Desa Terunyan merupakan salah satu ikon wisata Bali yang sulit ditemui di tempat lain. Bahkan, desa yang identik dengan kuburannya ini namanya dari dulu sudah terkenal di dunia. Sejak dulu hingga sekarang, desa adat ini tidak berubah.
AGUS EKA PURNA NEGARA, Bangli
eQuator.co.id – POHON taru menyan memang tak bisa dipisahkan dengan Desa Trunyan, desa di tepi timur Danau Batur, Kintamani, Bangli. Pohon itu sudah jadi landmark atau identitas desa.
Sebab, akronim taru menyan yang merupakan asal nama Desa Trunyan, berasal dari sebuah pohon yang memiliki bau harum. Letaknya berada di tengah area kuburan masyarakat setempat. Oleh warga, pohon itu dipercaya berusia 1.100 tahun atau 11 abad.
Keberadaan pohon itu yang menyebabkan area kuburan tidak menimbulkan bau busuk. Tak heran, setiap jenazah yang dimakamkan tanpa dikebumikan itu, tidak menyebarkan bau busuk. Meski jenazah hanya direbah di atas tanah, dan ditutupi anyaman bambu.
Kata salah seorang warga, I Ketut Mandra, keberadaan pohon taru menyan juga memengaruhi perasaan wisatawan ke kuburan. Masyarakat percaya, pohon yang tingginya sekitar 10-15 meter itu menimbulkan bau wangi. “Memang anehnya di sini (dari pohon), baunya tidak bisa dicium secara nyata,” kata Mandra.
Wisatawan yang datang tak pernah dibuat jijik. Padahal saat koran ini berkunjung, ada satu jenazah yang kondisinya masih utuh. Itu baru dimakamkan sepekan lalu. Ajaibnya, tak ada bau.
Cepat lambatnya proses pembusukan jenazah, kata Mandra, tergantung dari cuaca di sekitar. Kondisinya akan tetap utuh hingga satu tahun apabila sedang musim kemarau. Namun bilamana cuaca sekitar kerap turun hujan maka jenazah akan cepat membusuk.
Di sana hanya ada 11 kapling bagi warga yang meninggal. Tempat itu khusus bagi orang yang meninggal secara wajar (sakit, dan lain-lain) dan sudah berumah tangga. Di sebelah utaranya, terdapat sepetak lahan yang dikhususkan bagi mendiang orang suci. Sedangkan orang meninggal karena salah pati atau ulah pati (bunuh diri atau kecelakaan), mendiang dimakamkan di kawasan lain.
Terkait 11 kapling makam, jumlahnya memang tidak pernah berkurang maupun bertambah. Itu sudah dilakukan turun-temurun. Lantas bagaimana dengan warga yang baru meninggal? Dimakamkan di mana?
Jenazah yang paling lama di antara 11 jenazah, akan dipindah di satu tempat khusus; sejenis tempat penampungan. Kemudian jenazah baru akan menempati kekosongan hingga kembali menjadi 11.
Pemindahannya tak sembarangan. Ibarat membeli satu bidang tanah, keluarga akan melakukan itu melalui upacara disebut Angkep Taji. Sarananya menggunakan uang kepeng. “Belinya pakai pis bolong (uang kepeng) dan sedikit sesaji,” ungkap Mandra. (*/Bali Express)