eQuator.co.id – Pemilihan umum akan berlangsung beberapa pekan lagi. Hakim-hakim Mahkamah Konstitusi dipastikan segera sibuk setelah itu: Menyidangkan gugatan perkara pemilu dari seluruh Indonesia. Dari kantor satu-satunya di Jakarta. Bisakah teknologi memberi solusi?
Kalimat itu masih terus terngiang di telinga saya. Padahal sudah diucapkan 35 tahun lalu. Saat mengikuti kuliah Prof Dr Satjipto Rahardjo SH. ‘’Negara harus bisa menyelenggarakan praktik peradilan yang mudah, cepat dan murah,’’ kata guru besar ilmu hukum Universitas Diponegoro itu.
Mudah artinya gampang diakses masyarakat. Prosedurnya sederhana. Cepat berarti proses peradilannya tidak bertele-tele. Dari pendaftaran perkara hingga vonis. Persidangan yang tak kunjung selesai juga akan menimbulkan biaya tinggi. Bertentangan dengan prinsip biaya murah.
Kuliah Prof Tjip, begitu panggilannya, hanya berhanti di dalam pikiran saya selama bertahun-tahun hingga saya bertemu Prof Dr Jimly Assidiqi SH, Ketua Mahkamah Konstitusi periode pertama, tahun 2008. Dua sahabat saya, Zainul Muttaqien dan Arie, yang mempertemukan saya dengan Prof Jimly. Zainul dan Arie adalah konsultan komunikasi MK.
Dari diskusi selama dua jam siang itu, lahirlah MKTV, program siaran berita, talkshow dan siaran langsung sidang perkara yang hot di Mahkamah Konstitusi. Program itu ditayangkan di semua stasiun TV lokal di seluruh Indonesia. Selama 2,5 tahun saya memimpin produksi dan penyiaran MKTV, hingga tahun 2010.
Pada tahun ketiga MKTV, MK menyelesaikan pembangunan sistem peradilan jarak jauh. Sistem ini berbasis teknologi video conference yang sekarang popular dengan sebutan webinar itu. Di setiap provinsi dibangun satu ruang sidang online. Menempati satu ruangan di fakultas hukum universitas negeri setempat.
Dengan fasilitas sidang jarak jauh itu, pihak yang berperkara di daerah tidak perlu datang ke Jakarta. Cukup mendaftar kepada panitera lokal di ruang sidang online itu. Saat persidangan pun tidak perlu ke Jakarta. Cukup mengikuti dari ruang sidang online tersebut. Tanya jawab antara hakim dengan para pihak dilakukan melalui video conference.
Sejak beroperasinya fasilitas video conference, program siaran langsung sidang MK kian beragam dan seru. Dua perkara yang masih saya ingat sampai sekarang adalah gugatan Khofifah Indar Parawansa yang kalah dalam pilgub Jatim melawan Pak De Karwo dan gugatan terpidana mati Imam Samudera dalam kasus terorisme.
Sidang jarak jauh yang dibangun MK saat itu merupakan sebuah terobosan maju di bidang hukum. Khususnya di bidang peradilan atau hukum acara. MK menjadi sebagai lembaga peradilan pertama di dunia yang memiliki fasilitas sidang jarak jauh dengan teknologi video conference.
Mudah penggunaannya bagi masyarakat. Tetapi jangan ditanya betapa rumitnya pengelolaan video conference MK saat itu. Soalnya, jaringan internet saat itu belum sebaik sekarang. Untuk menghubungkan ruang sidang online di daerah dengan ruang sidang di gedung MK, terpaksa menggunakan jaringan satelit.
Setiap akan menyelenggarakan sidang jarak jauh, teknisi haru memastikan pemancar telah mengarah dengan tepat ke posisi satelit. Pekerjaan itu bisa memakan waktu berjam-jam lamanya.
Sekarang sudah mudah. Perusahaan penyedia jasa internet sudah ada di seluruh Indonesia. Tidak lagi bergantung pada Telkom. Jaringan internet berkecepatan tinggi juga bisa diperoleh dengan fitur tethering dari smartphone. Apalagi setelah Palapa Ring yang dibangun pada era pemerintahan SBY selesai dibangun pada pertengahan 2019 ini.
Meski sudah sangat mudah, saya belum mendengar informasi adanya lembaga peradilan lain yang mengembangkan sidang jarak jauh. Bahkan masih sering saya melihat tayangan TV, agenda sidang menghadirkan saksi ahli dari luar pulau.
Bisa jadi, saya yang kurang informasi. Bisa juga sebaliknya. Apa pun itu, sidang jarak jauh, adalah keniscayaan. Persoalannya hanya pada masalah waktu.(jto)