Makan Gratis, Uang Pensiun Ditabung

Tempat Lansia Jepang Bertahan Hidup : Penjara

LANJUT USIA DIPENJARA. Kehidupan para lansia di penjara di Jepang. BBC

eQuator.co.id – Dulu penduduk Jepang yang berusia 65 tahun ke atas menjadikan penjara sebagai jawaban. Mereka rela mendekam di balik jeruji besi daripada kesepian. Kini alasan itu bertambah. Tidak sekadar melarikan diri dari rasa sepi, tapi juga alasan ekonomi. Daripada pusing memikirkan kebutuhan sehari-hari, mereka mending tinggal di bui.

Uban merata di kepalanya. Tubuh mungilnya terlihat ringkih. Namun, kakek 69 tahun tersebut selalu tersenyum. Dengan penampilan seperti itu, Tashio Takata jauh dari citra negatif. Apalagi, pelaku kriminal atau residivis. Faktanya, Takata adalah penjahat. Karirnya di dunia hitam baru dia rintis ketika usianya senja. Bukan kejahatan berat memang. Hanya tindak pidana ringan, sekadar bisa masuk penjara dan mendapatkan makan gratis di sana.

”Saya kehabisan uang. Tiba-tiba ide itu muncul. Saya bisa tinggal dan makan gratis di penjara,” ujar lelaki tua itu seperti dikutip BBC Kamis (31/1). Takata sebatang kara. Orang tuanya telah lama meninggal dunia. Dia hilang kontak dengan dua kakak lelakinya. Dia juga tidak lagi berkomunikasi dengan dua mantan istri dan tiga anaknya. Tidak ada yang menyokong hidupnya.

Debutnya sebagai penjahat bermula dari sepeda angin. Saat itu Takata berusia 62 tahun. Dia nekat mencuri sepeda angin dan mengendarainya ke kantor polisi. Kepada para petugas, dia mengaku baru saja mencuri sepeda tersebut. Begitulah dia akhirnya diadili dan dijebloskan ke dalam penjara. Di Jepang kejahatan sekecil apa pun akan diproses dengan serius. Mencuri roti saja bisa berujung dua tahun penjara. Takata akhirnya harus mendekam setahun di penjara karena pencurian itu.

Rupanya kehidupan ”gratis” di penjara membuat Takata ketagihan. Dia merasa hidup di penjara lebih menyenangkan ketimbang sendirian dan serba kekurangan. Tidak lama setelah keluar dari penjara, Takata pun kembali berulah.

Kali ini dia membawa pisau dan mengancam orang-orang di taman. Takata tentu saja tak berniat sama sekali melukai orang lain. Dia hanya berharap ada yang memanggil polisi dan dia bisa kembali ditangkap. Harapannya terkabul. Dia lagi-lagi dipenjara. Selama delapan tahun terakhir hidupnya, separonya dihabiskan di balik jeruji besi.

”Tidak berarti saya suka, tapi saya bisa tinggal di sana gratis. Dan ketika keluar, saya punya uang simpanan. Jadi, itu tak terlalu menyakitkan,” terang pria yang gemar melukis tersebut.

Uang pensiunnya memang masih dibayar meski dia dipenjara. Nah, uang pensiun yang tak terpakai selama setahun itulah yang bisa dia pakai menambal sulam kebutuhan hidupnya saat bebas. Ketika uangnya habis, dia akan berbuat kriminal lagi untuk masuk penjara.

Namun, kini Takata tidak lagi mendekam di penjara. Dia tinggal di pusat rehabilitasi di Kota Hiroshima.

Michael Newman, peneliti demografi, dan Custom Products Research Group pernah meneliti hubungan angka kriminalitas lansia dan uang pensiun. Dalam riset pada 2016 itu diketahui bahwa uang pensiun di Jepang tidak cukup untuk membiayai kehidupan lansia. Biaya sewa tempat tinggal, makan, dan perawatan kesehatan justru membuat para pensiunan terjerat utang. Itu belum termasuk biaya untuk membeli baju dan pemanas ruangan saat musim dingin tiba.

”Para pensiunan itu tidak ingin menjadi beban untuk anak-anaknya. Maka, jika mereka tidak bisa bertahan dengan uang pensiun, pilihannya hanyalah masuk penjara,” ungkap Newman. Rata-rata para lansia itu tinggal jauh dari anak-anak mereka yang mengejar karir di perkotaan.

Keiko (bukan nama sebenarnya) pun punya pemikiran yang sama dengan Takata. Perempuan 70 tahun itu mengaku tak akur dengan suaminya. Dia juga tidak punya uang dan tak tahu harus ke mana mencari biaya hidup. Karena itu, dia lantas mengutil di toko agar masuk penjara. Dia mengulangi lagi perbuatannya setiap kali bebas. Saat diwawancarai BBC dia masih bebas, tapi ketika berita ini diunggah dia sudah dipenjara lagi.

”Bahkan, perempuan 80-an tahun yang tidak bisa berjalan normal pun berbuat kejahatan. Itu karena kami tidak bisa mendapatkan makanan dan uang,” ujar Keiko. Di penjara mereka bisa makan tiga kali sehari tanpa memikirkan bagaimana membayarnya.

Selama kurun waktu 20 tahun terakhir, kejahatan yang dilakukan lansia di Jepang terus merangkak naik. Pada 1997-an, 1 di antara 20 pelaku kejahatan adalah lansia. Kini perbandingannya kian naik menjadi 1 di antara 5 orang. Di penjara yang terletak di Fuchu, pinggiran Tokyo, misalnya. Dua pertiga tahanan adalah lansia di atas 60 tahun. Mayoritas kejahatan yang dilakukan adalah mengutil makanan yang nilainya kurang dari JPY 3.000 atau setara dengan Rp 381 ribu.

Selain masuk penjara, bunuh diri adalah pilihan lain yang biasa diambil para lansia di Jepang. Angka bunuh diri lansia juga merangkak naik meski tak setinggi mereka yang dipenjara. Direktur Pusat Rehabilitasi With Hiroshima Kanichi Yamada mengungkapkan, seandainya punya teman untuk mengobrol, para lansia itu tidak akan berbuat demikian. Yamada meyakini, kemiskinan hanyalah alasan. Sejatinya mereka hanya kesepian.

Tingginya angka kriminalitas yang dilakukan para lansia itu membuat pemerintah kelimpungan. Kapasitas tahanan dan para penjaga ditambah. Utamanya untuk tahanan wanita. Jumlah lansia perempuan yang melakukan kejahatan lebih banyak daripada laki-laki. Banyaknya lansia membuat anggaran kesehatan di penjara membengkak. Fasilitas penjara juga ditambah untuk menyesuaikan para lansia.

”Ada handrails dan toilet khusus. Ada pula kelas untuk para lansia,” ujar Masatsugu Yazawa, kepala pendidikan penjara Fuchu. Mereka diajak karaoke dan bergembira serta diajari bahwa kehidupan yang sesungguhnya adalah di luar penjara. (Jawa Pos/JPG)