eQuator.co.id – Kami punya grup. Namanya: Hati Baru. Anggotanya mereka yang pernah transplantasi hati. Beserta istri atau suami. Ada juga anak mereka.
Sesekali kami kumpul. Makan-makan. Saling tukar informasi. Saya dianggap paling ‘senior’ di grup ini. Tapi hanya sesekali ikut nibrung. Kalau lagi ada pertanyaan penting: misalnya apa saja obat yang masih saya minum.
Minggu lalu seorang anggota mengingatkan. Sudah waktunya makan-makan lagi. Ia menawarkan tempat baru. Di Pluit Jakarta. Di resto Bear Hounds. Milik Vero. Mantan istri orang yang tidak mau disebut nama panggilan aslinya itu.
Lho Vero bisa masak?
Saya pun setuju. Kebetulan lagi di Jakarta. Menghadiri malam mengenang Pak Eka Tjipta Widjaja.
Lany, kepala suku Hati Baru yang atur. Ia sangat aktif. Dan enerjik.
Reni, bendahara suku, yang pesan tempat. Kebetulan Reni juga lagi di Jakarta. Reni ini orang Surabaya. Di kota saya Reni dikenal sebagai pengusaha lemah — lemahe akeh. Lemah dalam bahasa Jawa berarti tanah. Akeh itu artinya banyak sekali.
Lany dan Reni adalah pejuang untuk suami mereka. Yang menderita kanker hati. Yang bertahun-tahun merawat sang suami. Sampai menemani ke Tianjin. Untuk operasi ganti hati. Dengan biaya berapa pun. Asal suami mereka sehat kembali.
Keduanya senasib: suami mereka meninggal dunia. Justru tidak lama setelah transplantasi.
Kami semua minta kepada keduanya. Agar tetap menjadi pimpinan suku Hati Baru. Kami suka pada Lany dan Reni.
Saya datang paling awal di resto Vero. Bertanya di mana kursi yang dipesan Reni.Jawabnya: tidak ada.
Kami khawatir tidak dapat tempat. Restoran ini penuh dengan ibu-ibu seusia Vero.
Lalu ada yang kenal saya.
“Kalau pesanan atas nama pak Dahlan Iskan ada,” katanya. Untuk 15 orang.
Saya pun lega.
Resto Bear Hounds ini enak untuk kongkow. Di dalam mall Pluit Village. Juga baik untuk foto-foto. Lihat instagram saya hari ini: @dahlaniskan19.
Mereka pun berdatangan. Ada pak Suryadi Tjandra. Beserta istri. Ia direktur Mega Auto Finance. Yang dulu di Panin Bank. Pak Suryadi (Thjia Pau Luk) baru 1 tahun 4 bulan melakukan transplan hati. Kelihatan sehat sekali.
Saat ia transplan dulu Tianjin lagi musim dingin. Bersalju. Pak Suryadi sudah boleh segera pulang. Dengan selang masih menancap di perut. Dari pada menunggu di Tianjin. Bisa kena flu di musim dingin.
Dua bulan kemudian Pak Suryadi harus balik ke Tianjin. Untuk cabut selang.
Pak Suryadi ini tergolong disiplin. Mengikuti cara-cara yang saya tulis di buku Ganti Hati.
Karena itu dari Tianjin ia pilih tinggal di Singapura dulu. Agar tidak banyak bertemu orang dulu. Agar bisa menjaga kebersihan dengan total.
Toh masih kena masalah juga. Di Singapura itu badannya panas. Langsung masuk RS. Dilakukan MRI. Hasilnya: ditemukan banyak bercak di livernya.
Ternyata terkena infeksi. Ia langsung digelontor infus antibiotik. 24 jam sehari. Selama 1,5 bulan. Tidak harus opname. Botolnya bisa digendong ke mana-mana.
Kini Pak Suryadi sehat sekali.
Ia sudah aktif lagi. Sebagai direktur perusahaan grup Chairul Tanjung itu. Tiap hari olahraga. Jalan kaki. Sejauh 5 Km.
Di resto Bear Hounds kemarin Suryadi memesan kwetiau. Istrinya memesan nasi goreng Jawa. Itu adalah juga menu ciptaan Vero.
Saya sendiri memesan dua menu: ayam bakar dabu-dabu dulu. Lalu menu ciptaan Vero salmon spageti.
Pun sebelum anggota grup berdatangan saya sudah banyak makan menu pembuka: kue tradisional yang enak sekali. Lupa namanya. Juga sepiring nacos.
Di depan saya ini ada Pak Kurniawan. Pengusaha meubel. Ia begitu senang bertemu saya. Mengapa?
“Pak Dahlan kan sudah 12 tahun. Tetap sehat. Berarti saya juga punya harapan akan hidup 12 tahun lagi,” katanya.
Kurniawan sempat malas ikut di grup Hati Baru ini. Penyebabnya sepele. Sering ada pemberitahuan teman yang meninggal dunia. “Belum lama ada yang meninggal sudah ada yang meninggal lagi,” katanya. “Saya jadi kehilangan harapan,” tambahnya.
Apalagi ia baru saja periksa lagi. Di Singapura. Diketahuilah perkembangan barunya. Kankernya muncul lagi. Di paru-paru dan di lehernya.
