eQuator.co.id – Genderang perang itu telah ditabuh. KH Said Aqil Sirodj, Ketua Umum Nahdlatul Ulama, yang mengumumkannya. Di depan Presiden Joko Widodo. Saat merayakan ulang tahun NU ke-93. Di Jakarta Convention Center. Pada hari terakhir bulan Januari yang baru lalu.
Ada banyak hal yang menurut Pak Kyai perlu diperangi. Tapi saya tulis satu saja: sampah plastik. ‘’Indonesia memasuki fase darurat sampah. Khususnya sampah plastik. Nahdlatul Ulama menyerukan kepada seluruh anak bangsa untuk bersama-sama berperang melawan sampah plastik,’’ kata Pak Kyai.
Saya sangat setuju dengan statemen itu. Sampah plastik bukan lagi masalah orang kota. Tapi juga telah menjadi problem serius di pantai. Bahkan di dasar lautan.
Beberapa waktu lalu, seekor ikan paus mati terdampar di kawasan pantai di Sulawesi Tenggara. Ketika diotopsi, ternyata sepertiga isi perutnya adalah sampah plastik. Gila!
Matinya ikan paus itu sejatinya adalah sebuah peringatan dini. Bahwa manusia akan menghadapi bahaya yang lebih besar. Gara-gara rusaknya ekosistem yang telah demikian buruknya. Akibat sampah plastik.
Plastik merupakan salah satu produk industri yang sulit diurai. Alam butuh waktu lebih dari 100 tahun untuk mengurai sampah. Dalam kurun waktu 100 tahun itu, berapa lagi produksi sampah plastik yang baru?
Dalam pidato singkatnya, Pak Kyai memang tidak memaparkan bagaimana strategi memerangi sampah plastik. Tapi ada roadmap yang menarik. Disusun Pak Ridwan Kamil. Gubernur Jawa Barat yang berlatar belakang arsitek itu.
‘’Waste to Gold’’. Begitu judulnya. ‘’Dari sampah ke emas’’. Waste to Gold menjadi salah satu program Ridwan Kamil untuk menuju ‘’Jabar Juara’’.
Dalam konsep Waste to Gold, Pemprov Jabar akan menggerakkan semua bank sampah sebagai pengumpul sampah plastik dari rumah tangga. Rumah tangga yang menyetor sampah plastik akan mendapat harga beli yang disimpan dalam tabungan bank sampah.
Selanjutnya, tabungan bank sampah akan dikerjasamakan dengan Pegadaian untuk dikonversi menjadi tabungan emas. Melalui program CSR Pegadaian yang disebut Gade: Clean and Gold. Dengan demikian, rumah tangga yang menyetor sampah plastik ke bank sampah bisa disebut sedang menabung emas.
Bagaimana dengan plastik yang sudah dikumpulkan? Kemana bank sampah harus menjual? Ridwan Kamil merencanakan bank sampah sebagai pemasok sampah plastik ke industri daur ulang sampah plastik menjadi bahan bakar.
Sejauh yang saya tahu, konsep Ridwan Kamil ini yang paling masuk akal. Dan bisa dikerjakan segera. Toh bank sampahnya sudah ada. Program konversi tabungan sampah menjadi tabungan emas sudah ada. Teknologi daur ulang sampah plastik menjadi bahan bakar sudah banyak yang menguasai. Dan integratornya sudah ada: Ridwan Kamil sendiri.
Sebelum Ridwan Kamil, ada juga yang punya konsep lain dalam memerangi sampah. Tapi hanya sebatas gerakan mengurangi sampah plastik. Misalnya, yang sempat diberlakukan saat Ahok, eh, BTP, menjadi Gubernur DKI Jakarta: belanja di Indomaret dan Alfamaret wajib bayar Rp 200 per kantong plastik. Gerakan itu sempat heboh. Tapi entah mengapa, tiba-tiba mati suri.
Ada pula gerakan yang dilakukan restoran cepat saji KFC. Perusahaan waralaba internasional itu memelopori peniadaan sedotan dalam layanan minuman di semua gerainya di seluruh dunia. Dalam brosurnya, KFC menjelaskan, jumlah sedotan yang menjadi sampah di Indonesia, per hari mencapai 16 juta batang. Bila disambung-sambung, panjangnya setara dengan jarak Jakarta – New York.
Gerakan KFC kabarnya bakal disusul Starbuck, pemilik waralaba warung kopi internasional. Tapi saya belum mengetahui apakah program di Starbuck sudah berjalan. Sudah beberapa bulan saya tidak ngopi di Starbuck lagi. Sejak saya punya hobi meracik kopi sendiri.
Intinya, semakin banyak yang peduli pada pentingnya menjaga lingkungan hidup dari pencemaran sampah plastik. Mudah-mudahan setelah sampah plastik, segera disusul dengan gerakan pembersihan sampah yang lain: hoax politik. Inilah jenis sampah yang merusak akal sehat. (jto)
*Penulis adalah admin www.disway.id