Jokowi Revisi Remisi Pembunuh Jurnalis

TOLAK REMISI. Puluhan jurnalis dari berbagai daerah di Surabaya dan sekitarnya mengadakan aksi simpatik tolak remisi pembunuh jurnalis bertepatan dengan Hari Pers Nasional, Sabtu (9/2). Dipta Wahyu Pramoto/Jawa Pos

eQuator.co.id – Surabaya-RK. Setelah mendapat kritikan dan desakan dari berbagai pihak, Presiden Joko Widodo akhirnya meneken pembatalan remisi yang diberikan terhadap I Nyoman Susrama, terpidana pembunuh berencana wartawan Radar Bali (Jawa Pos Group), AA Gde Bagus Narendra Prabangsa. Ihwal adanya hal ini dikatakan Jokowi usai menghadiri puncak Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) di Grand City, Surabaya.

Momen itu terjadi di sela-sela Presiden Jokowi bersalaman dengan para peserta yang hadir dalam perhelatan tersebut. Saat itu Pemimpin Redaksi Jawa Pos Koran, Abdul Rokhim menanyakan ke Presiden Jokowi mengenai remisi yang didapat oleh Susrama.‎ Terpidana pembunuh AA Gde Bagus Narendra Prabangsa.

“Pak Jokowi, kami masih menagih revisi remisi pembunuh Prabangsa Pak,” tanya Abdul Rokhim ke Presiden Jokowi‎ di lokasi, Sabtu (9/2).‎‎

Dengan senyuman, Jokowi pun menimpali pertanyaan itu, bahwa dirinya telah meneken Kepres pembatalan remisi yang didapat Susrama. “Sudah-sudah saya tanda tangani,” timpal Jokowi sambil tersenyum kecil.

Langsung saja momen tersebut membuat bahagia Abdul Rokhim. Karena di puncak Hari Persa Nasional, Sursuma tidak jadi mendapat remisi. “Terima kasih Pak Jokowi, Redaksi Jawa Pos Pak, terima kasih,” kata Abdul Rokhim.

Sementara itu, istri almarhum Prabangsa, Anak Agung (AA) Sagung Mas Prihantini mengucap syukur atas pencabutan remisi Susrama. Sagung sebelumnya pernah mengirim surat untuk Presiden Jokowi agar mencabut remisi tersebut. ”Sangat bersyukur, berkat Tuhan bagi kami,” kata Sagung saat dihubungi Jawa Pos.

Senada dengan Sagung, kakak almarhum Prabangsa, AA Ayu Rewati juga menyambut baik pencabutan remisi perubahan pidana seumur hidup menjadi pidana penjara sementara untuk Susrama. Menurut dia, pencabutan itu sejalan dengan harapan keluarga besar Prabangsa yang sedari awal tidak sepakat dengan pengampunan untuk Susrama. ”Presiden sudah memperhatikan tuntutan kami (keluarga besar Prabangsa, Red) dan tuntutan para jurnalis,” ungkapnya saat dihubungi Jawa Pos.

Pencabutan itu, kata Ayu, kembali menegakkan keadilan atas kasus pembunuhan Prabangsa. Juga bentuk apresiasi terhadap perjuangan jurnalis di seluruh tanah air yang menolak keras pemberian remisi tersebut.

Paman Prabangsa, AA Oka Mahendra berharap ke depan pihak terkait lebih berhati-hati memberikan “pengampunan” terhadap narapidana (napi) kasus-kasus berat, seperti pembunuhan terhadap jurnalis. Setiap permohonan, kata dia, mestinya juga mempertimbangkan keluarga korban dan rasa keadilan bagi masyarakat secara luas.

”Kasus ini (remisi untuk Susrama, Red) harus dijadikan pelajaran bagi semua pihak agar tidak terulang kembali dalam rangka menegakkan keadilan substantif,” papar pria yang pernah menjabat Staf Khusus Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Hamid Awaluddin pada 2006 silam tersebut. ”Profil napi yang mengajukan permohonan harus dicermati secara teliti,” imbuh dia.

