eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. 78 hari lagi puncak pesta demokrasi di Indonesia akan berlangsung. Dimana pemilihan umum (pemilu) serentak tahun ini jatuh pada 17 April 2019.
34,45 persen pemilih tahun ini berasal dari generasi milenial. Sehingga berbagai pemahaman harus digencarkan lagi. Belum lagi saat ini Indonesia sedang diperangi dengan propaganda, SARA, dan hoax.
“Kita harus cerdas siapa presiden yang kita pilih. Minimal visi dan misi. Sekarang harus bisa memilah siapapun yang kita pilih nanti adalah pemimpin,” ungkap Ketua Ikatan Keluarga Besar Madura (IKBM) Kalbar dalam Diskusi Publik Indonesia Bersuara Kalimatan Barat di What’s up Caffe, Rabu (30/1).
Sukiryanto mengatakan jangan sampai peserta pemilu memilih calon yang tidak dikenal. Apalagi memilih karena uang. Ia mengatakan jika memilih karena dibayar berarti harga diri hanya pemilih itu sama dengan besar nominal yang dibayar. “Sehingga si pembayar tidak akan bisa berjuang. Karena dia merasa sudah membeli pemilih itu,” katanya.
Ia menilai kecerdasan ini harus dipahami. Kenali peserta pemilu dengan benar. Minimal dari visi dan misi. Kemudian mengesampingkan jual beli suara. “Apalagi para falberlindung di isu hoax dan sukulisme itu tidak menjadi komitmen yang tegas,” ucap dia.
Sukiryanto mengingatkan jika sudah menjadi petinggi negara maka orang itu tidak hanya memegang satu suku saja. Di Kalbar ini ada 17 paguyuban dengan 7 paguyuban besar. Sehingga setiap tiga minggu sekali IKBM Kalbar melakukan Coffe Morning dengan seluruh tokoh masyarakat Kalbar di Rumah Adat Melayu untuk menjaga Kalbar aman dan bersatu. “Karena bagaimanapun keamanan serta damai itu indah,” tukasnya.
Sementara itu, Ketua Indonesia Bersuara Kalbar Adi Afrianto menuturkan diskusi ini dakukan atas dasar keresahan karena berita-berita hoax, sara dan propaganda-propaganda yang banyak tersebar di media sosial.
“Kita sebagai generasi Milenial. Generasi yang melek akan teknologi yang banyak menggunakan media sosial harus banyak mendapatkan pencerahan melalui kegiatan seperti ini,” ungkap Adi.
Sehingga kegiatan ini bertujuan untuk bagaimana generasi milenial melalui Indonesia Bersuara bisa mengkampanyekan tentang bahaya dari propaganda, isu SARA, dan HOAX. Melalui diskusi ini dirinya juga menghimbau kepada generasi milenial ditahun 2019 ini harus lebih cerdas dalam bermedia sosial.
“Seperti saat mendapatkan berita, jangan langsung melakukan share, baca dan pahami dulu sumbernya,” kata dia.
Adi menilai tahun 2019 ini momentum tahun politik yang artinya setiap kegiatan isinya sangat rawan akan berita yang ditumpangi oknum tertentu. Dari keresahan itu, pihaknya ingin generasi milenial dalam pemilu ini untuk memilih pemimpin yang cerdas dan pemimpin yang tidak menyebarkan hoax dan propaganda politik dimasyarakat.
“Banyak contoh isu hoax di tahun lalu, terkait kotak suara 7 kontainer, aniaya Ratna Sarumpaet dan lain sebagainya yang tidak mendidik pemberitaannya untuk generasi milenial,” tutur Adi.
Sebagai generasi muda milenial yang melek akan pengetahuan intelektual. Maka harus dan wajib memberi sesuatu yang bermanfaat untuk negara. Agar berita seperti itu bisa ditanggapi dengan bijak dan tidak dikonsumsi secara mentah oleh masyarakat.
“Pengaruh berita hoax sangat berbahaya terutama bagi kaum milenial. Ketika mereka tidak mengetahui bahwa itu hoax atau bukan otomatis mereka hanyut dalam suasana tersebut,” ujarnya.
Sementara itu, Muhammad Yusuf selaku Dewan Pembina Indonesia Bersuara Kalbar menyatakan mahasiswa merupakan bagian elite daripada masyarakat di Kalbar. Dari 5 juta lebih penduduk hanya beberapa yang bisa menduduki perguruan tinggi. Oleh karena itu mereka menjadi kelompok elite dalam kalangan masyarakat.
