eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Kemampuan masyarakat khususnya pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di Kalimantan Barat (Kalbar) yang memproduksi anyaman dari bahan bambu, dinilai sangat bagus dan apik.
Tak pelak, produk ini memiliki nilai jual yang cukup tinggi. Kendati demikian, produk ini perlu beradaptasi dengan gaya ‘zaman now’ agar terus dapat berkembang.
Hal tersebut dinyatakan oleh Direktur PT Jagat Pariwara, Joko Intarto. Sebagai salah seorang pebisnis, dia memandang potensi produk UMKM di provinsi ini dinilai sangat bagus untuk dikembangkan dengan model yang kekinian.
“Kalbar memiliki anyaman bambu yang rapi. Ini pasti bikinnya lama, namun sayangnya hanya difungsikan untuk simpan beras. Artinya ini kalah dengan produk yang sedang populer seperti Tupperware , lock n lock, dan sebagainya,” Ujar Joko Intarto, kemarin.
Biasanya kata Joko, terkait produk handmade seperti bambu ini, dibuat lantaran nilai etnik. Menurutnya bambu memiliki nilai ekonomi budaya yang berangkat dari satu kebudayaan lokal, yaitu dengan kemampuan masyarakat membuat anyaman.
“Biasa orang membeli produk ini untuk bernostalgia, artinya ketika melihat barang ini akan mengingatkannya kembali ke masa kecil,” ucap Joko.
Persoalannya, produk ini sendiri masih menggunakan model lama. Dan hanya difungsikan sebagai perangkat atau alat rumah tangga penanak nasi yang biasa digunakan pada zaman kuno yang terus diproduksi hingga saat ini.
Padahal jika dilihat dari sisi fungsinya sendiri, alat dari bambu ini sudah banyak diganti dengan teknologi yang berkembang. Seharusnya membuat satu produk dengan kearifan lokal dengan anyaman bambu tapi dengan fungsi yang baru menyesuaikan gaya hidup modern.
“Kalau masih membuat barang kuno dengan fungsi yang sama, tentu tidak laku, apalagi harganya mahal,” katanya.
Joko mencontohkan sebuah anyaman topi petani dari anyaman bambu yang biasa dibuat dengan ukuran besar namun diciptakan dalam bentuk mini. Fungsinya untuk menyaring kopi atau diciptakan dengan berbagai rupa, sehingga memiliki daya tarik tersendiri.
“Sebab kalau dibuat untuk petani siapa yang mau pakai, paling cuma petani, atau bahkan mereka sudah berubah menggunakan topi, maka dari itu harus ada perubahan,” tuturnya.
Joko memandang, perubahan gaya hidup harus menjadi inpisrasi bagi semua produk. Sebab jika tidak, produk yang dihasilkan akan jadi dinosaurus, punah karena tidak bisa berubah.
“Dulu orang punya mobil besar sekarang mobil gede tidak laku. Ngapain punya mobil gede sampai sembilan orang anaknya cuma dua, istri satu baru 4. Cukup dengan mobil kecil, makanya muncul mobil jenis ayla, agya, Datsun, dan ini banyak diminati, lantaran mengikuti perubahan gaya hidup,” katanya.
Hal ini salah satu contoh betapa kunonya produk ini tapi bukan tidak bisa eksis. Ini kata Joko, bisa eksis jika disesuaikan dengan gaya baru.
“Kalau tidak berubah dipakai hanya untuk ke sawah, tidak memiliki nilai ekonomi, jadi perubahan itu harus dilakukan, semua produk harus dimodifikasi sesuai dengan gaya hidup,” pungkasnya. (ova)