Disrupsi dan Al-Kahfi

Oleh: Joko Intarto

eQuator.co.id – Disrupsi menjadi salah kata sangat popular akhir-akhir ini. Saya ketik kata ‘disruption’ di mesin pencari Google. Dalam 0,51 detik, Google search menemukan data bahwa kata itu telah ditulis sebanyak 84.600.000 kali. Dalam berbagai artikel. Bukan main!

Disrupsi adalah ditinggalkannya cara lama dengan menggunakan teknologi dan industri untuk menciptakan cara baru yang lebih produktif dan efisien. Dalam sejarah transaksi pembayaran, disrupsi ternyata sudah digambarkan dalam kisah 7 pemuda Kahfi. Yang sangat terkenal itu. Di kalangan muslim maupun Kristen.

Dikisahkan, 7 orang pemuda yang saleh terpaksa bersembunyi di dalam gua untuk menghindari kezaliman raja yang berkuasa saat itu. Ikut bersama para pemuda itu seekor anjing. Di dalam gua tersebut, pemuda dan anjingnya tertidur pulas hingga 309 tahun.

Para pemuda itu baru sadar kalau telah tertidur begitu lama saat keluar dari gua untuk membeli makanan. Mereka mengira baru tidur setengah hari atau satu hari. Ternyata, logam perak yang akan digunakan untuk membayar makanan sudah ketinggalan zaman. Uang logam milik 7 pemuda itu sudah tidak berlaku sejak tiga abad sebelumnya.

Berdasarkan surat Al-Kahfi, para ahli tafsir di Mesir melakukan riset sejarah. Dalam penelitian itu, diperoleh sejumlah catatan yang menarik. Salah satunya: diduga berkaitan dengan kisah 7 pemuda penghuni gua itu.

Dalam sejarah peradaban Barat, tercatat ada dua masa kekuasaan raja yang memusuhi agama Yahudi (saat itu). Pertama: masa pemerintahan Raja Antiogos IV  yang berkuasa pada tahun 176 – 84 SM.

Saat menakhlukkan Suriah, Antiogos IV mewajibkan seluruh penganut Yahudi di Palestina untuk meninggalkan agamanya. Antiogos memerintahkan penganut Yahudi untuk menyembah dewa-dewa Yunani. Ia meletakkan patung Zeus di tempat peribadatan kaum Yahudi.

Peristiwa kedua terjadi pada masa Imperium Romawi berkuasa. Pada zaman Kaisar Hadrianus yang berkuasa pada tahun 117 – 138 Masehi, kaisar memperlakukan orang-orang Yahudi seperti yang pernah dilakukan Antiogos.

Berdasarkan beberapa artikel yang saya baca, koin logam mulai dikenal sebagai alat pembayaran di dunia Barat (Eropa) pada tahun 650 SM. Mata uang logam awalnya diberlakukan di kota Efesus di Iona. Sekarang berada di wilayah Turki bagian barat.

Koin logam itu disebut ‘electrum’. Dibuat dari campuran logam emas dan perak. Bentuknya seperti kacang. Pada salah satu sisinya dibuat cap dengan tanda berbeda-beda. Untuk membedakan nilai nominalnya.

Satu abad kemudian (tahun 550 SM), Croesus, raja negara Lydia mulai mencetak uang koin logam dengan berbagai nilai nominal. Kota-kota Yunani dan kekaisaran Persia dengan cepat mengadopsi teknik baru mata uang logam dari Lydia ini. Pada akhir abad ke-6, uang koin itu telah menjadi mata uang umum di seluruh wilayah tersebut.

Mungkinkah kisah pemuda Kahfi itu terjadi saat masyarakat di wilayah Yunani dan Persia sudah menggunakan mata uang kertas? Berdasarkan artikel yang saya temukan, kemungkinan besar tidak begitu. Disrupsi mata uang itu terjadi pada dua masa yang masih sama-sama menggunakan mata uang berbahan logam. Mungkin, masuk gua pada masa ‘uang logam electrum’ dan saat keluar gua 309 tahun kemudian sudah masa ‘uang koin logam’.

