eQuator.co.id – Saya baru selesai memasang coffee grinder ketika penyanyi kondang Maher Zein itu masuk ke transit room. Pria bule yang terkenal dengan lagu ‘Insya Allah’ itu bersama rombongannya tiba tepat waktu: Pukul 18:30. Berselisih beberapa menit dengan saya.
“Ada kopi untuk Maher Zein?’’ tanya pria bercambang lebat berjas hitam dengan baju biru muda. Dari parasnya yang Eropa dan seragamnya, saya tahu: ia anggota rombongan Maher Zein.
‘’Tunggu dua menit,’’ jawab saya.
‘’OK,’’ sahutnya sambil tersenyum dan mengacungkan ibu jarinya.
Senin petang (19/3), saya seperti ketiban durian runtuh. Mendapat kepercayaan dari Lazismu, yang mendatangkan Maher Zein, untuk menyeduhkan kopi untuk Maher dan rombongannya serta tamu-tamu undangan khusus.
Mungkin teman-teman Lazismu terlanjur percaya pada gelar saya sebagai ‘Barista Senior Bank Indonesia’. Yang saya peroleh saat menjadi barista di stand Bank Sentral itu pada acara Indonesia Sharia Economic Festival, di Surabaya, November 2018 lalu.
Saat itu, saya memperkenalkan teknik menyeduh kopi yang unik. Kopi diseduh dengan kukusan mini dari bambu karya warga dusun Ciburial, Kabupaten Bandung Barat.
Teknik itu pula yang saya gunakan untuk Maher. Menjelang manggung dalam acara malam amal yang digagas PP Muhammadiyah, Lazismu dan MDMC, Rabu malam (19/3). Acara ini untuk mengumpulkan dana bantuan bagi korban bencana di Indonesia.
Kopi dipilih yang paling jos: Gayo Arabica Sipirok bermerek PDM. Yang ditanam di gunung Pandoloan. Di sela-sela hutan tanaman kemenyan. Kopi Pandoloan adalah kopi paling enak produksi Pesantren Darul Mursyid di SD Hole, Sipirok, Tapanuli Selatan.
Agar menimbulkan citarasa yang lebih mantap, kopi itu saya blend dengan kopi luwak liar. Yang juga berasal dari pegunungan Pandoloan.
Dua menit kemudian dua gelas besar kopi seduh tradisional itu sudah tersaji di meja Maher. Aromanya yang harum segera memenuhi seluruh ruangan.
Doktor Abdul Mu’tie, sekretaris PP Muhammadiyah menjelaskan dengan fasih proses pembuatan kopi luwak itu. Maher dan rombongannya terheran-heran. Berkali-kali ia bertanya, benarkah segelas kopi luwak yang dipegangnya itu diproses dari faeses binatang luwak?
‘’Ini kopi terbaik dan termahal di dunia. Di Frankfurt, Jerman, harganya Rp 8 juta per kilogram. Cobalah,’’ kata saya.
Maher tambah terheran-heran. Berkali-kali ia menggeleng-gelengkan kepala. Sambil terkekeh-kekeh.
Dengan agak ragu-ragu, akhirnya Maher meminum kopi itu. Slurrrrp…. ‘’Wow… ini kopinya enak sekali,’’ komentarnya.
Sepertinya Maher suka ngopi. Terbukti tidak butuh waktu lama untuk menghabiskan segelas kopi itu. Padahal, komposisinya dibuat cukup keras. Biar nampol.
Begitu gelas pertama habis, Jos Gandos, barista sungguhan yang bertugas bersama saya sudah datang dengan segelas besar kopi luwak murni. ‘’Coba yang ini. Rasakan bedanya,’’ kata Jos.
‘’Yang ini lebih nendang,’’ kata Maher. Tentu saja dalam bahasa Inggris. Saya hanya menerjemahkan dengan mengira-ngira saja.
Maher sebenarnya masih ingin menikmati kopi gelas kedua. Tetapi waktu makan malam sudah tiba. Terpaksa ia buru-buru menghabiskan. Tandas. (jto)