“Mahasiswa ini Agen of change. Sehingga dituntut untuk merubah peradaban, kondisi sosial masyarakat. Cita-cita yang lebih baik untuk kedepan,” tegas Yusuf.
Yusuf mengatakan diskusi publik hari ini karena kita menghadapi pileg dan pilpres April 2019 nanti maka menjadi topik yang kekinian dan hangat. Temanya cerdas memilih pemimpin menuju pemilu 2019 Tanpa Propaganda Sara dan Hoax.
Dirinya pun mengatakan bahwa tidak ada satu orang pun yang belum pernah menyebarkan berita tanpa mengkonfirmasi sumber berita itu darimana. Minimal meng-copy paste dan mengirim ke orang terdekat.
“Kalau kelompok elite masyarakat pernah semua. Yakin semua bahwa berita yang belum tentu kita tahu kebenarannya itu. Apalagi masyarakat awam. Untuk itulah, banyak peradaban yang mendiskorsi kondisi kita saat ini,” paparnya.
Politisi Kalbar Mochamad Sabi’in juga berpendapat sama. Menurutnya salah satu infrastruktur yang sangat penting adalah dalam pemilu adalah terbangunnya pemilih yang cerdas.
“Salah satu tugas aktivis memberikan pendidikan politik. Merupakan persoalan yang wajib. Membangun kekuatan itu penting,” ucapnya.
Ia menyatakan tema yang diangkat dalam diskusi ini memang mengkhawatirkan di kondisi politik Indonesia. Tujuan propaganda ini untuk memengaruhi alam pemikiran masyarakat. Entah benar atau tidak itu urusan nanti.
“Ketika kita sebagai cikal bakal yang memang akan membangun kekuatan demokrasi sebetulnya juga bagian dari pelaku. Contoh kecilnya tidak ada yang tidak pernah mengajarkan,” kata dia.
Dengan adanya diskusi ini, ia berharap kepada ratusan mahasiswa yang hadir ini mampu menetralisir hal itu. Ia juga sangat menyayangkan jika tokoh agama menjadi bagian dari aktor propaganda itu.
“Kalau sudah pimpinan agama seperti itu jamaah dan masyarakatnya seperti apa?. Pemilu 2019 bukan segala-galanya. Tetapi keutuhan NKRI adalah bagian paling penting untuk kita jaga bersama-sama,” ucapnya.
Menanggapi hal ini, Anggota DPRD Provinsi Kalbar Maskendari mengatakan proses diskusi seperti inilah yang dapat membawa ke sebuah alam adu gagasan. Sehingga propaganda dan isu sara beserta berita hoax itu bisa tertanggulangi. Ia menyatakan 30 persen itu pemilih muda.
“Milenial tidak hanya gadget saja. Tapi bisa menggunakan teknologi informasi ini untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya dan melakukan verifikasi sehingga informasi itu benar,” bebernya.
Ia sangat menyayangkan apabila generasi milenial sendiri tidak mampu memanfaatkan teknologi untuk mencari berbagai informasi. Selain itu, generasi milenial juga harus mengerti soal regulasi. Kemudian mencari rekam jejak para calon.
“Dalam PKPU nomor 23 tahun 2018 peserta pemilu meyakinkan masyarakat terkait dengan visi misi, program kerja, dan rekam jejak. Ini juga harus jadi panutan,” utaranya.
Menurutnya, teman bekerja yang baik adalah aktivis. Kemudian yang paling penting adalah menggunakan akal sehat ini untuk menentukan pilihan. Ada keberpihakan terhadap masyarakat yang lemah, serta memiliki pengalaman organisasi. Sehingga jika jadi pemimpin yang paling dimiliki adalah pengalaman mengelola masyarakat.
“Politisi sekarang ini dari 2004 ke 2019 ini ada yang membedakan. Sekarang media sosial digunakan terlibat dengan aktif untuk berkomunikasi dengan masyarakat dan menatar keinginan masyarakat terkait dengan pemilu,” ungkapnya.
Ia juga belum meyakini bahwa trending topik itu bisa membuat orang memilih karena. Karena bagaimanapun bertemu langsung melampaui batas yang kita gunakan seperti menggunakan gadget.
“Kalau ketemu langsung tidak mungkin ribut walaupun di sosial media saling mencaci. Maka harus menggunakan akal sehat. Cek and ricek pemberitaan adalah hal yang penting,” ucap dia.
“Sejak dari awal saya terjun di politik hal-hal sara dan hoax adalah yang paling saya hindari supaya kita bisa memberi pendidikan politik kepada masyarakat,” pungkas Maskendari. (riz)