Kalbar Rentan Terjadi Human Trafficking

H Subhan Nur

eQuator.co.id – Pontianak-RK. Perdagangan orang atau human trafficking kian menjadi persoalan serius. Apalagi belum lama ini banyak pekerja asal Kalbar terpaksa dideportasi dari negeri jiran, lantaran persoalan yang kompleks.
“Dengan kasus yang muncul artinya harus ada upaya yang dilakukan terhadap pengawasannya,” ujar Ketua Komisi I DPRD Provinsi Kalbar, H Subhan Nur, Jumat (15/3).
Legislator Partai Nasdem ini menjelaskan, Kabupaten Sambas memiliki daerah perbatasan dengan negara jiran Malaysia, sehingga dirinya paham betul bagaimana pola masyarakat masuk ke negara tetangga untuk mencari pekerjaan. Bahkan tak jarang mereka yang masuk ke Malaysia tidak dilengkapi dengan persyaratan yang menjadi keharusan atau secara legal dengan berbagai alasan.
“Pertama tidak terlepas dari kondisi ekonomi serta pendidikan masyarakat yang kurang, sehingga mereka lebih memilih bekerja ke Malaysia,” ungkapnya.
Kondisi ini, sambung H Subhan, dimanfaatkan oknum yang tidak bertanggungjawab untuk membawa mereka ke tujuan. Sekalipun tidak memberikan jaminan hukum yang kuat dengan berkas yang lengkap, namun masyarakat masih tetap ingin pergi merantau ke negeri jiran Malaysia. “Oleh sebab itu pemerintah daerah yang harus sosialisasi,” tuturnya.
Yang menjadi pertanyaan besar adalah kenapa persoalan ini masih bisa terjadi atau dengan kata lain tetap bisa lolos. Padahal di pintu perbatasan ada pengawasan yang melibatkan banyak pihak. “Karena ini tidak terlepas dari sindikat dengan orang dalam,” cetusnya.
Tak hanya itu, wakil rakyat asal Dapil Kabupaten Sambas ini berpendapat, dalam hal ini pemerintah daerah adalah Gubernur Kalbar yang semestinya membuat regulasi harus berpihak pada masyarakat. Dengan menyediakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya, sehingga masyarakat Kalbar tidak lagi bekerja ke daerah lain. “Pemerintah daerah harus melakukan program yang nyaman bagi masyarakat Kalbar,” harapnya.
Menurut pantauan H Subhan Nur, sejauh ini masyarakat lebih memilih ilegal dibandingkan legal, lantaran regulasi yang terkesan susah dan berbelit-belit. Belum lagi soal biaya yang dikeluarkan tidak sedikit, sehingga masyarakat lebih memilih jalur pintas sekalipun tahu dengan resiko yang harus mereka tanggung.
“Regulasi ini kan pusat sifatnya. Tapi mempermudah regulasi itu, sehingga tidak terjadi biaya tinggi, ribet dan lain sebagainya. Namun selektifitas tetap kita dukung,” imbuhnya. (agn)