Untuk diketahui, penelusuran Jawa Pos beberapa waktu lalu menemukan bahwa surat permohonan remisi Susrama diduga cacat prosedur. Pasalnya, dalam laporan penelitian masyarakat (litmas) yang menjadi salah satu syarat pengajuan remisi tidak mencantumkan tanggapan dari pihak keluarga korban. Padahal, sesuai standar operasi prosedur (SOP), tahapan itu mestinya dilalui.

Belum lagi, I Nyoman Susrama juga hingga saat ini belum mau mengakui bahwa dirinya adalah otak pembunuhan Prabangsa. Saat ditemui Jawa Pos di Rutan Kelas II B Bangli beberapa waktu lalu, Susrama keukeuh menyebut bahwa bukan dirinya yang membunuh Prabangsa. ”Saya memang tidak pernah melakukannya,” ujarnya kepada Jawa Pos kala itu.

Disisi lain, Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Haris Azhar menyebut pencabutan remisi pembunuh jurnalis membuktikan bahwa Jokowi dan bawahannya memang tidak teliti dalam mengeluarkan kebijakan. Mestinya, kata dia, Keputusan Presiden (Keppres) 29/2018 yang menjadi landasan pemberian remisi Susrama diteliti secara baik sebelum ditandatangani. ”Ini (remisi Susrama, Red) kan dicabut setelah muncul desakan, kalau korban nggak bisa bikin desakan (seperti jurnalis, Red) bagaimana? Apakah direvisi juga?,” ujarnya kepada Jawa Pos.

Haris menyebut, pemberian remisi Susrama ini adalah salah satu bentuk ketidaktahuan Jokowi atas persoalan hukum di tanah air yang begitu kompleks. Pun, jika tidak ada desakan, dia meyakini Jokowi tidak akan intensif membahas pencabutan remisi Susrama. ”Saya curiga ada “broker” di dalam istana yang suka memberikan keterangan palsu (kepada Jokowi, Red),” tegasnya.

Mantan koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) itu memaparkan masih banyak pencari keadilan yang belum mendapatkan perhatian dari presiden. Diantaranya, para mantan karyawan PT Freeport Indonesia yang mengaku di putus kerja sepihak oleh perusahaan. Hampir sepekan ini mereka menginap di depan Istana Negara untuk bertemu Jokowi.

Selain itu, masih banyak kasus-kasus kekerasan dan pembunuhan yang belum terungkap hingga sekarang. Diantaranya kasus pembunuhan wartawan Surat Kabar Harian Bernas Fuad M. Syarifuddin pada 1996, Naimullah (Sinar Pagi) 1997, Agus Mulyawan (Asia Press) 1999, Sory Ersa Siregar (RCTI) 2003, dan Ardiansyah Matra’is (Tabloid Jubi dan Merauke TV) 2010.

Sementara itu, Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko mengklaim pembatalan remisi itu merupakan komitmen pemerintah terhadap insan pers. Khususnya, dalam melindungi keselamatan jurnalis dalam menjalankan tugas-tugasnya. ’’Mereka harus mendapatkan perlindungan saat bertugas. Presiden juga sudah mendengar masukan dari mana-mana,’’ terangnya.

Pada prinsipnya, lanjut Moeldoko, Presiden tidak menutup mata atas aspirasi para wartawan dan pekerja media. Kasus remisi terhadap Susrama tidak bisa dilihat sepotong-sepotong. Sebab, di saat bersamaan ada pengajuan remisi kepada ratusan terpidana dengan kasus berbeda-beda. ’’Dan saya kira (pencabutan remisi Susrama) itu keputusan yang terbaik bagi kita semua,’’ lanjut mantan Panglima TNI itu.

Yang jelas, tambah Moeldoko, Presiden sudah meminta Menkum HAM untuk bekerja lebih teliti. Kasus remisi Susrama tidak hanya terkait dengan perlindungan keamanan bagi para jurnalis dan pekerja media. Namun juga sebagai upaya menjaga kemerdekaan pers.