Saya minta ia segera kembali ke Tianjin. Jangan tunggu lama lagi. Saya optimistis. Semangat hidupnya tinggi.
Yang juga kami tunggu sebenarnya Pak Sayed Abubakar Abdullah Assegaf. Satu-satunya Arab di grup Hati Baru. Ia lagi di kampungnya: Riau. Sibuk kampanye Demokrat. Untuk jadi anggota DPR lagi.
Pak Sayed termasuk sukses transplan hati. Lalu diikuti kakak kandungnya: Sayed Usman Abdullah Assegaf. Yang sama-sama lulusan Northern Melbourne Institute. Mengambil studi perdagangan internasional.
Sang kakak juga sukses dengan transplannya.
Yang ia sesalkan: kakak sulung mereka: Sayed Muhammad Abdullah Assegaf. Keburu meninggal dunia. Tidak sempat transplan.
Kakak sulung itu pilih berobat ke Singapura. Keluar masuk RS di sana. Tidak ada pikiran untuk transplan ke Tianjin. “Di Singapura kami ditakut-takuti terus,” ujar Sayed.
Melihat nasib kakak sulungnya Sayed tidak mau seperti itu.
Sampailah ia mendapatkan buku saya. Buku Ganti Hati. Sang istri yang ngotot membelikannya. Tapi sang suami tidak kunjung membacanya. Sang istrilah yang kemudian membacakan buku itu. Tertarik. Berangkat ke Tianjin. “Bekal saya hanya buku itu,” katanya.
Di RS Tianjin buku Ganti Hati memang sangat dikenal. Utamanya yang terjemahan bahasa Mandarinnya.
Sayed tidak mau menderita seperti kakak sulungnya. Yang perutnya sampai membesar. Yang cairannya selalu dikeluarkan. Lalu membesar lagi. Beberapa kali. Akhirnya meninggal.
Tiga bersaudara ini politisi semua. Yang sulung Ketua DPRD Siak. Dari PPP. Adiknya anggota DPRD Kota Pekanbaru. Dari Golkar. Sayed anggota DPR pusat. Dari Demokrat.
Yang membuat ketiganya sama: sama-sama sakit liver dan sama-sama pengusaha sukses. Pun sama-sama pengusaha lemah — lemahe akeh.
Saya sebenarnya juga ingin ketemu Ling Yen. Istri Yuyung Harjanto. Yang di grup sering posting ajaran Al Kitab.
Ling Yen harus 8 bulan menemani sang suami di Tianjin. Penyebabnya: harus transplan dua kali.
Transplan yang pertama sebenarnya sukses. Belum sebulan sudah boleh pulang. Suami-istri ini pun siap-siap pulang. Beberapa jam lagi harus berangkat ke bandara. Tiba-tiba sang suami demam. Badannya panas.
Rencana berangkat ke bandara pindah arah ke rumah sakit. Dinyatakan terjadi rejection. Tiba-tiba badannya menolak hati barunya.
“Sampai wajah suami saya menghitam,” ujar Ling Yen.
Lima hari kemudian sang suami ditransplan lagi.
Berhasil.
Sehat.
Seperti orang sehat beneran.
Pulang. “Gagah sekali,” ujar sang istri.
Yuyung pun bisa kembali mengurus pabrik roti dan sandwichnya. Juga mengurus perdagangan benangnya.
Umurnya pun baru 50 tahun.
Bisa kembali aktif di perkumpulan Gospel. Di gereja mereka. Di GPI Kebon Jeruk Jakarta.
Suatu malam rumahnya kemalingan. Barang-barang berharganya hilang. Termasuk HP dan camera.
Bangun tidur Yuyung dihadapkan pada kenyataan itu. Langsung menelusuri dari mana maling itu masuk rumah.
Diketahuilah asal-usulnya. Dari rumah sebelah. Lalu naik tembok. Masuk rumah lewat pintu kamar mandi.
Yuyung lantas ke rumah sebelah. Bersama beberapa tetangga. Yang mendadak kumpul di situ. Mereka membicarakan sang maling. Begitu gampang masuk ke komplek mereka. Sejak ada proyek tol di belakangnya.
Yuyung pun ingin tahu lebih detil. Dari arah mana pencuri masuk ke rumahnya.
Maka Yuyung masuk ke rumah tetangga. Disertai tetangga yang lain. Yuyung curiga. Pencuri masuk dari atap tetangga.
Ia pun ingin naik ke atas plafon. Dilihatnya ada tangga kayu. Ia pasang tangga itu. Ia naiki tangga itu. Dengan semangat tinggi mengejar jejak pencuri.
Tangga itu roboh.
Yuyung terhepas ke lantai.
Tangganya menimpa orang yang ingin menolongnya.
Yuyung pingsan. Bagian belakang kepalanya membentuk semen.
Yuyung dibawa ke rumah sakit Kebun Jeruk. Diminta pindah ke Siloam Karawaci.
Meninggal di sana.
Begitu mahal biaya menyelamatkan nyawanya di Tianjin. Sampai dua kali transplan.
Begitu murah meninggalnya.(dahlan iskan)