyak yang mengeluh juga kalau Pileg 2019 ini ribet. Gaung Pilpres 100 persen lebih gegap gempita sehingga sempat menimbulkan konflik hujat menghujat bahkan caci maki antarpendukung di media sosial. Tak kurang pula yang dijebloskan ke penjara lantaran slip of the tongue.

Sementara Caleg yang bakal berperan penting di DPRD Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pusat, hanya beberapa persen saja bagiannya untuk tampil di publik memperkenalkan diri dan programnya (kalau ada).

Entahlah apa itu sudah disiapkan atau cuma basa-basi. Mereka musti door to door atau malah face to face, dengan calon konstituennya. Sambil menyelipkan kartu nama. Sangat tidak efektif. Sama tak efektifnya dengan pajang baliho. Nasib sial, yang memakunya di pohon, ditarekkan Sat Pol PP.

Apalagi terlihat kini banyak Caleg yang tak mau memajang fotonya bersama Capres-Cawapres junjungan.

Untunglah partai pendukung tak mensyaratkannya atau memaksanya pasang foto keduanya. Tapi, Caleg partai pendukung Prabowo-Sandi tak enggan memajang foto Paslon 02 ini besar-besar. Mereka begitu bangganya dan terlihat jelas ingin mengungkapkan loyalitas pada junjungan.

Terlepas apa itu strategi (pasang foto Paslon di baliho Caleg), Pileg 2019 ini gregetnya tak menggigit. Kita sulit mengenal profil Caleg, rekam jejaknya, terutama track record, dengan jelas. Baik itu pendatang baru maupun petahana. Padahal rakyat sudah lama ingin pembaharuan semangat berpolitik para wakil rakyat mendatang. Apalagi secara nasional, Kalbar tak menasional tapi juga kurang mendaerah.

Para calon pemilih pun bakal kerepotan buka kertas suara yang penuh dengan foto dan nama, dan logo partai. Semoga para pemilih nanti tidak melewatkannya begitu saja. Karena malas meninting foto dan nama satu persatu. Jadi, para Caleg musti kerja keras, jauh lebih keras dari menancapkan baliho.

Untuk memperkenalkan diri. Mungkin dengan menuliskan pikirannya di media apa saja yang legal. Menyapa calon konstituennya, sodorkan programnya, menjanjikan perjuangannya membela rakyat.

Pokoknya, Caleg dari masa ke masa berbiaya tinggi. Menjadi sangat tinggi di Pileg 2019. Yang murah itu cuma baliho. Secara keseluruhan biaya politik di Indonesia sangat tinggi dibandingkan dengan jiran atau negara maju lainnya. Karena politik transaksional, politik negosiasi, masih mendominasi.

Karena itu Caleg yang benar-benar serius jadi politikus harus berdengus-dengus nafasnya berjuang untuk dikenal dan dipilih. Tak hanya sekadar mengandalkan baliho. Harus memperkenalkan diri dan program politiknya, partainya, di media-media terutama mainstream online.

Terlebih, kondisi politik terkini sudah menampilkan diri hitam putih.

Bagaimanapun, kita butuh Caleg-Caleg yang bisa kerja sehingga jadi Legislator handal. Saatnya  memperkenalkan diri secara benar. Zaman ke depan akan berganti lebih lugas menyongsong perubahan.(*)