Sekadar informasi, ‎ Susrama adalah terpidana yang menjadi otak pembunuh berencana wartawan Radar Bali Jawa Pos Group, AA Gde Bagus Narendra Prabangsa, pada 2009 silam. Sebelumnya, Kepala Rumah Tahanan (Karutan) Kelas II B Bangli, Made Suwendra, membenarkan adanya grasi dari Presiden Jokowi untuk terpidana Susrama. Menurutnya, remisi yang diberikan kepada Susrama adalah perubahan hukuman dari pidana seumur hidup menjadi 20 tahun penjara.

Adapun dalam surat keputusan presiden (Kepres) setebal 40 halaman itu, nama Susrama berada di urutan 94 dengan keterangan perkara pembunuhan berencana yang dilakukan secara bersama-sama, berdasar putusan PN Denpasar Nomor: 1002/Pid.B/2009/PN.DPS/ tanggal 15 Februari 2010 juncto putusan PT Denpasar Nomor 29/PID/2010/PT.DPS tanggal 16 April 2010 juncto putusan Kasasi MA Nomor 1665K/PID/2010 tanggal 24 September 2010.

Keputusan presiden itu ditetapkan di Jakarta tanggal 7 Desember 2018 bernomor: 29/2018 tentang Pemberian Remisi Berupa Perubahan Dari Pidana Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana Penjara Sementara. Salinan keputusan tersebut ditandatangani Asisten Deputi Bidang Hukum Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg), Budi Setiawati.

Kasus pembunuhan berencana itu terjadi pada 11 Februari 2009 silam di kediaman Nyoman Susrama yang berlokasi di Banjar Petak, Bangli. Eksekusi pembunuhan diperkirakan dilakukan pada sekitar pukul 16.30 hingga 22.30 WITA‎.

Diketahui, Nyoman Susrama bukan pelaku langsung, melainkan aktor intelektual yang mendalangi aksi keji itu. Selain Susrama, polisi juga menetapkan 6 orang lainnya sebagai tersangka, yaitu Komang Gede, Nyoman Rencana, I Komang Gede Wardana alias Mangde, Dewa Sumbawa, Endy, dan Jampes.

Adapun kronologinya adalah, Komang Gede berperan sebagai penjemput korban. Nyoman Rencana dan Mangde menjadi eksekutor pembunuhan dan membawa mayat korban untuk dibuang ke laut di Perairan Padangbai, Karangasem. Sedangkan Dewa Sumbawa, Endy, dan Jampes, bertugas membersihkan darah korban.

Kasus ini mulai terkuak setelah mayat korban ditemukan mengambang di pesisir Klungkung pada 16 Februari 2009 dalam kondisi mengenaskan. Hasil penyelidikan mengarah kepada Nyoman Susrama yang terbukti sebagai otak dari aksi pembunuhan berencana ini.

Motif pembunuhan ini bermula dari kekesalan Nyoman Susrama terhadap Prabangsa karena pemberitaan wartawan Radar Bali Jawa Pos Group tersebut.

Prabangsa diketahui menulis berita terkait dugaan korupsi yang dilakukan Nyoman Susrama, yakni proyek-proyek Dinas Pendidikan di Kabupaten Bangli sejak awal Desember 2008 hingga Januari 2009.

Salah satu proyek yang disorot dalam pemberitaan Prabangsa adalah proyek pembangunan taman kanak-kanak dan sekolah dasar internasional di Bangli. Nyoman Susrama kala itu menjadi pemimpin proyek tersebut. Inilah yang kemudian membuat Nyoman Susrama merancang rencana untuk membunuh Prabangsa.

Nyoman Susrama adalah adik Bupati Bangli yang menjabat sejak 2000 hingga 2010, I Nengah Arnawa. Ketika kasus pembunuhan itu terjadi, Nyoman Susrama baru saja terpilih sebagai anggota DPRD Bangli dari PDIP, namun belum dilantik.

Nyoman Susrama merupakan calon legislatif (caleg) PDIP yang terpilih sebagai anggota DPRD Bangli periode 2009-2014. Caleg dengan nomor urut 10 di PDIP ini meraih suara terbanyak, yakni 4.800 suara di Daerah Pemilihan (Dapil) I Kabupaten Bangli, Provinsi Bali.‎ (Jawa Pos/JPG)