Mata uang kertas memang sudah dikenal di Tiongkok sekitar tahun 100 Masehi. Sezaman dengan masa pemerintahan Kaisar Hadrianus dari Romawi. Namun masyarakat Eropa baru mengenal uang kertas 1.000 tahun kemudian. Setelah Marco Polo mencapai daratan Tiongkok.

Pabrik kertas pertama baru berdiri di Eropa pada tahun 1150 Masehi di wilayah orang-orang Moor (Spanyol). Swedia menjadi negara pertama di Eropa yang memberlakukan uang kertas sebagai alat pembayaran resmi pada tahun 1661 Masehi.

Dari artikel-artikel itu, saya mendapat pelajaran penting tentang proses disrupsi transaksi. Melalui kisah pemuda Kahfi dapat disimpulkan bahwa disrupsi adalah sebuah keniscayaan. Memang kisah itu hanya tentang disrupsi transaksi pembayaran. Karena berubahnya bentuk uang. Dari ‘logam electrum’ menjadi ‘uang koin logam’. Tapi disrupsi transaksi ini sangat mendasar. Menyangkut seluruh sendi kehidupan zaman now.

Pada akhir abad ke-8 masyarakat di pulau Jawa telah mengenal mata uang yang disebut ‘ingot’. Ingot berbentuk logam emas dan perak batangan. Ingot merupakan koin yang paling awal tercatat di Nusantara. Tercatat pada dua prasasti yang bertarikh tahun 878 Masehi.

Satuan ingot yang paling umum adalah ‘kati’ setara 750 gram (26 oz), ‘tahil’ setara 38 gram (1,3 oz), ‘masa’ setara 2,4 gram (0,085 oz) dan ‘kupang’ 0,6 gram (0,021 oz). Satuan tersebut tetap digunakan hingga masuknya misi dagang Belanda yang akhirnya menjajah Nusantara.

Selain ingot, beberapa kerajaan dan kesultanan di Nusantara juga memberlakukan koin logam sebagai mata uang. Kerajaan Majapahit menggunakan ‘kepeng’ selain uang koin dari Tiongkok. Kesultanan Cirebon menggunakan ‘picis’. Kesultanan Banten menggunakan ‘kasha’. Kerajaan Sumenep bahkan menggunakan uang koin dari Spanyol dan Austria sebagai alat pembayaran yang sah. Sebelum akhirnya menggunakan mata uang ‘rupiah’ yang sekarang ini.

Disrupsi itu masih terus dan akan terus terjadi. Sesuai dengan kemajuan teknologi dan industrinya. Dari transaksi pembayaran dengan logam menjadi uang koin. Lalu menjadi uang kertas. Lantar berkembang pula uang giral. Sekarang menjadi uang digital: Uang tanpa wujud. Cashless.

Disrupsi menuntut kesiapan. Terutama masyarakat. Saya ingat pernah membaca sebuah komik strip yang smart. Ceritanya tentang seorang pengumpul derma yang sedang meminta kemurahan hati seorang kaya.

Si pengumpul menyampaikan permintaan sedekah. Si kaya menjawab tidak bisa membantu karena tidak punya uang tunai.

Ternyata pengumpul itu rupanya sadar kemajuan zaman. Dia sodorkan selembar kertas. Berisi nomor rekening. Lalu mempersilakan si kaya bersedekah lewat mobile banking.

Si kaya lagi-lagi menggeleng. Karena uangnya dalam bentuk e-money. Dalam smartphone-nya. Mungkin e-money semacam Flazz, Brizzi, Yap, Go-Pay, Paytren dan Ovo.

Pengumpul derma kembali menyodorkan kertas. Kemudian mempersilakan si kaya untuk transfer ke rekeningnya. Dengan scan QR-code menggunakan handphone. Kali ini, si kaya tak berkutik. (jto)