eQuator.co.id – JAKARTA-RK. Pengamat memperkirakan perang tarif yang berkepanjangan bisa mengancam keberlangsungan bisnis penyedia jasa transportasi berbasis aplikasi. Sebab, perang tarif yang sudah terjadi sejak lama di para aplikator transportasi online masih saja terus berlangsung hingga saat ini.
“Kondisi saat ini sudah tidak sehat bagi industri digital penyedia transportasi online, mereka harus sadar bahwa cepat atau lambat akan mengancam keberlangsungan bisnisnya,” kata Pengamat Ekonomi Industri dari Universitas Padjajaran Maman Abdurahman di Jakarta, Rabu (27/2).
Persaingan sehat yang seharusnya dilakukan para aplikator transportasi online, Grab dan GoJek, adalah beradu inovasi dan strategi peningkatan kualitas pelayanan bagi konsumen. Dengan demikian, menurut Maman, konsumen benar-benar menerima manfaat nyata dari kemampuan masing-masing aplikator dalam berinovasi dan tetap bisa terlayani dengan baik.
Tanpa inovasi, perang tarif dipastikan akan terus berlanjut, dan ini tidak sejalan dengan visi-misi sebuah industri digital pada umumnya. Aplikator yang minim inovasi tentunya akan hanya mengandalkan kemampuan finansial untuk menciptakan perang tarif.
Selama ini, imbuh Maman, Grab sebagai aplikator yang memulai strategi perang tarif memang cukup ampuh menarik minat pasar. Tapi, dampak positifnya hanya akan dirasakan secara jangka pendek. “Jor-joran tarif murah memang dilakukan guna menarik pelanggan sebanyak mungkin, tapi tak bisa dilakukan selamanya,” katanya.
Jika terjadi dalam jangka panjang, perang tarif justru berpotensi menghasilkan satu pemain dominan di pasar. Pemain dengan kemampuan finansial paling kuat tentunya akan memenangkan perang tarif tersebut, namun tak berarti bisa meraup untung besar. Situasi seperti ini justru tak baik bagi iklim usaha di Indonesia.
“Kalau ada duopoli dan mereka tidak berkolusi, maka yang terjadi adalah perang harga. Mereka akan adu kuat modal sampai salah satunya habis,” kata Maman.
Dibutuhkan peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang lebih aktif untuk menjalankan fungsi pengawasan terhadap fenomena perang tarif tersebut. KPPU mesti jeli dalam melihat seperti apa praktik ‘predatory pricing’ dalam bisnis transportasi online.
“Harus jeli melihat apakah aplikator sengaja menjual rugi untuk membunuh kompetitor atau tidak. Kalau terindikasi untuk membunuh ya harus ditindak tegas,” tegasnya.
Meski industri digital merupakan model bisnis baru, KPPU tetap bisa menghitung biaya produksi aplikator transportasi online berdasarkan kajian akuntansi. Selain itu, pemerintah juga bisa menghitung berdasarkan acuan di suatu negara yang kondisinya serupa.
“Bisa diketahui biaya produksi per kilometer berapa besar. Sehingga bisa diketahui terjadi ‘predatory pricing’ atau tidak,” katanya.
Selain mengancam kelangsungan industri digital, perang tarif yang berkepanjangan juga akan merugikan mitra pengemudi. Tarif yang terlampau murah dalam perang tarif cenderung hanya menguntungkan konsumen, namun tidak bagi mitra pengemudi. Kondisi ini bisa menurunkan kualitas pelayanan dan akhirnya berdampak pada kesejahteraan mitra pengemudi karena dicap jelek oleh konsumen.
Meski membayar murah, karakter konsumen yang kritis umumnya tetap ingin mendapat kualitas pelayanan bagus. Akibatnya, saat ini kerap terjadi konsumen dianggap rewel oleh mitra pengemudi yang tahu sedang menjalankan order promo. Konsumen pun memberikan penilaian buruk terhadap mitra pengemudi karena dinilai tak memberikan pelayanan prima.
Selama ini, aplikator Grab menerapkan tarif batas bawah ojek online sebesar Rp 1.200 per kilometer, adapun Gojek memberikan Rp 1.600 untuk mitra pengemudi. Berdasar penetapan tarif bawah ini, Maman menilai Gojek telah lebih mampu menentukan dan membentuk ekosistemnya dalam bisnis transportasi onlien ketimbang Grab. (Jawa Pos/JPG)